Tengkujuh Politik Tiga Negara ASEAN

| dilihat 466

Catatan Haedar Mohammad

Tengkujuh politik tak bosan bertiup kawasan Asia Tenggara dalam lingkup negara anggota ASEAN. Melanda Thailand, Malaysia, Singapura dan Filipina, selepas berkutat di Myanmar. Brunei Darussalam, Laos, Kamboja, dan Vietnam, agaknya tak terkunjungi. Artikel ini mengambil perhatian pada tiga negara: Thailand, Malaysia dan Indonesia.

Dalam konteks alamiah, tengkujuh membawa angin dari dua arah. Pada rentang waktu Mei - September, tengkujuh bertiup dari arah barat daya, membawa hujan basah dengan segala dampaknya alamiah yang ditimbulkannya: banjir bandang, longsor, gerakan tanah dan tentu penyakit. Pada rentang waktu Oktober - April tengkujuh menghantarkan angin dari timur laut, sehingga terjadi hujan kering. 

Belakangan hari, karena terjadinya pemanasan global dan rusaknya tatanan ekologis, sering terjadi anomali. Penyebabnya, antara lain, deforestasi - pembabatan hutan dan tata kelola penambangan yang buruk.

Dalam salah satu rumpaka Sunda, anomali tengkujuh alamiah diisyaratkan dengan narasi dan diksi yang terang benderang, "gunung-gunung dibarubuh, tatangkalan dituaran, cai ca'ah babanjiran, bhuwana marudah motah." (praktik penambangan yang buruk - bad mining peactise, deforestasi, menimbulkan banjir bandang, menghadirkan suhu tak menentu - membuat ringsang). Dampaknya, bencana alam.

Dalam konteks politik, tengkujuh politik alias political monsuun, merupakan hembusan dinamis angin perubahan politik yang di belakang hari, juga mengalami anomali.

Ekosistem politik menjadi tidak karuan disebabkan oleh praktik politik yang mengubah gerakan reformasi menjadi deformasi, terutama karena syahwat kekuasaan (ambisi dan obsesi otoriterianisma) merayap dan beraksi sedemikian rupa (boleh jadi tak nampak, tetapi terasakan) mereduksi demokrasi.

Konstitusi direduksi, hukum yang menjadi alat merusak ekosistem kebenaran, berubah menjadi sekadar alat pembenaran atas gagasan, kebijakan, dan aksi kekuasaan.

Pemecatan Perdana Menteri Thavisin

Setarikan nafas, politik pragmatis (termasuk politik transaksional) terus bergerak di tengah situasi ketidakpastian, kegamangan, keribetan, dan kemenduaan (dalam wujud politik illiberalisma). Diperkuat oleh upaya kalangan penguasa, menghancurkan nalar khalayak secara penetratif hipodermis. Antara lain melalui survey politik pesanan, meracuni komunikasi politik dengan menebar ghibah (isu), buhtan (hoasx), fitan (fitnah), dan namimah (adu domba) yang melelahkan khalayak.

Di Thailand, Rabu (14/8/24), Mahkamah Konstitusi memecat Perdana Menteri (PM) Srettha Thavisin, karena terbukti melanggar etika. Thavisin telah menunjuk dan melantik seorang mantan banduan (narapidana) sebagai menteri dalam kabinetnya. Karenanya, Srettha dinyatakan bersalah melanggar konstitusi Thailand, dan hakim konstitusi memberhentikannya sebagai pemimpin puncak pemerintahan.

Pemecatan itu dianggap sebagai isyarat, bahwa kalangan politisi konservatif masih punya gah (wibawa). Paetongtarn Shinawatra - Ketua Umum Partai Pheu Thai, pun dilantik menjabat PM.  

Paetongtarn adalah puteri Thaksin Sinawatra (PM Thailand 2001-2006 yang terkenal dengan progamnya One Village One Product, dan baru dibebaskan Februari 2024). Paetongtran yang beken dengan panggilan Ung Ing ini juga kemenakan Yingluck Shinawatra (PM Thailand 2011-2014). Yingluck lantas berkonsentrasi pada bisnisnya.

