> Suara Bajaj dari Cikini," di Graha Bhakti Budaya">

Catatan Haèdar Mohammad
Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) menggelar acara tahunannya, Pidato Kebudayaan bertajuk "Global City >> Suara Bajaj dari Cikini," di Graha Bhakti Budaya - Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki - PKJ TIM (Senin, 10/11/25). Penyajinya adalah Afrizal Malna, maestro seni kata anggota Akademi Jakarta (AJ, 2020 -) dan Ketua Komite Teater DKJ (2016-2019)
Saya sengaja memilih 'seni kata' sebagai penanda keahlian dan profesionalitas Afrizal Malna (Zal), karena kepiawaian dan keandalannya dalam sastra dan seni pertunjukan. Ia karib dengan perkembangan media baru - produk budaya digital di era konseptual -- yang sedang kita tapaki.
Sebagai maestro seni kata (penyair, novelis, esais, penulis naskah dan kritikus teater) karya dan namanya mengglobal. Sejak penghujung abad XX, ia berulang kali hadir dalam berbagai festival internasional (dari Poetry International Rotterdam -1996 hingga International Poetry Night Hong Kong di beberapa Kota di Tiongkok dan Hong Kong, Oktober 2025). Ia menulis beberapa buku (Abad yang Berlari - 1984 hingga Revisi Telur Dadar Mentah - 2024).
Beberapa buku puisinya diterjemahkan untuk pembaca global, antara lain: Anxiety Myths, terjemahan Andy Fuller (Yayasan Lontar, Jakarta, 2013); Druckmaschine Drittmensch (edisi German), terjemahan Urilke Draesner, Katrin Bandel, Sophie Mahakam Anggawi (DAAD, Berlin 2015); dan Document Shredding Museum, terjemahan Daniel Owen (New York: World Poetry Books, 2024).
2008, Majalah TEMPO mendapuknya sebagai Man of The Year untuk buku puisinya Teman-temanku Dari Atap Bahasa; 2020 ia terpilih sebagai 'tokoh seni pilihan majalah TEMPO' untuk bukunya Prometheus Pinball. 2013 ia menerima Katulistiwa Award untuk buku puisinya “Museum penghancur dokumen." Setahun kemudian (2014), Departemen Pendidikan dan Kebudayaan memberinya Penghargaan Kritikus Seni Pertunjukan. 2018, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia memberinya Anugerah Kebudayaan (2018).
Mengantar pergelaran Pidato Kebudayaan ini, DKJ lewat ucapan Ketua II Felencia (Elen) Hutabarat membeber hal ihwal 'Kota Global' yang mencuat menyertai UU No.2 Tahun 2024 tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta. Saya memandang UU ini laksana pisau setengah (tumpul dan tajam) memutus sejarah panjang Jakarta sebagai ibu kota negara dengan segala dramatikanya.
Elen menutup ucapannya dengan frasa, "Jika kota global diibaratkan sebagai mangkuk salad, tempat berbagai elemen hidup berdampingan tanpa saling meniadakan, maka kami berharap pidato kebudayaan ini bisa menjadi upaya kecil untuk mengubahnya menjadi piring asinan Jakarta: diracik bersama warga, berlapis rasa, berpadu tanpa kehilangan ciri, dan akhirnya dinikmati sebagai kenduri bersama."

Jakarta dalam Kopor Afrizal Malna
Staf Khusus Gubernur Jakarta, Yustinus Prastowo memberi artikulasi aksentuatif yang mengapresiasi sekaligus menunjukkan respek atas acara tersebut dan Zal sebagai kreator dan penyajinya. Ucapan Prastowo sarat makna, menjanjikan harapan bagi luah pemikiran dan pandangan kritis kepada Pemerintah Provinsi Jakarta. Seketika, menyimak ucapan Prastowo, terulang ingat pandangan Soedjatmoko - Anggota AJ di masa awal -- yang beroleh amanah sebagai Rektor PBB di Tokyo -- tentang komunikasi untuk pembangunan.
Apa yang dikemukakan Prastowo terkait dengan penting dan perlunya komunikasi kreatif, terbuka dan tidak menghalangi interaksi pemerintah dengan khalayak. Hal ini, dikaitkan dengan pandangan Soedjatmoko (1986) bermanfaat untuk 'menciptakan' keadilan informasi bagi semua kalangan.
Zal mengemas pidato kebudayaannya -- sebagaimana halnya pemahaman kebudayaan itu sendiri -- dalam makna yang luas. Formatnya memikat: multi media, multi channel, dan multi formula, sehingga tidak membosankan. Saya menyaksikannya sebagai 'realitas kedua' melalui saluran youtube DKJ -- yang - tentu -dibatasi yang 'memetik gambar' dan membatasinya dengan bingkai lensa kamera.
Kendati demikian, saya teresonansi dengan seluruh performa Zal dengan para kolaboratornya (Jaringan Masyarakat Miskin Kota, Mahariah - Perwakilan Warga Pulau Pramuka, Siti Julaeha - pembaca puisi, dan (tentu) performa Voice of Baceprot - kelompok musik metal perempuan berhijab asal Singajaya - Garut, yang mengglobal dan beken di panggung-panggung festival dan pergelaran musik dunia.
Zal membuka performanya dengan kalem. Melangkah tenang melintasi panggung sambil 'menyeret' kopor kecil. Meletakkannya di atas meja, membuka dan mengeluarkan barang-barang yang terdapat di dalamnya, termasuk bando anak-anak. Penampakan laku Zal dalam realitas pertama kehidupan. Zal menyimpan Jakarta dalam kopor.
"Saudara-saudara, ini bukan pidato biasa. Saya bukan seorang pakar. Saya tidak pandai berpidato. Ini adalah “suara bajaj dari Cikini,”sebuah pidato sebagai pertunjukan, alih-alih terpeleset sebagai stand-up comedy. Saya akan berkolaborasi dengan teman-teman dari Jaringan Rakyat Miskin Kota (Kampung Akuarium, Pasar Ikan, Jakarta Utara), bagian dari Urban Poor Consortium," ungkapnya.
Zal memilih dirinya sebagai pintu masuk ke substansi 'pidato'-nya, kenangan masa kanak-kanak sebagai anak yang lahir dan besar di Senen. Ayahnya pemilik kedai resto masakan Padang "Setia."

