Bang Sèm
Ridwan Kamil dan Suswono (RiKa No), Pramono dan Rano Karno (No Raka), serta Pongrekun dan Kun Wardhana (Kun Kun) secara bergantian mendaftar sebagai peserta Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Daerah Khusus Jakarta periode 2024-2025, Kamis (29/08/24).
Bagi saya, yang menarik dibicarakan bukanlah kepesertaan ketiganya. Melainkan, proses di balik peristiwa keberadaan ketiga bakal kandidat yang akan berkontestasi memimpin Jakarta dalam Pilkada tersebut.
Partai-partai politik pengusung Rika No dan No Raka, mengabaikan keberadaan dan aspirasi kaum Betawi sebagai masyarakat inti Jakarta. Paling tidak yang datang ke kantor Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Kebangkitan Bangsa. Persis seperti anggota DPR RI tak menganggap keberadaan kaum Betawi dalam proses penyusunan UU No 2 Tahun 2024 tentang Daerah Khusus Jakarta.
Tanpa kecuali, isu 'penggunaan' KTP warga secara tidak sah, menyertai proses pemenuhan syarat administratif pencalonan Kun Kun.
Secara tersurat, UU No.2 Tahun 2024 memang nir kebudayaan. Pasal 4 UU ini, menegaskan "Provinsi Daerah Khusus Jakarta sebagai Pusat Perekonomian Nasional dan Kota Global sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) berfungsi sebagai pusat perdagangan, pusat kegiatan layanan jasa dan layanan jasa keuangan, serta pusat kegiatan bisnis nasional, regional, dan global."
Ihwal budaya dan kebudayaan secara tersurat memang disebut dalam pasal 19 (huruf k), dan diurai dalam Bagian Keduabelas tentang Kewenangan Khusus di Bidang Kebudayaan dengan satu pasal (31). Pasal ini menegaskan ihwal (a) prioritas pemajuan kebudayaan Betawi dan kebudayaan lain yang berkembang di Jakarta; dan (b) pelibatan badan usaha, lembaga pendidikan, lembaga adat dan kebudayaan Betawi, serta masyarakat dalam pemajuan kebudayaan.
Pada pasal 31 ayat 2, secara eksplisit disebut ihwal Dana Abadi Kebudayaan yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja daerah. Untuk itu secara eksplisit dinyatakan: Dalam rangka pemajuan kebudayaan tersebut, Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Jakarta dapat mengusulkan dana tambahan kepada Pemerintah Pusat.
Undang-undang ini juga menarasikan, ketentuan lebih lanjut mengenai Kewenangan Khusus di bidang kebudayaan dan pembentukan Dana Abadi Kebudayaan diatur dalam Peraturan Daerah.
Political Hyperopic
Para petinggi partai politik amat terkesan mengabaikan fatsoen dan (atau) adab politik dalam menentukan pasangan calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur Jakarta. Wujudnya, tidak berkesadaran dan antusias untuk menempatkan kaum Betawi dan warga Jakarta sebagai subyek. Seolah-olah kaum Betawi sebagai masyarakat inti (yang dapat dipahami sebagai salah satu indikator kekhususan Jakarta).
Terkesan, para petinggi partai politik tak punya keseimbangan nalar, nurani, naluri dan rasa (kecuali ambisi dan obsesi berkuasa) alias pragmatisma yang mencerminkan political hyperopic. Yakni, ketidakmauan dan ketidakmampuan melihat dengan jelas segala kecerdasan budaya.
Para petinggi partai politik, tidak memahami situasi, kondisi atau cara bertindak ketika menentukan para bakal kandidat Gubernur dan Wakil Gubernur kelak akan memengaruhi situasi disharmoni di masa mendatang. Pendek kata tak berkemauan dan berkemampuan menyigi potensi kepemimpinan yang berasal dari masyarakat pituin kaum Betawi. Tak seperti ketika mereka menentukan para bakal kandidat yang mempertimbangkan aspek modal insan masyarakat inti, yang populer dengan istilah 'putera daerah.'