Partai Pheu Thai yang dipimpin Paetongtarn, disusul Partai Move Forward yang dipimpin Pita Limjaroenrat (14/5/23) - memperoleh suaran terbanyak dan memenangkan pemilihan umum (14/5/23). Tapi, Paetongtarn maupun Pita Limjaroenrat terjegal untuk memimpin dan menjalankan pemerintahan. Mereka terbegal karena 250 senator yang diangkat oleh pemerintahan militer tidak memberikan dukungan. (Baca: Kemenangan Besar Gerakan Perubahan di Thailand)

Pita menggerakkan partainya sebagai oposan dan memperjuangkan perubahan konstitusi dalam aksi besar demiliterisasi, demonopoli, dan desentralisasi. Karena integritasnya yang kuat, orang muda berusia 40 tahunan tersebut lantas dipatahkan oleh kekuatan konservatif. 7 Agustus 2024, partai idola generasi millenial dan Gen Z tersebut dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Hasrat dan keinginan lama Ung Ing menggandeng Pita mengelola pemerintahan dengan tema sentral perubahan, itu pun terkulai. Hatta, kader-kader tangguh Partai Move Forward dipimpin Natthaphong Ruengpanyawut (Prachachon) dan Parit Wacharasindhu mendeklarasikan berdirinya partai Rakyat (the Peoples Party) pada Jum'at (9/8/24).

Rakyat Malaysia Menghukum Partai

Politisi gaèk 'bulukan,' khasnya dari kalangan berlatar militer, seperti United Thai Nation, menggalang koalisi dengan Partai Bhumjaithai, Partai Palang Prachachart, dan beberapa partai lainnya. Koalisi ini akan menjadi batu sandungan bagi Ung Ing, sebagaimana dialami ayahnya dan bibinya. Kecuali Ung Ing secara berhati-hati membuka pintu bagi Anutin Charnvirakul (Bhumjaithai) yang dijuluki 'pialang politik transaksional' atau Prawit Wongsuwan (Palang Prachachart) untuk bergabung dalam koalisinya.

Tengkujuh politik sampai saat ini masih menggoyang dinamika politik Malaysia yang masih dipimpin dan dipengaruhi para politisi gaèk. Tun Mahathir, yang paling gaèk (namun masih tangkas dan bernas dalam nalar politik) terus berkiprah dalam lakonan politik Malaysia. Ia masih memainkan roll, hanya bergeser peran, dari pemeran utama ke pemeran tepian.

Sejak gagal ke parlemen dari zona politiknya, Langkawi, Tun lebih memusatkan perhatian pada Perdana Institute yang didirikannya. Ia tak menjadi bagian dari koalisi mana pun, selepas Parti Pejuang yang juga didirikannya berada di luar orbit dua koalisi besar Pakatan Harapan (PH) dan Perikatan Nasional (PN). Pun demikian halnya dengan politisi gaèk lainnya, Lim Kit Siang.

PH merupakan koalisi ini setelah melakukan perpaduan (kolaborasi) plus plus akhirnya dapat membentuk Pemerintahan Perpaduan dengan jargon besar Malaysia Madani, yang dipimpin PM X Anwar Ibrahim. Dalam koalisi PH (Parti Keadilan, Parti Aksi Demokratik, Parti Amanah, UPKO - United Progressive Kinabalu ) plus UMNO - Barisan Nasional plus GPS (Gabungan Parti Sarawak), PBS (Parti Sarawak Bersatu), KDM (Parti Kesejahteraan Demokratik), dan PBM (Parti Bangsa Malaysia).

