
Yahya dan Nabila al-Sharbasi, bocah kembar Palestina berusia enam tahun. Teheran Times (17/11/25) mengabarkan, keduanya menderita luka parah, karena sebuah bom yang ditinggalkan di tengah reruntuhan lingkungan mereka, sebagai mainan.
Takdir pahit nan sansai dan pilu sepasang bocah kembar ini adalah satu dari peristiwa terkini yang terjadi setelah kesepakatan gencatan senjata antara Hamas versus zionis Israel atas Gaza yang sudah 'hancur menjadi debu.' Peristiwa ironis berdarah menyusul komitmen dunia (dalam Doha Summit) untuk memberantas kemiskinan. Anak-anak Gaza masih terancam ledakan bom zionis Israel.
Artikel Usaid Siddiqui (Al Jazeera, 7/11/25) menulis percakapannya dengan Yassir Shaheen -- ketua tim amal Humanity First UK di Gaza -- yang mengungkap kisah pilu. "... malam hari adalah bagian tersulit selama perang dua tahun zionis Israel yang menghancurkan di wilayah kantong tersebut."
Siddiqui mengungkap cerita Shaheen berikutnya, "Sering kali, kami terjaga, bibir kami kering, jantung kami berdebar ketakutan, merasa seolah-olah langit runtuh menimpa kami."
Jalur Gaza terpuruk, ungkap Siddiqui. Ekonomi lantak, infrastruktur porak-poranda. Penduduknya mengungsi, sedangkan gencatan senjata -- yang konon ditengahi Amerika Serikat (AS) -- rapuh dan nyaris tidak bertahan.
Lebih dari 68.000 warga Palestina, ungkap Kementerian Kesehatan, telah dipastikan tewas, dengan sekitar 10.000 masih terkubur di bawah reruntuhan.
Ketika para pemimpin dunia di ibu kota Qatar, Doha, berjanji dan berkomitmen untuk "tidak meninggalkan siapa pun" di KTT Dunia Kedua (4-6/11/25) untuk Pembangunan Sosial (WSSD) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Tetapi komitmen tersebut sangat kontras dengan kenyataan di Gaza, di mana akses terhadap kebutuhan dasar masih menjadi kemewahan. "Bahkan roti pun terasa sulit dijangkau," ungkap Shaheen.
Ia juga mengemukakan, meskipun harga telah turun dibandingkan dengan periode perang terburuk, harganya masih enam hingga sepuluh kali lebih tinggi.

Ancaman Signifikan
Berbagai informasi dari sumber lain mengemukakan, konvoi kendaraan yang membawa bantuan kemanusiaan ke Gaza, dihambat, bahkan dihentikan oleh warga zionis Israel dengan berbagai cara yang menyulitkan.
Kantor Media Pemerintah Gaza (Kamis, 13/11/25) mengatakan Israel hanya mengizinkan 4.453 truk masuk, hampir seperempat dari jumlah yang seharusnya masuk setiap hari menurut perjanjian gencatan senjata yang mulai berlaku pada 10 Oktober.
Iran merespon kondisi di Gaza - Palestina. Esmail Baqael, juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, mengecam pembunuhan yang terus berlanjut dan pelanggaran hak asasi manusia yang nyata di Gaza dan Tepi Barat.
Dengan tegas Baqael mengecam kelanjutan blokade di Gaza dan operasi pemblokiran yang dilakukan serdadu zionis Israel atas upaya Palestina membersihkan puing-puing reruntuhan bangunan. Zionis Israel juga mencegah pembangunan kembali jaringan kesehatan dan medis serta infrastruktur vital di Jalur Gaza, yang kian memperparah bencana kemanusiaan di musim dingin dan hujan.
Baqaei mengatakan bahwa tindakan tersebut merupakan bagian dari kebijakan genosida atas penduduk Palestina oleh zionis Israel. Ia mengecam tindakan biadab mereka, kendati gencatan senjata telah diberlakukan pada bulan Oktober. Pasukan zionis Israel dikabarkan terus membombardir Gaza secara sporadis yang mengakibatkan ratusan warga Palestina terbunuh selama beberapa minggu terakhir.
Lebih dari 80 persen bangunan telah hancur, sehingga sebagian besar wilayah yang terkepung tidak dapat dihuni. Situasi ini diperkirakan akan menjadi bencana besar dengan datangnya musim dingin. Bantuan yang datang masih lambat dan tidak mencukupi.
Teheran Times mengabarkan, laporan terbaru menyebutkan bahwa Gaza kini mungkin memiliki konsentrasi persenjataan yang belum meledak tertinggi di antara zona konflik mana pun di dunia. Hal tersebut menimbulkan ancaman signifikan dan berkelanjutan bagi warga sipil, bahkan setelah kampanye pengeboman Israel terhadap wilayah pesisir yang terkepung tersebut mereda.
Akan halnya The Economist, mengemukakan, terdapat bahaya besar di bawah reruntuhan, tempat pasukan pendudukan Israel menyebarkan banyak bom yang dilengkapi sekering aksi tertunda. Bom ini dapat meledak secara tak terduga — berhari-hari, berminggu-minggu, atau bahkan berbulan-bulan kemudian — di dalam bangunan yang runtuh atau ruang bawah tanah, sehingga menciptakan tantangan serius bagi operasi pembersihan dan membahayakan keluarga yang kembali.

Serangan Masih Berlangsung
Baqaei juga menyinggung, sampai kini masih berlangsung peningkatan serangan oleh permukiman pendudukan zionis Israel di Tepi Barat, penodaan masjid al-Aqsa, dan penangkapan serta penyiksaan sewenang-wenang yang terus berlanjut terhadap warga Palestina.
Dia juga mengemukakan, komunitas internasional memiliki "kewajiban hukum dan moral untuk menghentikan kejahatan Israel." Lebih lanjut, ia merujuk pada dukungan militer dan politik penuh AS terhadap rezim zionis Israel. Beberapa pemimpin negara-negara Eropa mengecam AS sebagai 'memanjangkan tangan' kejahatan zionis Israel.
Mengutip berbagai sumber keamanan, kantor berita Palestina, WAFA mengabarkan, dalam gelombang kekerasan terbaru, serdadu zionis Israel membunuh atau melukai beberapa pemuda Palestina dalam serangan terpisah di Tepi Barat.
Kantor berita ini juga mengabarkan bahwa serdadu zionis Israel menembak Jihad Jumaa Jadallah yang berusia 15 tahun kala mereka menyerbu kamp pengungsi Far'a di selatan kota Tubas, pada Ahad malam.
Disebutkan pula, serdadu zionis Israel mencegah paramedis untuk mencapainya guna memberikan bantuan medis. Kementerian Kesehatan Gaza menyebut, Jadallah, siswa kelas sembilan di Sekolah Dasar Putra al-Far'a -- yang dikelola badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk pengungsi Palestina (UNRWA) --, itu wafat akibat luka-lukanya pada hari yang sama.
Sebelumnya, Bulan Sabit Merah Palestina (PRCS) mengatakan bahwa petugasnya juga merawat seorang remaja berusia 18 tahun yang menderita luka pecahan peluru di tungkai bawah selama serangan militer Israel ke kamp Far'a. Tim ambulans dicegah untuk mencapai korban luka ketiga, yang kemudian ditahan. Secara terpisah, militer Israel membunuh Hassan Sharkasi dalam sebuah penggerebekan di kamp pengungsi Askar di timur Nablus, menurut PRCS. | jeahan