"Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban hakim konstitusi dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selururs-lurusnya menurut Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa."
Sumpah hakim konstitusi ini dibaca oleh Prof. Dr. Arief Hidayat S.H., M.S. menutup pernyataan dissenting opinion (pendapat berbeda) dalam Sidang Pleno putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang Sengketa Pemilihan Presiden - Wakil Presiden (Pilpres) 2024, yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo, Senin (22/4/2024).
Dissenting opinion hakim Arief merupakan pernyataan sikapnya yang tidak setuju atas putusan mayoritas hakim MK yang menolak seluruh permohonan pasangan Capres - Cawapres Anies Rasyid Baswedan - Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo - Moh. Mahfud MD. Inilah pertama kali terjadi pendapat bebeda hakim dalam putusan sengketa Pilpres sejak MK dibentuk. Para hakim MK juga menolak seluruh eksepsi pihak terkait (pengacara pasangan Prabowo Gibran).
Pernyataan tersebut menyusul pembacaan pernyataan sikap hakim konstitusi - Wakil Ketua MK Prof. Dr. Saldi Isra, S.H., MPA dan hakim konstitusi Prof. Dr.. Enny Nurbaningsih, S.H., M.Hum yang sama menyatakan pendapat berbeda tentang putusan perkara yang akan menentukan nasib bangsa dan negara -- tanpa kecuali demokrasi -- di Indonesia tersebut. Sumpah dan pendapat berbeda tiga hakim konstitusi ini menggetarkan di tengah putusan MK yang menggusarkan misi MK sebagai 'The Guardian of Constitution.'
Rule of Law dan Rule of Ethics
Menurut Arief, sumpah hakim konstitusi yang diucapkan tatkala dilantiok pertama kali menjadi hakim konstitusi tersebut bersifat final and binding di dunia dan di akhirat bagi semua hakim. Oleh karenanya, menurut Arief (kelahiran Semarang, 3 Februari 1956) sumpah dan keyakinan hakim menjadi kunci keadilan bagi masyarakat.
Selain berpijak pada sumpah hakim konstitusi, dissenting opinionnya sepanjang lebih dari 50 halaman -- yang dianggap telah dibacakan seluruhnya -- menurut guru besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (UNDIP) tersebut, dilatari berbagai pandangan lain.
Dalam akhir pernyataannya, Mantan Wakil Ketua dan Ketua MK ini mengemukakan, pudar dan menurunstandar etik, khususnya bagi penyelenggara negara menjadi musabab perlu adanya kepedualian akan pentingnya menjaga keseimbangan antara penegakan hukum (rule of law) dan penerapan etik (rule of ethics) sesuai dengan nilai luhur Pancasila.
"Jikalau ini tidak dilakukan, maka akan terjadi 'tragedi dalam berhukum dan berkonstitusi' di negara hukum demokratis berdasarkan Pancasila yang dapat menjauhkan kita dari dari cita-cita menuju negara Indonesia yang hebar, bermartabat, dan unggul dalam segala bidang," tegasnya.
Sebelumnya, suami dari Prof. Dr. Tundjung Herning Sitabuana, S.H., C.N., M.Hum ini menyatakan, pernyataan berbeda disampaikannya dalam perselisihan hasil pemilihan umum Presiden tahun 2024 tersebut dilakukan sebagai wujud tanggung jawab modal dan penilaian profesional (profesional adjudgement) sebagai seorang hakim konstitusi. Sekaligus sebagai akademisi yang independen, yang memutus sesuai dengan kewenangan serta kemampuan dan kapabilitasnya, yang kelak akan dipertanggungjawabkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa.
Yang Sempurna Hanya Hukum Tuhan
Akan halnya Saldi Isra yang juga guru besar Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang dalam mempertimbangkan pendapatnya mengemukakan keyakinan, bahwa tidak ada aturan hukum yang sempurna, terlebih paripurna, terkecuali hukum yang dibuat oleh Yang Maha Kuasa.
Aturan hukum yang disebut amat lengkap dan mengatur secara rinci setiap tindakan manusia hanyalah klaim dari pembentuknya semata. "Senantiasa akan ada dan ditemukan celah dalam aturan hukum yang kemudian dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kepentingan pribadi dan terlindung dari ancaman pelanggaran norma hukum.