Koalisi PH ini menghadapi koalisi pembangkang (oposan) Perikatan Nasional (PN) yang terdiri dari Bersatu (Partai Bersatu Malaysia), PAS (Parti Al-Islam Sa-Malaysia),  Gerakan (Parti Gerakan Rakyat Malaysia), SAPP (Parti Progressif Sabah), MIPP (Parti Rakyat India Malaysia). Dalam koalisi ini, politisi gaek PAS, Hadi Awang masih memainkan roll bersama Muhyidin Yassin, dengan raising star-nya, Sanusi (Menteri Besar Kedah selain Azmin Ali (bekas 'tangan kanan' Anwar Ibrahim, bekas MB Selangor dan bekas Menteri Kanan masa Muhyidin memimpin sebagai PM VIII).

Koalisi besar PH Plus Plus terjadi, karena dalam Pilihan Raya Umum ke 15, rakyat - konstituen menghukum partai-partai melalui kader-kadernya sebagai kandidat anggota parlemen. Hasil PRU 15 menunjukkan, tak ada satupun partai yang memenuhi syarat untuk membentuk pemerintahan. Karenanya, selama beberapa pekan, Malaysia mengalami 'hang of parliament dan hang of government.'

Gagalnya KJ dan Nurul Izzah

Setelah melakukan berbagai komunikasi dan transaksi politik (antara lain mengangkat Presiden UMNO Dato' Seri Zahid Hamidi -- yang bermasalah hukum di mahkamah -- sebagai Timbalan Perdana Menteri dan Dato' Seri Fadillah Yusof ) sehingga bilangan kursi parlemen memenuhi syarat, mereka menghadap dan kemudian dilantik oleh Yang Di-Pertuan Agong ke 16, Sultan Abdullah (dari Negeri Pahang) untuk menyelenggarakan pemerintahan (sejak 3 Desember 2022).

Koalisi PH Plus-Plus tersebut menimbulkan reaksi dan keriuhan di tubuh UMNO. Zahid Hamidi memecat keanggotan kalangan gerakan perubahan dan pembaruan, seperti Khairy Jamaluddin, Noch Omar, Anuar Musa (kemudian pindah ke PAS), Tajudin Abdul Rahman, dan 'menggantung' (skors) Hishamuddin Husein, Shahril Hamdan, dan lainnya.

Dalam PRU ke 15 yang dipercepat atas desakan petinggi UMNO kepada PM IX Ismail Sabri Jakob, partai kaum Melayu UMNO yang berkuasa lebih enam dekade, tumbang dan kian terpuruk. Kader-kader terbaik -- khasnya dari kalangan muda, seperti Khairy Jamaluddin (mantan Menteri Belia dan Sukan, Menteri Inovasi, dan Menteri Kesehatan) -- yang berpengaruh kuat di Rembau, dijegal, dipindahkan ke daerah pemilihan Sungai Buloh, yang UMNO selalu kalah teruk. Penyebabnya, antara lain kritik kerasnya terhadap Presiden UMNO, Zahid Hamidi. (Baca: Perundingan Paradox Pakatan Harapan dengan Barisan Nasional di Seri Pacific)

Pada PRU 15, itu tak hanya Khairy (UMNO-BN) yang gagal. Nurul Izzah (Parti Keadilan - PH), puteri Anwar Ibrahim ditinggalkan konstituennya di Permatang Pauh, basis politik keluarga. Rakyat kecewa karena apa yng dikampanyekan tak mewujud nyata dan tak terasakan oleh rakyat.  Anwar Ibrahim sendiri, lagi, berpindah ajang 'pertarungan' dari Port Dickson - Negeri Sembilan ke Tambun - Perak.

Yang kemudian menarik adalah melesatnya bintang baru di Parti Aksi Demokratik dari kalangan Melayu, seperti Syahredzan dan Syefura. Keduanya menunjukkan, bahwa DAP tak selalu identik dengan politisi dari kalangan China dan India, Dalam kampanye di kawasan Lembah Pantai, Syahredzan turun berkampanye untuk Fahmi Fadzil ( kini Menteri Komunikasi) sebagai sesama generasi millenial.