Bajaj Mengganti Kenangan Becak
Bagi kalangan yang sebaya atau lebih tua usia darinya, sejak bagian awal performanya, Zal sudah membongkar memori kehidupan Jakarta dekade 60 - 70-an. Ia cerita tentang bajaj yang 'mengganti kenangan'-nya tentang becak - kendaraan penumpang umum tenaga manusia -- secara detil, termasuk abang (pengayuh) becak yang murah senyum dan mengantar dia pergi ke sekolah Taman Kanak-kanak dan Sekolah dasar di Jalan Kwini.
Aksentuatif, ia bercerita kalem, "Jakartalah yang kelak paling brutal menghabisi kendaraan ini, menenggelamkannya ke dasar laut. Seolah-olah, kendaraan yang ikut membentuk sejarah transportasi awal dari masa kolonial dan kemerdekaan ini, tidak punya hak sama sekali atas sejarah Jakarta."
Ia bercerita pula tentang sekolahnya (di Jalan Kwini - dekat Gedung Stovia : kini Museum Kebangkitan Nasional) yang tetiba ditutup, tanpa tahu alasannya, sehingga ia mesti pindah ke sekolah negeri di bilangan Kramat Pulo.
Cerita kenangannya ini segera membuka ingatan saya tentang Gang Tembok dan Gang Kernolong (Kali Pasir yang sezona dengan TIM -- Taman Ismail Marzuki), Bioskop Rivoli, Pasar Gaplok, bengkel lukisan bagor - baliho film untuk bioskop di tepian rel kereta api (jurusan Senen - Jatinegara), sampai Kramat Pulo Gundul, Johar Baru, Rawasari, Pasar Pramuka, Kayu Manis, dan Pisangan Baru.
Ia bercerita tentang sekolahnya siang hari di SMP Negeri VI -- pagi hari merupakan SMP Negeri I -- yang menyambung interaksinya dengan TIM atau sebelumnya sebagai Kebon Binatang Raden Saleh.
Ketika inilah dia 'ngulik' informasi kepada kakaknya ihwal alasan sekolahnya di Jl Kwini ditutup beberapa tahun lalu. Sekolah itu ditutup. "Kepala sekolahnya PKI, komunis.” Zal tidak tahu apa itu PKI, apa itu Komunis. "Tetapi inilah awal saya mulai melihat Indonesia sebagai kisah yang muram dan gelap, bersama dengan becak yang kelak ditenggelamkan ke dasar laut."
Seperti seorang penggali sumur yang tekun, Zal menggali dan mengungkap banyak hal dan peristiwa sosial, budaya, ekonomi, sains, teknologi, dan politik yang menyuburkan pandangan kritisnya -- dengan berbagai perspektif - tentang pembangunan kota berdampak budaya yang luas, khasnya kemanusiaan. Kesemua itu terkesan memengaruhi karya-karyanya.

