Sindroma Eksistensi dan Eksistensi Berkualitas

| dilihat 304

Bang Sem

Salah satu problema manusia di masa tua adalah menghadapi sindroma eksistensi. Secara umum, sindroma eksistensi sebagai istilah dipahami sebagai suatu keadaan psikologis seseorang yang mengacu pada beragam gejala terkait dengan perasaan hilang keberadaan diri (eksistensi).

Gejala psikis mempertanyaan eksistensi diri lantaran kuatnya perasaan terpisah, tak nyata. Sindroma ini tak dikenal dalam psikologi klinis atau psikiatri. Namun, tak jarang yang menghubungkannya dengan sindroma Cotard atau delusi Cotard.

Sindroma Cotard terpetik dari temuan pemikiran ahli saraf dan psikiater Jules Cotard (1880) yang menggambarkan kondisi sindroma eksistensi sebagai le délire des négations, sindroma penyangkalan atas keberadaan diri sejatinya,

Cotard mengkategorikan sindroma semacam ini sebagai sindroma 'mayat berjalan.' Seseorang yang sejatinya ada, eksis, namun merasa tiada. Karenanya, Cotard menyebut, sindroma eksistensi merupakan sindroma kejiwaan dengan tingkat keparahan yang bervariasi.

Dalam skala ringan, ditandai dengan keputusasaan karena merasa keberadaan dirinya dipandang tiada. Ini, jelas gangguan mental. Fenomana sindroma eksistensi kerap dialami siapa saja di lingkungan masyarakat yang terlalu kuat dipengaruhi budaya feodal. Terikat kuat dengan patronase - clientelism dalam relasi korelasi sosial (baik patron client relationship maupun traditional authority relationship).

Tanda-tanda manusia yang terserang sindroma eksistensi dapat terlihat dalam kehidupan komunal dan sosial masyarakat sehari-hari. Misalnya, dalam suatu perhelatan, seremoni, atau kegiatan formal lainnya, seorang pembicara di mimbar tak menyebut (boleh jadi karena terlupa atau melihat) keberadaan seseorang (sebutlah tokoh) yang pernah amat eksis (baik karena kedudukan maupun popularitas) di masanya, namun hadir sebagai khalayak.

Tampak perubahan psikis sang tokoh -- yang telah lebur dalam khalayak sebagai bukan sesiapa. Air wajahnya berubah karena kecewa, gundah, dan bahasa tubuhnya menampakkan kesan hilang makna.

Realitas Material Asasi

Ada pribadi yang menelan perasaan tak terbilang di dalam dirinya saat eksistensinya terabaikan, ada juga yang mengekspresikannya dengan 'misu-misu' atau 'gerundelan.' Lantas dia hanyut dalam presumsi di benaknya, bahwa keberadaan dirinya tak lagi penting.

Dalam budaya Melayu, seorang pembicara di depan khalayak, terpandu untuk menyampaikan ma'af, seraya mengatakan, "yang besar tak diimbau gelar, yang kecil disebut nama." Karena dalam dan sebagai khalayak, berlaku kesetaraan insaniah.

Di sisi lain, adab bersalam itu dipandukan, agar pribadi yang pernah eksis dengan segala atribusi sosial, politik, dan budaya tak terpantik oleh gejala sindroma eksistensi. Sekaligus untuk mendandai inklusifitas sebagai bagian tak terpisahkan dari egaliterianisma yang lazim menjadi penanda masyarakat madaniah -- civil society -- yang demokratis.

Eksistensi merupakan sesuatu yang dipandang penting oleh manusia. Filosof Jerman Friedrich Nietszche (1844-1900) - pemikir eksistensialisma, memandang eksistensi sebagai realitas material yang asasi.

Karenanya, setiap pribadi yang 'memburu' eksistensinya dengan menciptakan makna diri melalui embel-embel (status, gelar, kekuasaan, popularitas, prestasi) sebagai prestise merupakan aksi hidup yang wajar.

Pada penganut faham materialisma, eksistensi manusia bertolak dari hasrat, keperluan, dan kepentingan masing-masing pribadi, terlepas dari hal-hal spiritual transedensi. Hal tersebut mewujud dalam laku memenuhi hasrat eksistensial melalui beragam cara.