Tengkujuh politik di Malaysia banyak disebut juga sebagai 'hempasan ribut (badai)' yang membuat UMNO - BN terhuyung. Perikatan Nasional (PN) pimpinan Muhyiddin Yassin, meski tak memenangkan seluruh ajang kontestasi yang ditargetkannya, banyak menangguk untung. Khasnya, karena PAS memainkan isu-isu agama, Ketuanan Melayu, kesejahteraan rakyat, dan berbagai isu sensitif lain yang memantik primordialisma. Gelombang tengkujuh politik beberapa waktu belakangan hari terasa pada Pilihan Raya Negeri (PRN) -- sejenis Pilkada di Indonesia.

Dimensi Baru yang Pupus

Dalam situasi demikian, menarik disimak langkah yang ditempuh Khairy Jamaluddin yang 'menikmati pemecatannya' dengan menjadi broadcaster radio, pembicara di forum-forum intelektual di dalam dan luar negeri, tanpa kecuali bersama Shahril memandu podcast 'Keluar Sekejap' dengan rata-rata di atas 340 ribu subcriber lebih dengan total viewer 43,6 juta peminat.

Beralih posisi sebagai broadcaster radio dan podcaster bagi Khairy (juga Shahril, mitranya di podcast Keluar Sekejap) boleh disebut sebagai upaya kongkret 'menabung konstituen' bagi mereka, bila kelak terjun kembali ke lapangan politik.

Pengalaman, pengetahuan dan gaya politik praktis memungkinkan keduanya kelak eksis kembali sebagai politisi dengan performa yang berbeda dengan kalangan segenerasi.

Dalam konteks ini, tengkujuh politik di Malaysia, memberi isyarat, kemanfaatan politik -- sepanjang dicapai dengan kreativitas dan inovasi -- bukan merupakan petaka bagi karir politik politisi dengan 'frame' negarawan.

Tengkujuh politik Malaysia boleh jadi merupakan berkah bagi Khairy, Shahril, Syahredzan, Syefura, Fahmi Fadzil, Adzalina, Hannah Yeoh, Nurul Izzah, Azmin Ali, Sanusi, sekaligus tantangan berat dan batu sandungan bagi Syed Saddiq (Parti Muda) yang dilantik Tun Mahathir sebagai Menteri Belia dan Sukan dalam usia 26 tahun (2018).

Ia dan politisi partai Muda, mesti berjuang lebih keras untuk bangkit, berdiri, dan melangkah ke ajang politik Malaysia mendatang. Pun bagi Muhriz Mahathir - pemimpin Parti Pejuang, bekas Menteri Besar Kedah dan Wakil Menteri Perdagangan dan Industri Internasional.

Di Indonesia, tengkujuh politik terjadi sejak 2014. Semula menjadi dimensi baru perpolitikan Indonesia, yang menandai proses transisi dari politisi gaèk ke politisi generasi berikutnya. Sejumlah nama (Ferry Alm. Mursyidan Baldan, Anies Rasyid Baswedan, Rachmat Gobel, Puan Maharani, Sandiaga Uno, Tom Lembong, Luthfi, Agus Harimuti Yudhoyono (AHY), Muhaimin Iskandar, Ganjar Pranowo, dan lain-lain) mencuat ke permukaan, seiring dengan tumbangnya politisi muda Anas Urbaningrum dan lainnya. Belakangan, tengkujuh politik yang bergerak bersamaan dengan arus perubahan menguatnya kuasa oligarki, mengombang ambingkan mereka.

Proses reformasi yang menjurus ke arah deformasi politik kebangsaan yang antara lain ditandai oleh polarisasi dan perubahan kuat nalar dan nurani politik ke akal-akalan politik, seolah menjungkirbalikan situasi. Anies Rasyid Baswedan -- sebagai Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta) melesat tak hanya sebagai tokoh nasional, melainkan menjadi meteor di jagad global.

