Bang Sém
Karena jadual keberangkatan dari Namlea, ibu kota Kabupaten Buru di Pulau Buru ke Ambon mengalami kemunduran selama beberapa jam, kami manfaatkan waktu menyambangi kawasan pesawahan penghasil padi, Waeapo.
Dari Namlea, lewat jalan darat via Trans Buru - Mako - Modaumohe ke lokasi -- yang biasa dipakai untuk Panen Nasional yang sering dihadiri Presiden RI -- sekitar 51,1 Km atau 1 jam lebih beberapa menit. Di kiri kanan jalan terdapat bangunan sekolah, masjid, permukiman dan pasar. Juga pom bensin mini dan pom bensin eceran tepi jalan.
"Kita akan melewati Savana Jaya, daerah bekas pengasingan tahanan politik PKI, Om," cetus Enol Toekan.
Boleh jadi karena sering dikunjungi petinggi sepert Presiden, Menteri, Gubernur, dan Bupati kualitas jalan relatif baik. Karena relatif sepi dan kendaraan dipacu rata-rata 80 km/jam, kami tiba di lokasi lebih awal. Suhu sedang tinggi sepagi ini, sekitar 25o C. Teriknya menyengat ubun-ubun.
Ruas jalan dari Namlea ke titik panen raya di Weaepo berliku. Di bukit-bukit pohon kayu putih tumbuh liar dan pada musim kemarau terbakar oleh ilalang liar di sekelilingnya. Lantas meranggas lagi di musim penghujan dan menghasilkan daun yang dipetik penduduk untuk disuling di 'ketel' menjadi minyak kayu putih Buru yang amat terkenal itu.
Di sebelah lembah yang terhampar hingga ke bibir pantai, pesona laut tampak indah. Ketika melintasi beberapa kelokan di permukiman penduduk, Enol menunjuk ke arah bukit dan permukiman. "Ini zona yang menyimpan deposit emas dan tak ditambang. Tidak seperti di Gunung Botak yang menjadi tujuan penambang emas. Di sini, penduduk menjaga betul wilayah mereka," cetusnya.
Dari Savana Menjadi Pesawahan
Setelah melewati beberapa kelokan, Enol memberitahu, kami sudah melintas di wilayah Savana Jaya. Di sinilah dulu (1969-1979), pembantaran tahanan politik (TAPOL) G30S/PKI (Partai Komunis Indonesia). Belakangan, istri dan anak-anak mereka juga didatangkan ke sini. Mereka tinggal di 21 Unit. Setiap unit diberi nama Wanayasa, Wanakarta, Wanareja, Savanajaya, Wanapura, dan lain-lain. Tapi yang sohor hingga kini, Savanajaya.
Sebagian mereka dikerahkan untuk melakukan alih fungsi lahan, mengubah savana menjadi pesawahan yang kemudian bernama Savanajaya sampai kini. Sebagian Tapol Buru, seperti Pramoedya Anantatoer kembali ke tempat asal mereka di Jawa. Sebagian lainnya menetap. Kemudian menjadi penduduk tempatan.
Sejak tahun 1980-an tak berjauhan lokasi dengan perkampungan eks Tapol Buru, pemerintah mendatangkan transmigran. Merekalah, bersama eks Tapol yang sudah menjadi penduduk tempatan, penduduk tempatan asal Buru, dan pemerintah mengolah pesawahan itu menjadi daerah produsen beras. Kementerian Pertanian, lantas menjadikannya sebagai wilayah Food Estate.
Luas lahan pesawahan di kecamatan ini dalam catatan Badan Pusat Statistik - Kabupaten Buru sekitar 5.432,75 hektar. Dengan produksi sekitar 40.250,01 ton, wajarlah bila Waeapo -- dengan luas lahan sawah 5.432,75 ha menyumbang 25.004,23 ton --, bersama Waelata (2.079,50 ha - 9.570,90 ton) dan Lolong Guba (1.233 ha - 5.674,88 ton) menjadi lumbung padi Provinsi Maluku.
Muid Wael, anggota DPRD Kabupaten Buru (dengan perolehan suara terbanyak) yang juga Ketua DPC Syarikat Islam (SI) Kabupaten Buru, memperlihatkan hamparan padi jelang panen, ketika kami tiba di desa Waekasar, titik pusat panen tahunan.
Muhammad Nur Ohoitenan (putera Kai, Maluku) yang tiba lebih awal bersama Hamdan Zoelva (Ketua Mahkamah Konstitusi 2013-2015). Nur menambahkan beberapa informasi. Berbagai ide mengemuka dalam percakapan di bangunan tempat upacara panen raya berwarna pink, itu. Khasnya, seputar pemajuan dakwah ekonomi di sektor pertanian.
