Kemenangan Besar Gerakan Perubahan di Thailand

| dilihat 364

catatan Haèdar

Partai-partai yang mengusung gerakan perubahan di Thailand menang besar dalam Pemilihan Umum yang berlangsung Ahad (14/5) lalu.

Dua partai yang dipimpin orang muda: Partai Move Forward (Pita Limjaroenrat, 42) dan Partai Pheu Thai (Paengtongtarn Sinawatra - populer dipanggil Ung Ing, 36) beroleh kemenangan atas partai berkuasa United Thai Nation Party (Ruam Thai Sang Chart) pimpinan Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha, 69, yang berkuasa sejak 2014.

Berbeda dengan Malaysia yang pada Pilihan Raya Umum (PRU) ke 15 (2022), rakyat pemilih menghukum seluruh partai, sehingga tak ada partai (termasuk koalisi gerakan perubahan Pakatan Harapan), persona pemimpin muda merebut hati rakyat Thailand. Di Malaysia, rakyat 'menghukum' sosok pemimpin muda Nurul Izzah (Parti Keadilan Rakyat) - puteri Anwar Ibrahim di kawasan politik keluarganya, Permatang Pauh. Khairi Jamaluddin (UMNO) sengaja dihambat oleh Presiden UMNO Zahid Hamidi yang memindahkannya dari daerah pemilihan binaannya, Rembau ke Sungai Buloh pada waktu yang sangat mepet.

Move Forward dan Pheu Thai membuka jalan perubahan dan memungkinkan berakhirnya kekuasaan pemerintah yang didukung rezim militer. Kendati kans keduanya untuk meraih kursi Perdana Menteri (PM) yang baru, menghadapi kendala sebagaimana diatur konstitusi. Terutama, karena kemenangan mereka pada pemilihan umum masih akan berhadapan dengan 250 suara senator bentukan pemerintah yang berpengaruh juga dalam pemilihan PM.

Dekade yang Hilang

Dalam hal ini, Ung Ing mempunyai pengalaman sangat pahit. Ayahnya, Thaksin Sinawatra (2006) dan tantenya Yingluck Sinawatra (2014) yang lolos dalam pemilihan PM, namun dikudeta oleh militer.

Akan halnya Pita, putera salah seorang orang kaya Thailand yang menjadi penasehat Kementerian Pertanian dan pamannya, ajudan mantan PM Thaksin yang terkenal dengan program kemakmuran petani 'one vilage one product.'

Sebagai anggota parlemen dari blok oposisi, Pita terkenal sebagai pemimpin muda yang  tangkas dan bernas. Pidato-pidatonya mampu menghipnotis kalangan millenial. Ia bertekad membawa Thailand keluar dari 'dekade yang hilang,' dengan mengusung sesanti perjuangan: demiliterisasi, demonopoli, dan desentralisasi.

Senafas dengan sesanti itu, Ung Ing kerap meneriakkan demokrasi, merebut kembali kekuasaan untuk kesejahteraan rakyat, dan membawa kembali kekayaan negara yang telah hilang selama hampir satu dekade.

Dia juga konsisten mengembalikan Thailand ke jalan yang pernah ditempuh ayah dan bibinya: menghidupkan kembali dan memodernisasi ekonomi Thailand, yang telah merana di bawah perdana menteri Prayuth Chan-ocha, sang mantan jenderal angkatan darat yang pertama kali berkuasa melalui kudeta. Partai Pheu Thai juga menjanjikan penguatan akses rakyat atas semua ekstensi modal melalui perluasan inklusi keuangan, dan peningkatan upah minimum buruh dari antara 328 dan 354 baht ($9,64 - $10,41) menjadi 600 baht ($17,65) per hari.

Koalisi

Ung Ing dan Pita boleh jadi akan berkoalisi dalam memenuhi harapan pemilih milenial dan pemilih konvensional, baik di kawasan metropolitan dan bufferzone-nya, serta pedesaan. Baik di kawasan Utara yang menjadi basis pemilih keluarga Sinawatra, Tengah, dan Selatan. Partai pimpinan Ung Ing hanya kalah tipis dengan partai pimpinan Pita.

Keduanya perlu melobi dan merangkul Anutin Charnvirakul (Partai Bhumjaithai) yang berada di posisi ketiga dalam merebut jumlah pemilih (sekitar 39,5 juta, atau 75 persen dari jumlah pemilih yang terdaftar). Juga  Jurin Laksanawisit (Partai Demokrat) yang juga memperjuangkan reformasi demokrasi.