Perubahan politik selepas Pemilihan Umum (Pemilu 2019) lantas memunculkan nama-nama baru di pelataran politik Indonesia, seperti Erick Thohir, Nadiem Makarim, Bahlil, dan Yaqut Cholil Qoumas dengan performa masing-masing yang kontroversial.

Di tengah riuh gaduh dan kebisingan politik demikian, di tengah gempuyran nanomonster Covid 19, Anies makin melesat. Di sisi lain, nama AHY juga mencuat lantaran keberadaannya sebagai Ketua Umum Partai Demokrat digoyang dari luar oleh bekas Panglima TNI, Moeldoko.

Riuh gaduh nyaris tak berkesudahan. Kian gaduh dan berisik, kala memasuki momentum demokrasi, khasnya Pemilihan Presiden/Wakil Presiden RI 2024-2029. Pasanngan Capres/Cawapres Anies dan Muhaimin Iskandar, Ganjar Pranowo dan Machfud MD, berkontestasi dan berkompetisi dengan Prabowo Subianto dan Gibran putera Presiden Joko Widodo.

Kehadiran Gibran dalam kontestasi tersebut menimbulkan reaksi dan kritik terkait cawe-cawe (campur tangan) Presiden Joko Widodo dalam berbagai bentuk. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90 Tahun 2023 yang memungkinkan Gibran dicalonkan sebagai Cawapres bahkan diperkuat dengan Putusan MK Nomor 141 Tahun 2023, Putusan MK Nomor 145 Tahun 2023, dan Putusan MK Nomor 150 Tahun 2023.

Putusan MK dan Pelanggaran Etik Berat

Putusan MK tersebut dipandang berbagai kalangan, selain melanggar etik, juga mereduksi konstitusi dan mendegradasi kualitas demokrasi yang sekaligus menghambat berlangsungnya konsolidasi demokrasi. Akibat pelanggaran etik berat, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang dipimpin mantan Ketua MK Jimly Asshidiqy memecat Hakim konstitusi Anwar Usman.

Para guru besar dan kalangan akademisi berbagai lembaga perguruan tinggi di Indonesia mengecam keras berbagai kebijakan dan praktik politik (termasuk penggelontoran bantuan sosial terkait Pilpres 2024). Pemerintah dan penyelenggara negara menganggap suara para guru besar dan akademisi itu bak angin lalu. Khalayak menjuluki Gibran sebagai 'anak haram konstitusi.' Tapi, semua itu tak berpengaruh bagi penyelenggaraan Pilpres 2024.

Putusan MK No.1/PHPU.PRES-XXII/2024 dan No.2/PHPU.PRES-XXII/2024 yang menolak gugatan pasangan Anies Rasyid Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo - Mahfud MD, disertai dengan dissenting opinion (pendapat berbeda) tiga hakim konstitusi (Saldi Isra, Arief Hidayat, dan  Enny Nurbaningsih).

Karenanya, meskipun putusan MK memperkuat Keputusan KPU Nomor 360 Tahun 2024 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, yang menetapkan pasangan Prabowo-Gibran sebagai Presiden - Wakil Presiden RI 2024 - 2029 (terpilih) dengan perolehan 96.214.691 suara (58 persen), dengan dissenting opinion tersebut, legitimasinya menjadi tidak penuh. Tidak mencerminkan keadilan substansial.

Hakim konstitusi Saldi Isra berkeyakinan, telah terjadi ketidak-netralan
sebagian Pj (pejabat) kepala daerah termasuk perangkat daerah yang menyebabkan pemilu tidak berlangsung secara jujul dan adil. Semuanya ini bermuara pada tidak terselenggaranya pemilu yang berintegritas. Ia berpendapat, politisasi bansos dan mobilisasi aparat beralasan menurut hukum. Karena itu, untuk menjaga integritas penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil maka seharusnya Mahkamah memerintahkan untuk dilakukan pemungutan suara ulang di beberapa daerah.

Hakim konstitusi Enny Nurbaningsih juga menyatakan hal senada tentang pemungutan suara ulang tersebut. Khasnya, karena ia meyakini pula telah terjadi ketidaknetralan pejabat yang sebagian berkelindan dengan pemberian bansos yang terjadi pada beberapa daerah.  