Pertimbangan tersebut dikemukakannya terkait dengan dominasi karakter untuk melakukan penilaian terhadap fakta (judex fact) atas pemeriksaan persidangan yang dilakukan MK dalam menjalankan kewenangan untuk memutus perkara perselisihan hasil pemilihan Presiden dan Waklil Presiden.
Saldi melihat keadaan adanya celah hukum pada aturan UU Pemilu yang berpeluang dimanfaatkan. "Perumpamaan kondisi demikian ibarat banyak orang melihat asap mengepul membubung tinggi, tetapi tiada satu pun dapat menemukan titik api yang menjadi sumber asap tersebut." Pada titik inilah, menurut Saldi, moralitas atau etika memainkan peran penting agar tidak memanfaatkan celah atau kekosongan aturan hukum (legal loophole).
Menurutnya, salah satu bentuk nyata perwujudan rasa adil adalah adanya upaya agar para peserta Pemilu berada pada posisi yang setara. Suasana kebatinan demikian seharusnya dipahami semua penyelenggara Pemilu dan pejabat negara untuk menerapkan etika tertinggi (the highest moral standard).
Saldi melihat adanya kendala mayoritas hakim MK yang hanya bertumpu pada pembuktian formal atas berbagai fakta yang dikemukakan para pemohon (Anies - Muhaimin dan Ganjar - Mahfud) terkait dengan ketidaknetralan penyelenggara negara mulai dari Presiden sampai Kepala Desa secara terstruktur, sistemiuk dan massif sebagaimana didalilkan para pemohon.
Hal demikian menyebabkan ketidak-setaraan seluruh peserta Pilpres dalam berkompetisi dan berkontestasi dalam Pilpres 2024. Pula terkait dengan penebaran bantuan sosial (bansos) di masa kampanye dan berdekatan waktu dengan pemungutan suara.
Kebohongan dan Kecurangan
Hakim Enny Nurbaningsih - guru besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada menyatakan dissenting opinion terkait dengan keterlibatan atau mobilisasi pejabat atau aparatur negara, dan politisi bansos dalam proses Pilpres 2024. Enny merujuk pada semangat bangsa yang termaktub dalam "Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelematan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara" (TAP MPR No. X/MPR/1998).
Ketetapan MPR ini terkait dengan pemerintahan yang bersih sebagai pelayan masyarakat dan bertindak berdasarkan hukum dalam rangka lebih meningkatkan kredibilitas pemerintah di masa rakyat. Dalam konteks ini, sebagaimana Arief, Enny sama berpandangan, bahwa dalam sistem politik yang demokratis, demokrasi tidak mungkin diwujudkan tanpa adanya rule of law. Namun, ungkap Enny, rule of law juga harus dilandasi oleh rule of ethics.
Karenanya, menurut Enny, Pemilu tidak boleh bias terhadap individu maupun kelompok tertentu. Artinya semua pihak yang terlibat dalam Pemilu harus benar-benar bersikap dan bertindak jujur.
Prinsip jujur ini, menurutnya, apabila dikaitkan dengan Pemilu mengandung makna tidak berbohong, tidak curang, atau sikap tulus dalam proses meyakinkan rakyat untuk memberikan suaranya dalam Pemilu. Sesuatu yang harus dibuktikan dengan satunya kata dengan perbuatan. Enny menyinggung pentingnya etika kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana tersirat dan tersurat dalam Ketetapan MPR No VI/MPR/2001.
Tiga hakim konstitusi yang berkomitmen kuat dan konsisten dengan sumpahnya itu, berbeda pandangan dengan lima hakim konstitusi lainnya yang memeriksa dan memutus perkara sengketa Pilpres 2024. Tiga pendapat berbeda ini menunjukkan bahwa putusan MK tidak menjamin legitimasi pemenang Pilpres 2024.
Ketiganya memandang seharusnya MK mengabulkan sebagian sebagian permohonan pemohon, termasuk memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum melakukan pemungutan suara di sejumlah daerah yang diduga telah berlangsung kecurangan dalam bentuk ketidak-netralan pejabat. Yaitu: DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Banten, Sumatera Utara.
Terkait dengan cawe-cawe Presiden Jokowi, hakim konstitusi Arief secara khas bahkan menegaskan, "Apabila Presiden/Wakil Presiden turut mengkampanyekan calon yang didukungnya maka tindakan ini telah menciderai prinsip moral dan etika kehidupan berbangsa dan bernegara." | delanova