
Nota El Porisagaga
Komunikasi sebagian besar penyelenggara negara - kekuasaan (kerajaan) di rantau Asia Tenggara agaknya sedang mengalami arus balik ke model komunikasi masa lalu. Khasnya dalam menghadapi dan menyikapi kritik khalayak.
Terkesan, mereka kembali ke pola pikir, sikap dan aksi komunikasi lama sebagaimana pernah berlangsung dua tiga dekade yang lampau. Reaktif. Lantas menghadirkan keberadaannya sebagai 'kerajaan bantahan,' penyelenggara - administratur negara yang kerap membantah kritik atau respon khalayak dengan tune negatif atas gagasan, sikap, dan aksinya.
Dengan menyandang istilah pemerintah, penyelenggara kuasa negara seolah-olah tak menyadari, khalayak secara penetratif hipodermis dipengaruhi perubahan zaman dan pola komunikasi yang didorong oleh perkembangan cepat dan dinamis teknologi informasi secara multi media, multi channel, dan multi platform.
Penyelenggara negara - administratur kekuasaan di rantau Asia Tenggara, pada umumnya terkesan masih menganggap pendekatan public relations -- dengan daya media arus utama dan media sosial -- merupakan sesuatu yang efektif dan efisien mengomunikasikan gagasan, sikap, dan aksi. Termasuk memandang khalayak sasaran sebagai citizen.
Pendekatan demikian tak lagi nyandak perubahan cepat khalayak sebagai konsumen media yang justru mempunyai megadaya yang menuntut pendekatan people relations. Khalayak yang kian cerdas, dan kritis, yang terbentuk di tengah terus menguatnya singularitas dengan gelombang transformasi digital yang bergerak menuju transhumanisma.
Kemajuan teknologi informasi yang bergerak cepat dari era industri, informasi ke konseptual dan digital telah mengubah konstelasi khalayak (rakyat) citizen menjadi netizen, warga global tanpa sekat dengan berbagai jejaring yang melampaui batas wilayah negara.
Karenanya, meski telah menggunakan media, saluran, dan platform media baru seperti youtube, tik tok, X, instagram, facebook, thread, dan lain-lain -- namun penyelenggara negara masih menggunakan forum komunikasi tatap muka, seperti konferensi pers sebagai medium komunikasi tertentu. Termasuk ralat, pelurusan informasi, klarifikasi atas berbagai informasi keliru yang tular (viral).
Setarikan nafas, penyelenggara negara masih menggunakan pola komunikasi one topic show - one flow yang dilihat oleh khalayak lebih sebagai bagian dari rekayasa media membangun citra 'positif' bagi para petingginya (terutama Presiden, Perdana Menteri, dan para menteri).
Karena pola komunikasi sedemikian, mentaslah anekdot hukum tiga pasal: (1) penguasa - penyelenggara negara tidak pernah salah; (2) bila penguasa - penyelenggara negara ternyata bersalah, lihat dan berlakukan pasal (1).

Lagu Lama
Dalam hal komunikasi khalayak (public communication) seringkali pemerintah masih melakukan komunikasi seolah biduanita - biduan yang mendendangkan 'lagu usang.' Lagu era industri dan informasi, yang kian jauh berjarak dengan khalayak (rakyat). Karena khalayak telah jauh menjadi penikmat dendang 'lagu anyar, beraransemen anyar, komposisi dan partitur anyar, dan berdendang dengan gaya yang anyar pula. Khalayak kini merupakan konsumen informasi progresif yang terbiasa mengonsumsi sajian informasi variety show, katimbang one topic show.
Di tengah situasi demikian, adalah ironis, ketika para petinggi yang -- sesuai perkembangan zaman -- mesti memainkan roll sebagai penyelenggara - governance - negara administratur amanah dengan fungsi governansi yang sungguh 'melayani rakyat.' Mereka malah terkesan menafikan, posisi dirinya sebagai 'biduan - biduanita lagu lama,' sebagai pemerintah - government - penguasa, sesungguhnya mereka sedang menempatkan institusi kekuasaan atau negara berada pada jarak yang jauh dengan khalayak. Tentu, khalayak tak lagi melihat kuat hakikat fungsi civil servant dan civic mission yang mestinya melekat pada diri mereka.
Identifikasi diri sebagai pemerintah - government -- cenderung hanya mengenal one way command, strukturalis dan sentralistik. Gagasan, sikap, dan aksi yang 'mengalir' dalam praktik penyelenggaraan negara semacam itu secara tak tersadari dapat merusak komunikasi dengan rakyat.
Komunikasi demikian terikat dengan relasi - korelasi patron client relationship yang menyuburkan clientelisma. Sesuatu yang menjauhkan penyelenggaraan negara dengan ekuitas dan ekualitas sebagai prinsip-prinsip dasar demokrasi.
Dalam situasi semacam ini, penyelenggara negara menempatkan dirinya sebagai subyek dan memosisikan rakyat sebagai obyek pada seluruh tugas dan fungsi penyelenggaraan negara (governance luas manfaat; pembangunan berkeadilan; dan pemajuan masyarakat) di semua peringkat.
Nilai-nilai demokrasi dari keadaban budaya lokal mengatur posisi administratur negara sesanding dengan posisi rakyat sebagai pemilik sah negara, hanya 'didahulukan selangkah, ditinggikan seranting.' Tak lebih dari itu.
Sepanjang tahun 2025, penyelenggara negara di Thailand, Filipina, Malaysia dan Indonesia boleh dikata merupakan potret negara-negara di rantau Asia Tenggara, yang para petingginya paling nampak mengesankan dirinya sebagai 'kerajaan bantahan,' rajin mendolak-dalik pernyataan yang dubious.
Khalayak cenderung disuguhkan dengan banyak sekali peristiwa pertembungan pendapat 'bukan prioritas' yang menyita waktu dan pikiran, untuk berbantahan perihal isu-isu yang jauh dari prioritas dengan retorika ampang dan gaya komunikasi yang tak perlu ! |
JB261225