Perkampungan Multietnik
Beberapa saat kemudian kami bergerak meninggalkan lokasi, lantas singgah sejenak untuk makan tengah hari di kedai tepi jalan Marloso - Mako. Pemiliknya, transmigran asal Purwakarta. Salah seorang supervisor pelayan, ketika sedang menata hidangan tertegun sekejap. Ia memandang ke arah saya, karena mendengar lagu Sunda (Kanya'ah Indung Bapak karya Endang Caturwati) dari bimbit saya.
"Hapunteun.. Bapak ti Bandung?" tanyanya spontan. Saya mengangguk. Dia tersenyum. Lalu bergegas ke dapur. Pelayan lain, masih belia, datang membawa masakan yang kami pesan. Ketika ditanya Enol, dia menyebut, tinggal di Unit VIII. Mereka generasi ketiga dan keempat dari masing-masing keluarganya.
Waeapo, sebagaimana halnya Waelata, sudah menjadi perkampungan multietnik dan multikultur. Namun, keberhasilan pertanian di wilayah ini melalui kerja dan aksi sosial kolaboratif, sedikit memercik friksi, apalagi konflik sosial. Masing-masing komunitas berkontribusi dengan pengalaman dan pengetahuan sosial mereka masing-masing. Khasnya dalam bertani.
Mereka menjadi aktor-aktor pembangunan, sekaligus perekat di tengah keragaman masyarakat. Kondisi lingkungan hidup dan alam mewadahi mereka sebagai masyarakat dengan kepentingan dan tujuan hidup yang sama: sejahtera dan bahagia. Hal tersebut tercermin dari sikap penduduk, seperti terungkap dari sikap dan ekspresi norma penjual bensin eceran yang sigap melayani, sedangkan kakeknya sibuk menata jemuran padi hasil panen mereka.
Boleh jadi juga karena mereka sebagian besar merupakan geba misnit (pendatang), karena geba bupolo (penduduk asli) masih banyak yang tinggal di punggung bukit dan kaki gunung.
Geba Misnit dan Geba Bupolo
Masyarakat pendatang dari etnis Jawa, Sunda, Buton, Banggai, Bugis, Seram, Ternate, Arab (Hadrami), Cina, dan lain-lain dengan kecerdasan budaya dan kearifan adat masing-masing membentuk nilai sosial baru persaudaraan (basudara) dengan pola komunikasi sosial kai wait (adik kakak). Itulah nilai budaya yang hidup dalam interaksi sosial, sebagaimana saya alami, ketika melakukan diskusi dengan para aktivis kalangan muda dan tua. Juga dengan kalangan politisi dan da'i.
Kendati pernah terkena imbas konflik sosial di Ambon (1999) di Pulau Buru, khasnya Namlea, pemulihan dan rekonsiliasi begerak lebih cepat. Apalagi relasi dan korelasi sosial berbasis traditional authority relationship (TAR) terutama dari kalangan raja. Apalagi interaksi masyarakat Buru dengan kalangan luar secara global (dengan orang Spanyol, Portugis, Belanda, Arab Hadrami, dan dari etnis lain yang berdekatan, seperti Bugis) telah berlangsung sangat lama, sejak abad ke 17.
Dari percakapan dan diskusi dengan kalangan aktivis, mantan biroktrat, dosen, politisi, dan mahasiswa di Namlea, sentrum dinamika pulau terbesar kedua (selain Seram) di Maluku, terpercik pengaruh budaya gunung (Bumi Lalen) sekitar Danau Rana dan Gunung Date, budaya pesisir dan laut (antara lain Kaiyeli dan Namlea), sikap kosmopolit mengemuka.
Perkembangan sosio budaya di kalangan geba misnit terus berkembang dan menjadi pesona sosiologis tersendiri di Pulau Buru (Kabupaten Buru dan Buru Selatan). Meski menggunakan bahasa Melayu Ambon dalam komunikasi personal dan sosial sehari-hari, bahasa ibu juga tetap terpelihara di lingkungan sosial masing-masing. Proses kawin mawin antar warga menambah kaya dimensi sosiobudaya tersebut..
Yang menarik bagi saya adalah, dimensi sosiologis Pulau Buru sejak abad ke 16 dan 17 sampai kini, telah menjadi obyek penelitian berbagai kalangan dari berbagai universitas di berbagai zona (lokal, nasional, regional, global). |