Tak Sempat Mendedah
Dalam narasi panjang pandangan kritisnya tentang Jakarta yang mengungkap ihwal kontroversi kata dalam retorika 'sabda tanpa makna' penguasa dengan realita hidup rakyat miskin kota, Zal memilih pelantang suara dari mereka yang nasib di tengah kota yang kejam, dehumanis, bahkan mengandung virus apartheid.
Secara sadar ia nyatakan, "60 Tahun kemudian setelah peristiwa 65 itu, dan saya sudah jadi seorang kakek, ketika mulai muncul wacana Ibu Kota akan pindah ke Kalimantan, Jakarta mulai membayangkan masa depannya sebagai kota global.
"Kota yang oleh pemerintah kota dibayangkan melalui visi dimana Jakarta bisa memberikan kesempatan setara bagi semua, berdaya saing global, namun tetap menghargai nilai-nilai lokal. Sebagai pusat perekonomian nasional, regional, dan global. Mengintegrasikan Jakarta ke dalam jaringan ekonomi dunia, menarik investasi dan sumber daya manusia global. Meningkatkan kualitas hidup penduduknya melalui pembangunan berkelanjutan."
Di sini, Zal tak sempat mengulik dan mendedah, sungguhkah visi pemerintah (termasuk pemerintah kota) merupakan visi kehidupan masyarakat senyatanya. Atau yang pemerintah sebut sebagai visi, sesungguhnya hanya jebakan fantasi sejumlah kalangan penikmat kekuasaan, tanpa kecuali para akademisi, kaum terpelajar, dan kaum berkemampuan ekonomi yang sangat berjarak dengan kaum miskin kota?
Pertunjukan Pidato Kebudayaan Zal menjadi 'santapan nalar, nurani, naluri, dan rasa' kemanusiaan, laksana gado-gado atau asinan serba rasa. Zal, lewat puisi-puisinya, puisi Chairil Anwar, Remy Silado, dan berbagai penyair lainnya yang disajikan secara audio visual.
Pun, dalam bentuk luah perasaan terluka rakyat yang disampaikan secara langsung secara on the spot. Ekspresi langsung perasaan rakyat yang selalu diposisikan sebagai obyek pembangunan kota. Ungkapan perasaan rakyat kini, sebagai jalin warisan panjang luka sansai rakyat dalam tekanan para oligark sejak masa kolonial abad XVI, lalu masa VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) dan penjajahan Belanda.

I Love Jakarta
Cerita panjang paradoks sukacita kolonialis (oligark) versus dukaderita rakyat, itu tersimpan di balik ungkapan Zal tentang “Jembatan Inggris” atau “Engelse Burg” atau diubah lagi menjadi "Hoenderpasarburg" (Jembatan Pasar Ayam), "Het Middelpunt Burg" (Jembatan Pusat), Jembatan Ratu Juliana. Jembatan jungkit atau jembatan gantung pertama di Batavia yang pernah rusak dalam serangan Mataram tahun 1628-29. Kini lebih dikenal sebagai “Jembatan Kota Intan.”
Dengan referensi yang terpilih, dan cukup untuk membuka mata hati dalam melihat hari kemarin, hari ini, dan hari esok secara dimensional. Ditingkah dentam bas, hentak drum bertenaga, lengking raung melodi dan pekik lagu metal Voice of Baceprot -- sebagai bentuk lain retorika Pidato Kebudayaan ini, Zal menghadapkan kita pada realitas.
Jakarta sebagai ibu kota negara dengan rangkaian sejarah yang menyertainya, termasuk percakapan panjang herorisme, patriotisme, sebagaimana tersimpan dalam naskah Proklamasi 17 Agustus 1945, dan gerak serempak melangkah ke masa lampau dengan spirit narrow nasionalisme, bakal segera masuk kopor Zal.
Boleh jadi kopor itu akan dibawa Zal ke dalam realita lanjut di dermaga Tanjung Priok, seperti ujaran dan pertanyaannya : "Hingga kini : Tanjung Priok, Batavia, maupun Jakarta tidak pernah bisa melampaui Singapura sebagai kota yang lebih dulu menjadi bagian dari representasi kota global masa kini. Tetapi apakah kita perlu melampauinya? Bukankah sejarah kita berbeda, walau pernah sama-sama mengalami masa kolonial dalam satu kawasan sama di Asia Tenggara?"
Pertanyaan demikian boleh berpaut dengan pertanyaan lain, cukupkah Jakarta sebagai 'pusat perekonomian nasional dan kota global' mengemban suratan hari kemarin sebagai Ibukota Asia Tenggara (ASEAN) seolah New York untuk Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Lantas dari landskap Monumen Nasional (Monas) dilaungkan semangat global nationalism.
Zal mengingatkan, "Kota global yang kita bayangkan itu tentu bukankah sebuah kota ajaib yang hidup di dasar laut. Juga bukan kota yang bangunannya penuh dengan air mata rakyat. Sisi ini tidak hanya menyimpan sumber kekayaan penting di mana common sense kota tersimpan. Tetapi juga bagaimana kota hidup bersama memori kolektif yang mewarnainya, yang memberinya nama-nama, yang memberinya cerita, ilusi waktu dan puisi." Lantas, kelak bocah-bocah masa depan bergumam di depan Balai Kota Jakarta, "I love Jakarta."
Lepas dari soal itu, Afrizal Malna telah berhasil mengubah Pidato Kebudayaan menjadi pertunjukan yang memikat dan menyadarkan. Zal tak perlu melakoni nasihat penyanyi konser Doug Lawrence kepada Guy Kawasaki (2007) - pemimpin utama Canva, untuk mengangkat tinggi sternum (tulang dada) untuk menunjukkan wibawa. Tulang dada Zal tetap rileks dan dia berhasil merasuk ke benak khalayak, baik di lokasi (GBB PKJ TIM) atau di mana saja via saluran youtube. |