Partai Move Forward yang beraliran progresif meraih 152 kursi; Partai Pheu Thai meraih 141 kursi; Partai Bhumjaithai meraih 40 kursi; Partai United Thai Nation beroleh 36 kursi; Partai Demokrat beroleh 25 kursi; Partai Chart Thai Pattana beroleh 10 kursi; dan Partai Prachachart (muslim) beroleh 9 kursi.

Move Forward dan Pheu Thaitak bisa tidak, harus melakukan koalisi dengan sejumlah partai peraih kursi untuk beroleh suara mayoritas di parlemen, dalam pemilihan PM bulan Juli 2023 mendatang. Koalisi minimal mereka mesti mengalahkan koalisi rezim berkuasa, senator, dan partai-partai dengan perolehan kursi sedikit.

Tantangan Pemilihan PM

Pemenang pemilu hari Ahad lalu akan gagal memerintah, bila Anutin Charnvirakul (Bhumjaithai) atau Prawit Wongsuwan (Palang Prachachart) dari kalangan tua yang pernah beroleh jabatan Deputy PM berpihak pada militer. Apalagi bila keduanya berkoalisi dengan United Thai Nation dan berbagi kekuasaan.

Aturan konstitusi buatan rezim militer yang tidak demokratis inilah yang selama ini dilawan Ung Ing dan Pita. Pita tegas mengatakan akan memelopori perubahan konstitusi. Khasnya terkait dengan 250 senator yang seluruhnya ditunjuk oleh militer, bukan dipilih. Harapan tersebut agaknya akan beroleh jalan terang, karena mereka juga ikut memilih dalam pemilu hari ahad lalu.

Anutin (yang pernah menjadi Wakil PM dan Menteri Kesehatan) dan Prawit (yang pernah menjadi Wakil PM dan Menteri Pertahanan) punya kans menjadi 'kuda hitam' sebagai PM dan Wakil PM bila 250 senator pilihan militer mendukung mereka untuk melanggengkan pengaruhnya pada pemerintah Thailand ke depan, menggantikan Prayuth yang kekalahan partainya memang sudah diprediksi.

Prayuth dinilai gagal mengelola ekonomi dan tak berhasil mengatasi krisis akibat pandemi nanomonster COVID-19. Pemerintahan Prayuth juga telah menghambat reformasi dan demokratisasi dengan tindakan menangkapi dan mengadili para aktivis.

Selama ini Prayuth yang diukung militer tak mampu mempengaruhi Raja Thailand, Maha Vajiralongkorn yang eksentrik, itu. Bahkan, Raja bersikap biasa-biasa saja merespon gagasan reformasi militer dan monarki yang selama ini dikampanyekan Partai Move Forward dan Partai Pheu Thai.

Jalan Penyembuhan Luka

Pemimpin Move Forward Pita Limjaroenrat, yang sebelum terjun ke jalur politik merupakan mantan eksekutif aplikasi kendaraan online, bersumpah untuk terus setia pada nilai-nilai partainya saat kelak membentuk pemerintahan. Ia tak ingin menodai hasil pemilu yang disebutnya "sensasional."

Pun demikian halnya dengan Ung Ing yang 'terasa' menyimpan 'dendam politik' dengan rezim yang sedang berkuasa, dan atas tindakan militer 'merampas kekuasaan' dan menggulingkan ayah dan bibinya.

Kemenangan besar gerakan perubahan merebut hati rakyat untuk mengembalikan kekuasaan ke jalurnya : transformasi (perubahan dramatik dan terkelola) demokrasi, juga mengandung makna sebagai jalan penyembuhan atas luka yang ditorehkan penguasa pada generasi milenial.

Profesor Saowanee T. Alexander di Universitas Ubon Ratchathani di timur laut Thailand mengemukakan, kemenangan gerakan perubahan tersebut merupakan pertanda baik bagi demokratisasi.

Saowane mengatakan, hasil pemilu Ahad 14 Mei tersebut, memberi ruang pemeranan lebih nyata orang-orang yang mengatakan bahwa "kami menginginkan perubahan..." Bagian penting dari rakyat yang sudah tidak tahan lagi, bahkan nyaris sangat frustrasi atas keadaan. "Mereka menginginkan perubahan, dan mereka bisa mencapainya," kata Saowanee. |

 

Editor : haedar | Sumber : AP, CNN, BBC, Bangkok Post, SCMP, sumber lain
 
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 948
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1175
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1438
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1584
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya
Energi & Tambang