Nota Bang Sèm
"Njid, penyakit apa yang gampang menular dan merusak seluruh tatanan negara bangsa?" Begitu tanya salah seorang cucu saya, sambil merapikan buku yang terserak di ruang kerja saya dan mengembalikannya ke rak.
"Sesat pikir," jawab saya. Dia tertawa sambil menoleh ke arah saya. Lantas duduk di kursi depan meja kerja, sehingga berhadap-hadapan dengan saya.
Ia menyodorkan koran dan memperlihatkan berita ihwal Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang disampaikan oleh Ketua-nya (Mochammad Afifuddin) melalui keterangan pers.
Lembaga penyelenggara pemilihan umum yang senantiasa bermasalah, itu baru saja mengeluarkan keputusan yang menutup akses publik terhadap 16 jenis dokumen pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.
Dokumen-dokumen tersebut, antara lain, berupa dokumen bukti kelulusan berupa fotokopi ijazah, surat keterangan catatan kepolisian (SKCK), daftar riwayat hidup, surat keterangan kesehatan, bukti penyampaian laporan harta kekayaan pribadi (LHKP), dan rekam jejak bakal calon.
Keputusan tersebut diambil para komisioner lembaga penyelenggara pemilihan umum tersebut berdasarkan Keputusan KPU No. 731 Tahun 2025, tertanggal 21 Agustus 2025, yang menyatakan seluruh dokumen tersebut masuk kategori rahasia. Keputusan itu merujuk pada Peraturan KPU No. 11 Tahun 2024 tentang Pengelolaan dan Pelayanan Informasi Publik.
"Ini contoh paling nyata sesat pikir alias falacia," ujar saya. "Mengapa?" tanya cucu saya balik. "Keputusan tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar (norma, nilai, dan spirit) penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) yang sesuai dengan good governance (wajar, transparan, akuntabel, bertanggung jawab, dan independen).
Pemilu, tanpa kecuali pemilihan presiden / wakil presiden yang diselenggarakan secara langsung dan demokratis menuntut keterbukaan dan kejelasan informasi, untuk memenuhi hak rakyat mendapatkan informasi benderang tentang kandidat yang berkontestasi.
Pelemahan Oposisi
Menyatakan seluruh dokumen terkait data diri kandidat sebagai rahasia yang tak boleh dibuka secara luas kepada khalayak, membuka peluang terjadinya 'membeli kucing dalam sarung,' sekaligus bercermin dalam gelap.
Keputusan tersebut sesat pikir karena menunjukkan kekeliruan atau kesalahan fundamental dalam penalaran (logos) dan menutup fungsi instrumen akal budi (nalar, naluri, nurani, dan rasa) yang diberikan Tuhan kepada manusia untuk menilai dan mengenali kepatutan dan kelayakan mereka dipilih dalam peristiwa demokrasi.
Dampak sosial dan politiknya sangat luas dan signifikan, yakni terjadinya penghancuran nalar publik -- sebagai kejahatan budaya -- secara leluasa, seperti dikemukakan dalam Maklumat Akademi Jakarta (2022).
Dalam maklumat tersebut, Akademi Jakarta dengan bahasa terang mengemukakan, telah terjadi kemunduran kualitas demokrasi sebagai jalan untuk mencapai kesejahteraan, keadilan, dan keselarasan hidup bersama.
Dampak dari kemunduran akibat terbiarkan hancurnya nalar publik yang mengemuka pada tertutupnya informasi tentang kandidat Presiden/Wakil Presiden, dan para kandidat wakil rakyat, sangat luas.
Maklumat AJ 2022 menyebut dampak tersebut, antara lain: Berkurangnya kebebasan berekspresi dan berpendapat, seiring menguatnya perundang-undangan yang tersirat dan tersurat menghentikan kritik.
Setarikan nafas, menimbukan gangguan terhadap sistem pengawasan dan keseimbangan lembaga (khalayak, seperti KPU) dengan mengikis kewenangannya melalui cara-cara legal. Tanpa kecuali mereduksi hak rakyat untuk mendapatkan informasi para kandidat Presiden/Wakil Presiden dan kandidat wakil rakyat.
Muaranya, pelemahan oposisi (atau siokap oposan) yang kritis melalui negosiasi dan intervensi politik; dan kecenderungan ekonomi-politik yang memungkinkan praktik oligarki, serta penguasaan tata kelola negara dan sumber dayanya oleh segelintir pihak, guna mencapai tujuannya sendiri-sendiri.
Merampas Hak Rakyat
Ketika KPU menyatakan dokumen-dokumen yang disebut dalam Keputusan KPU No. 731 Tahun 2025 sebagai rahasia juga dapat dinyatakan sebagai sesat pikir, karena dampak sosio politik kebangsaan atas keputusan tersebut, selain tidak rasional, tidak realistis, sekaligus juga mengikis kepercayaan serta lingkungan demokratis.