Akan halnya hakim konstitusi Arief Hidayat menyatakan, mengabulkan gugatan yang diajukan tim AMIN dan tim Ganjar-Mahfud untuk sebagian. Arief sama menilai, seharusnya dilakukan pemilihan ulang di beberapa daerah, yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali dan Sumatera Utara. Ia menyatakan batal Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 360 Tahun 2024 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota secara nasional dalam Pemilu 2024 tertanggal 20 Maret 2024 yang sepanjang daerah pemilihan Provinsi DKI, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali dan Sumatera Utara. (Baca juga : Sumpah dan Pendapat Berbeda Tiga Hakim Konstitusi Menggetarkan )

KIM Plus Plus

Tengkujuh politik di Indonesia terus berlanjut dengan peristiwa dipecatnya Hasyim Asy'ari dari keanggotaan Ketua Komisi Pemilihan Umum karena pelanggaran etik berat terkait perempuan. Peristiwa yang memalukan tersebut berlalu begitu saja, terhempas isu politik yang lebih dominan.

Koalisi Indonesia Maju (KIM) di belakang Presiden-Wakil Presiden terpilih, merespon dissenting opinion dalam putusan tersebut dengan memperluas menjadi koalisi Plus Plus. Antara lain, menarik masuk partai-partai yang semula berseberangan dalam Pilpres 2024 -- Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Nasdem, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) -- termasuk partai non parlemen (PPP - Partai Persatuan Pembangunan). Masuknya partai-partai tersebut terkesan sebagai persiapan memasuki fase 'hujan kering,' Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024.  Termasuk pergantian kepemimpinan di Partai Golkar.

Koalisi KIM Plus Plus ini mengganjal dan mengunci Anies Rasyid Baswedan yang semula dicalonkan PKS untuk maju dalam kontestasi Pilkada Daerah Khusus Jakarta. PKS mengambil jalan pintas pragmatis transaksional dengan mencabut dukungannya kepada Anies, dan menyiapkan kadernya, Suswono (Mantan Menteri Pertanian) sebagai calon Wakil Gubernur bagi Ridwan Kamil (RiKa) yang dicalonkan KIM.

Upaya mengubah peraturan batas usia pencalonan gubernur yang dapat memungkinkan putera bungsu Presiden Joko Widodo ikut berkontestasi dalam Pilkada Serentak 2024, dikabulkan Mahkamah Agung. Namun dibatalkan oleh putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 tentang Syarat Usia Kepala Daerah di Pilkada.

Celakanya, Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) RI hendak memaksakan kehendak dengan memandang konstelasi kelembagaannya (bersama pemerintah) sebagai pembuat Undang Undang. Badan ini telah menyiapkan RUU yang mengabaikan putusan MK dan mengakomodasi putusan Mahkamah Agung. Aksi demonstrasi mahasiswa dan masyarakat madani, menghadang upaya membawa RUU tentang Pilkada tersebut ke Rapat Paripurna DPR RI.

Tengkujuh politik kian menghempas proses Pilkada, kala Mahkamah Konstitusi juga mengabulkan permohonan Partai Buruh dan Partai Gelora tentang Ambang Batas Pencalonan Kepala Daerah dalam Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024. Putusan ini mengubah konstelasi politik di beberapa daerah. Khasnya di Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) pun tak membuka peluang bagi Anies untuk berkontestasi di Daerah Khusus Jakarta, ketika mencalonkan injury time, Pramono Anung (Menteri Sekretaris Kabinet) yang sangat dekat dengan Presiden Joko Widodo berpasangan dengan Rano Karno (RaKa). (Baca : RiKa No, No RaKa & Kun Kun)

Monsun Keunggulan ASEAN

Tengkujuh politik di Indonesia, agaknya masih akan lama berlangsung. Di Jakarta, rakyat (khasnya masyarakat inti) yang tak pernah diajak bicara oleh partai dalam menentukan calon Kepala Daerah mulai bereaksi. Pasangan Ridwan Kamil - Suswono (RiKa No) ditolah ketika berkunjung ke Jakarta Utara dan Jakarta Timur. Tanpa kecuali, juga penolakan fans club sepakbola Persija. Termasuk tularnya seruan 'Coblos Semua.'