Kesadaran Tahu Diri

Perburuan kekuasaan, popularitas, prestasi material dan yang sejenisnya, lantas menjadi daya dorong asasi kehidupannya, lantas mewujudkannya sebagai identitas eksistensial dirinya. Mereka memandang eksistensi sebagai sesuatu yang teramat berharga.

Eksistensi bagi sebagian orang dipandang demikian karena khas, menawarkan potensi diri (termasuk kreativitas) dalam mencapai tujuan hidup tertentu.

Hal demikian berbeda dalam perspektif ajaran Muhammad SAW yang menempatkan eksistensi sebagai daya dan tujuan spiritual yang mengikuti petunjuk Ilahi. Khasnya karena relasi manusia dengan Tuhan terkait dengan Sang Maha Pencipta dan makhluk ciptaan-Nya yang diberikan kelengkapan nalar, naluri, nurani, rasa dan dria (supra raga).

Karenanya, eksistensi dalam Islam sebagai ajaran Allah yang dipandu Muhammad SAW dan panduan cara hidup tauhid (keyakinan kepada absoluditas Tuhan Maha dari segala yang Maha (Allah) dan pengakuan atas realitas semesta sebagai ciptaan-Nya.

Karenanya pencapaian eksistensi manusia bertegak di atas tauhid -- yang diimplementasikan dengan aqidah, syari'ah, muamalah dan akhlaq -- melalui penguasaan sains, teknologi, dan sistem kehidupan dalam kesetaraan, dan dikecualikan oleh kualitas spiritual (taqwa). Muaranya adalah kesadaran untuk sampai pada puncak eksistensi insaniah sebagai insan kamil.

Eksistensialisma dalam Islam dalam berbagai panduan hidup islami, bertolak dari kesadaran untuk mengenali diri, tahu diri. Mengenali asal usul keberadaan insaniah diri sebagai ciptaan dari Maha Pencipta Nan Maha Bijaksana. Allah menciptakan manusia secara terencana dengan tujuan tertentu, bukan secara kebetulan.

Eksistensi Berkualitas

Bagi Allah, eksistensi manusia adalah demi kebaikan manusia itu sendiri dengan berbagai parameter kualifikasinya (muslim, mukmin, mukhsin). Berlaku prinsip: semua manusia sama, kecuali kualitas ketaqwaannya. Dengan demikian, pencapaian eksistensi manusia adalah untuk kemanfaatan luas bagi sesama insan dan semesta.

Eksistensi manusia dengan demikian, mengemban fungsi dan tanggung jawab sebagai rahmat atas semesta, insan yang bertanggung jawab merawat semesta (mulai dari merawat bumi sampai menyempurnakan tanpa henti peradaban). Semesta dan manusia akan binasa. Tidak demikian halnya dengan eksistensi insaniah manusia, lantaran ada ruh yang abadi (tak bersifat material dan fana).

Maknanya, eksistensi manusia tak bergantung pada hal-hal elementer duniawi, seperti status sosio budaya, ekonomi, kekuasaan, melainkan bergantung pada tujuan hidup sebagai insan kamil yang bahagia di dunia dan akhirat, serta terbebas dari bencana di dalamnya.

Eksistensi yang sedemikian, kekal dan terabadikan meski jasadnya sudah tiada. Itulah eksistensi berdimensi masa depan dalam kebahagiaan sempurna di akhirat. Eksistensi insaniah sedemikianlah yang disukai Rasulullah Muhammad SAW.

Untuk itulah eksistensi bukan sekadar eksistensi, melainkan eksistensi berkualitas kemanfaatan bagi sesama manusia dan semesta, karenanya akan selalu ada meski secara material sudah tiada. Eksistensi semacam ini yang ada selamanya, termasuk hadir dalam kenangan. Eksistensi insaniah ada karena eksistensi-Nya.

Bagi manusia dengan eksistensi berkualitas semacam ini, tak dikenal sindroma eksistensi. Gapailah eksistensi sedemikian, Bukan eksistensi sekejap yang melekat bersama status sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Caranya berkarya tanpa henti dengan keikhlasan, termasuk kesahajaan.. |

Editor : delanova | Sumber : berbagai sumber
 
Energi & Tambang
Sporta