Biarkan Singapura Menggonggong

| dilihat 1959

AKARPADINEWS.COM. Tak ada yang salah dengan penamaan KRI (Kapal Republik Indonesia)  Usman dan Harun Said. Dua anggota Marinir, itu. Protes keras Singapura tak perlu didengarkan. Biarkan saja mereka membuka kedoknya sendiri, sebagai negara mini yang pongah.

Kalau Singapura menganggap pemberian nama KRI Usman Harun itu menjadi duri dalam daging hubungan Indonesia – Singapura, kita boleh mengatakan, Singapura selama ini justru menjadi duri dalam daging ASEAN.

Perseteruan Singapura dengan Malaysia tentang tapal batas Batu Putih, aksi pencurian pasir pantai Indonesia untuk reklamasi Singapura, dan sikap pemerintah Singapura melindungi penjahat Indonesia (Sjamsu Nursalim – kasus korupsi BDNI, Bambang Sutrisno – kasus Bank Surya, dan David Nusa Wijaya – kasus Bank Sertivia). Dan ini duri yang paling menyakitkan: Singapura tak mau memberlakukan perjanjian ekstradisi, sejak diteken pada 2007, dengan alasan belum diratifikasi.

Singapura harus tahu diri. Pulau yang mereka tempati, dahulu bernama Pulau Timasik dan merupakan hadiah dari Kesultanan Melayu Riau kepada Kerajaan Malaysia. Apa yang dikemukakan Menteri Pembangunan Sosial dan Keluarga Chan Chun Sing dan pelaksana tuhas Menteri Tenaga Kerja Tan Chuan Jin melalui posting facebook mereka, menunjukkan sikap Singapura yang tidak peka dan tidak menghormati keputusan pemerintah Indonesia di dalam negerinya sendiri.

Jadi, biarkan Singapura menggongong dan KRI Usman – Harus silakan terus melaju. Pernyataan kedua jenderal bintang satu yang dirilis Strait Times, itu berlebihan, ketika keduanya menyatakan: “Tidak seharusnya Anda mempahlawankan mereka yang telah bertindak secara brutal dan pengecut. Sama sekali tak heroik sebuah aksi membunuh warga sipil tak berdosa.” Yang dimaksudkan kedua jendral bintang satu Singapura, itu adalah Kopral KKO (sekarang Marinir) yang kala itu sedang melaksanakan tugas eebagai prajurit memang telah melantakkan McDonald House di kawasan Orchard Road, Singapura pada 10 Maret 1965.

Peristiwa itu berlangsung untuk memenuhi perintah Presiden Soekarno – Pemimpin Besar Revolusi / Panglima Tertinggi ABRI dalam melakukan aksi konfrontasi Indonesia vs Malaysia. Kala itu, Singapura masih merupakan bagian dari Malaysia.

Tak ada alasan Pemerintah Singapura melarang KRI Usman Harun, seperti ditulis David Boey dalam opininya di koran Strait Times. Dan pemberian nama itu tak perlu membuat Indonesia – Singapura tegang, bila Singapura menanggapinya biasa-biasa saja. Apalagi, Usman dan Harun telah mereka tangkap, adili, dan mereka hukum dengan hukuman yang kejam: digantung sampai mati!

Pernyataan Menteri Senior mantan PM Malaysia Lee Kwan Yew juga konyol ketika mengatakan, dirinya berkunjung dan menabur bunga ke makam Usman dan Harun di Taman Makam Pahlawan Kalibata karena ‘dipaksa’ Presiden Soeharto pada tahun 1973. Mana mungkin bisa terjadi?

Indonesia sudah terlalu banyak bertoleransi dengan beragam sikap Singapura. Mulai dari penguatan jejaring ‘invisible hand’ - Singapore connection yang selalu mem-blow up ketegangan Indonesia – Malaysia, sampai ‘ketidak-relaan’ mereka terhadap masuknya Indonesia ke dalam G20.

Sudah benar sikap yang dinyatakan Menteri Luar Negeri Indonesia, Marthy Natalegawa yang tak membelas surat protes Menteri Luar Negeri Singapura K.Shanmugam. Meski keduanya bertemu di Bandung. | Bang Sem

Editor : Web Administrator | Sumber : Berbagai Sumber
 
Ekonomi & Bisnis
03 Apr 24, 04:18 WIB | Dilihat : 238
Pertamina Siap Layani Masyarakat Hadapi Lebaran 2024
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 408
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 256
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1185
Rumput Tetangga
Selanjutnya