Padahal kaum Betawi pituin kini telah menunjukan kecerdasan budaya yang menyeimbangan keterampilan dengan kearifan di berbagai sektor (pemerintahan, industri keuangan, akademik, keagamaan, pendidikan, kebudayaan, kecendekiaan, dan politik - sebagai diplomat ulung) berskala nasional dan global, sejak masa lalu. Para petinggi partai politik hanya berkutat pada ihwal 'kalah-menang. Akibatnya, mereka kehilangan kecerdasan. Sekaligus tak mempunyai dimensi kedalaman insaniah.
Para bakal kandidat yang mereka pilih kemudian, nampak kurang beradab. Hal itu antara lain, tercermin dari cuitan yang ngeres.
RiKa lewat akun X (twitter)-nya (@ridwankamil), misalnya, tentang karakter orang Jakarta (16 Juni 2011) -- menulis : Tengil, gaul, glamor, songong, pelit, gengsian, egois, pekerja keras, tahan banting, pamer, hedon. Itu karakter org JKT. #citybranding. Isi cuitan itu boleh jadi merupakan refleksi sosok dirinya.
Pramono Anung lewat akun X (twitter)-nya (@pramonoanungw) -- seperti diungkap kompasdotcom -- sepanjang Oktober 2010-2011) mencuitkan alam bawah sadar dirinya, yang bertentangan dengan nilai dan norma kaum Betawi, antara lain: ”Kesamaan BOKONG dan BOHONG, selalu ada bagian yang disembunyikan... #nyantai ah..” dan ”Kesamaan LOKET dan TOKET.. Kalau ingin tahu sama2 DIINTIP.. #nyantai ah” yang diunggah pada 12 November 2010. Ada pula cuitan ”Dari Bandung menuju Jkt, mudah2an tidak bertemu PAMER SUSU MONTOK (PAdat MERayap SUsul MenyuSUl MObil ronNTOK). #nyantai ah” yang diunggah 23 Oktober 2010.
Bisa Menyigi Putera - puteri Betawi
Bakal calon Wakil Gubernur Suswono - yang dipasangkan dengan RiKa, kala menjabat Menteri Pertanian mengaku pernah menerima uang sebanyak Rp 50 juta dan 2.000 dollar AS terkait program revitalisasi sistem komunikasi radio terpadu (SKRT) di Kementerian Kehutanan. Saat itu, Suswono merupakan anggota Komisi IV DPR periode 2004-2009. Hal itu mengemuka, saat dia bersaksi di persidangan tindak pidana korupsi atas kasus dugaan suap terdakwa Direktur MT Masaro Radiokom Anggoro Widjojo (Kompasdotcom, 4/6/2014). Maknanya, anggota Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini seseorang tidak memiliki daya furq, atau kemampuan membedakan antara yang hak dan batil.
Boleh jadi hanya RaKa yang meskipun bukan putera Betawi pituin, namun telah menunjukkan dedikasinya menjadi salah seorang penggerak pemajuan budaya Betawi melalui karya sinematografi, melampaui ayahnya, Allahyarham Soekarno M. Noor.
Apabila para petinggi pengusung RIKA NO punya kecerdasan budaya dalam menentukan bakal kandidat Gubernur - Wakil Gubernur Jakarta 2024-2029, mereka bisa menyigi putera-puteri Betawi terbaik, patut dan layak diajukan dalam Pilkada Jakarta.