Di sisi lain, keputusan tersebut, merampas hak rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Lantas mengubahnya secara degil sebagai hak lembaga (KPU), partai politik, dan hak kandidat Presiden/Wakil Presiden.
Kesalahan nalar sengaja dilakukan secara kelembagaan dan memblokade rakyat secara sistemik, sehingga tertutup ruang untuk menelisik apa siapa 'kucing dalam sarung' yang dipaksakan untuk dipilih. Pun menutup peluang rakyat untuk menelusuri kemungkinan manipulasi dan retorika manipulatif.
Akhirnya secara sengaja memberi ruang kepada para kandidat Presiden/Wakil Presiden dan partai politik membangun pengaruh dengan menggalang sentimen massa melalui cara-cara yang norak dan tidak bermoral dalam memperbesar kekuatan politiknya.
Dalam Maklumat AJ dikemukakan sebagai cara-cara berpolitik hanya demi merebut atau mempertahankan kekuasaan dengan mengabaikan etika politik dan hakikat demokrasi, serta membuat komunikasi politik gagal sebagai sarana pemberdayaan warga untuk terlibat dalam laku politik yang sehat.
Keputusan KPU No. 731 Tahun 2025 tersebut, bakal menggerakkan komunikasi politik yang cenderung mudah diarahkan untuk menciptakan kondisi, sehingga rakyat mudah diperlakukan sebagai musuh politik. Seraya membiarkan parta politisi memahami kekuasaan secara keliru.
Akibatnya, alih-alih menjadikan kekuasaan sebagai sarana bagi tata kelola hidup bersama untuk mencapai kebaikan umum, malah justru menjadikan kekuasaan sebagai tujuan demi mempertahankan kekuasaan itu sendiri. Pada pemilihan Presiden/Wakil Presiden 2024, sesat pikir KPU (yang diperkuat oleh keputusan lembaga lain, khasnya Mahkamah Konstitusi) telah menyebabkan sesat pikir berjamaah para kandidat Presiden/Wakil Presiden dan kandidat wakil rakyat dan para pengekornya.
Ho'o Huwo'o
Dengan Keputusan KPU No. 731 Tahun 2025 tersebut kelak kita akan dihadapkan lagi dengan taksonomi sesat pikir para petinggi politik negeri ini, sebagaimana diisyaratkan oleh G.L Hatch (2003) ihwal manipulasi logos, pathos, dan etos yang dimaknai sebagai argumen yang seolah-olah rasional, logos, dan sahih.
Meminjam pandangan Hatch dan Mayfield (2010), sesat pikir KPU menjebak rakyat terseret kesalahan nalar yang disengajakan melalui emosi, distraksi, dan kekeliruan induktif yang disengaja.
Antara lain, berupa ambiguitas iustilah politik yang samar, eufimisma sesat yang menyembunyikan makna, dan secara sistemik menjadikan presumsi dan akal-akalan politik menjadi (seolah-olah) kebenaran dan nalar politik.
Secara bersamaan para perampas hak kritis rakyat secara sadar menciptakan manipulasi emosi yang menyeret rakyat sebagai obyek teror politik. Dilakukan secara sadar dengan membangkitkan rasa takut dalam bersikap , berekspresi, dan bertindak kritis.
Selaras dengan hal tersebut, membangkitkan rasa kasihan kepada para kandidat Presiden/Wakil Presiden, dan kandidat wakil rakyat yang seolah-olah terzalimi, seraya menebar prasangka buruk dengan muslihat 'meracuni sumur' untuk menciptakan citra sebagai korban pembunuhan karakter.
Selebihnya, menciptakan situasi komunikasi (personal, sosial, dan massa) yang mendorong rakyat tergesa-gesa dalam mengambil kesimpulan. Menyeret rakyat ke dalam situasi hanya memiliki pilihan terbatas, dengan menutup banyak pilihan yang senyatanya. Antara lain melalui penyajian hasil survey dan polling yang dilakukan secara penetratif hipodermis.
Keputusan KPU No. 731 Tahun 2025 yang menyimpan sesat pikir penyelenggara praktik demokrasi akan lebih banyak mudharat, katimbang manfaat dalam penyelenggaraan praktik demokrasi yang bakal menyuburkan pragmatisma politik di rawa politik transaksional yang menyesatkan.
Cucu saya berdehem. Lalu berdiri. "Bercermin dalam gelap dulu, ah..," gumamnya sambil melangkah ke kamarnya. Lantas balik lagi. "Ho'o huwo'ho... KPU sudah membatalkan keputusannya No. 731 Tahun 2025. Ngeri digrudug rakyat kali ya.. !!! Saya pandangi dia sambil tertawa. Mèncla mènclè !|