Jejak digital RiKa yang dianggap menista warga Jakarta bermunculan di media sosial. Akan halnya Pramono Anung - Rano Karno (No Raka) nampak berupaya mengambil hati dengan pendekatan budaya terhadap masyarakat inti, seperti terlihat dalam kunjungan RaKa ke kediaman Imam Besar Front Betawi Rembug, KH Luthfi Hakim. Akankah pasangan No RaKa berhasil mengambil hati warga Jakarta? Wallahu a'lam bis sawab.

Pun demikian halnya dengan situasi yang terjadi di Jawa Barat, ketika Presiden PKS Akhmad Syaikhu 'melantai' bersama Ilham Habibie (Nasdem) dalam ajang Pilkada Jawa Barat berhadapan dengan Deddy Mulyadi - Erwan Setiawan (KIM Plus Plus), dan Jeje Wiradinata dan Ronal Surapraja (PDIP).

Di Jawa Tengah KIM Plus Plus mencalonkan Ahmad Luthfi - Taj Yasin berkontestasi berdapan dengan Andika Perkasa - Hendrar Prihadi (PDIP). Di Jawa Timur, KIM Plus Plus mengusung pasangan Khofifah Indar Prawansa - Emil Dardak, PDIP - Hanura mengusung Tri Rismaharini dan Zahrul Azhar Asumta, dan PKB mengusung  Luluk Nur Hamidah dan Lukmanul Khakim.

Akankah tengkujuh politik di Indonesia akan menghantar negara kepulauan ini menuju Indonesia Emas? Atau justru akan menuju ke kondisi Indonesia Cemas, seperti pernah diutarakan ekonom, almarhum Faisal Basri?

Akankah juga Prabowo Subianto sebagai Presiden kelak melanjutkan dan mewujudkan gagasan besarnya untuk menjadikan Indonesia sebagai macan Asia? Sekaligus menguatkan buhul persaudaraan dengan Malaysia sebagai 'saudara sebatih' di rantau ASEAN. Khasnya, karena persahabatannya dengan Yang Di-Pertuan Agong Malaysia ke 17, Sultan Ibrahim.

Di Malaysia dan Indonesia, berkembang harapan, dua pemimpin di rantau ASEAN ini akan mampu menyikapi tengkujuh politik dan mengubahnya menjadi monsun keunggulan ASEAN. Tak sesiapa dapat memprediksinya. |

Editor : delanova | Sumber : berbagai sumber
 
Lingkungan
19 Sep 24, 12:52 WIB | Dilihat : 534
Antara Lumbung Pangan dan Kai Wait
24 Jul 24, 07:03 WIB | Dilihat : 760
Gertasi Selenggarakan Munas di Perdesaan Garut
02 Jul 24, 13:28 WIB | Dilihat : 750
Menyambangi Kota Bogor dari Jalur Commuter Line
23 Mei 24, 17:36 WIB | Dilihat : 1359
Wawali Bukittinggi Sambut Baik Gagasan SIGAP Indonesia
Selanjutnya
Polhukam
12 Sep 24, 21:25 WIB | Dilihat : 295
Dramatika Debat Kamala Harris versus Donald Trump
08 Sep 24, 12:22 WIB | Dilihat : 467
Tengkujuh Politik Tiga Negara ASEAN
06 Sep 24, 11:06 WIB | Dilihat : 318
Demokrasi Halal Pemimpin Ideal
20 Agt 24, 20:18 WIB | Dilihat : 463
Mahkamah Konstitusi Ubah Ambang Batas Pencalonan Pilkada
Selanjutnya