Sebutlah itu Deddy Mizwar - Wakil Gubernur Jabar 2014-2019 - doktor ilmu pemerintahan dan aktor - sutradara berwatak anggota Partai Gelora; Dailami Firdaus - Guru Besar Ilmu Hukum Universitas As Syafi'iyah / anggota DPD RI; Firdaus Djaelani - Anggota Komisioner Otoritas Jasa Keuangan 2012-2017; Suryani Sidik Motik - pengusaha / Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia, Dosen SBM ITB dan pengurus Palang Merah Indonesia Pusat; Mardani Ali Sera anggota DPR - Fraksi PKS; Syifa Fauziah - doktor ilmu manajemen sumber daya manusia, Ketua Umum BKMT (Badan Kontak Majelis Taklim) Nasional - Duta Zakat Baznas, KH Ahmad Jaelani - lulusan Universitas Al Azhar Kairo, pula KH Luthfi Hakim, Agus Suradika, Sylviana Murni, dan sejumlah akademisi lainnya, termasuk mereka yang berkiprah sebagai pensyarah di berbagai universitas ternama di dalam dan luar negeri.
Mereka punya kapasitas, kapabilitas, aksesibilitas dan beradab - matang dalam etika - akhlaq dan berprestasi untuk menyandang amanah sebagai Gubernur - Wakil Gubernur. Tapi, karena sikap pongah dan tiadanya kecerdasan para petinggi partai politik untuk sungguh memilih pribadi yang mampu melayani rakyat, menguap. Lantas tersimpan dalam 'luka kaum Betawi.'
Gegabah
Seorang Kyai yang masyghul melihat bakal kandidat Gubernur / Wakil Gubernur yang seadanya, menenangkan gelegak kegusaran kaum Betawi yang berintegritas mengatakan, boleh jadi apa yang nampak di depan mata, itu sebagai isyarat baik Allah memisahkan (golongan) yang buruk dari yang baik dan menjadikan (golongan) yang buruk itu sebagiannya di atas yang lain, lalu kesemuanya ditumpukkan-Nya, ke dalam petaka.
Pilkada Jakarta, sebagaimana halnya pilkada serentak di daerah lain, akhirnya hanya menjadi ajang kontestasi kaum kazzab, di tengah hiruk pikuk slogan, jargon, joget penghibur, dan 'perjudian sosial' tentang muruah dan darajah dalam jebakan fantasi raja lenong di jelang tutup layar panggung pertunjukan.
Seorang cendekiawan Betawi mengatakan, egaliterianisma dan kosmopolitanisma merupakan ciri kecerdasan budaya. Karenanya, kaum Betawi tak harus menyatakan 'Betawi Merdeka' untuk merespon situasi. Kaum Betawi punya cara sendiri menyikapi pengabaian atas eksistensinya sebagai masyarakat inti Jakarta. Pengabaian sosio politik atas kaum Betawi merupakan langkah gegabah politisi kelontong, yang kelak berdampak bagi praktik demokrasi di Jakarta.
Kaum Betawi punya cara memilah dan memilih hak dan kewajiban dalam konteks bagaimana menggunakan hak pilih dalam Pilkada Jakarta 2024. Siapa membegal akan terbegal. Siapa menipu akan tertipu. Siapa menghambat akan tertambat. Siapa laku lajak akan tersungkur. Ada masa warga menentukan sikap dan tindakannya, menolah terseret ke dalam kubangan fantasi.
Bagi kaum Betawi, ketika jalan politik menyediakan noktah, ada jalan kebudayaan yang lebar untuk menunjukkan eksistensinya. Sebagai host sepanjang lebih lima abad, dan selama Jakarta resmi sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia, kaum Betawi telah menunjukkan adab di atas segalanya. Selalu ada inspirasi. Senantiasa ada soluai menyikapi situasi.
Pertimbangan kebangsaan kaum Betawi berbasis global nationalism (tidak melulu narrow nationalism), pada masanya bakal ketemu momentum menunjukan dignity-nya sebagai warga dunia. Di masa lampau dicontohkan oleh Syeikh Junaid al Batawi, kemudian dicontohkan oleh Mohammad Husni Thamrin, Guru Mughni, KH Abdullah Syafi'ie, Mahbub Junaedi, dan lain-lain.
dari rumpin pergi ke paseban
baca riwayat selendang cukin
milih pemimpin bukan kewajiban
daulat rakyat mari tunjukin