Wajah kota Tangerang dari permukaan tidaklah terlalu istimewa, hanya terlihat kegagahan bangunan industri, mal dan hilir mudik bus sebagai penunjang kota satelit. Tetapi, bila menyelami lebih dalam, kota ini memiliki kisah sejarah masa lalu yang luar biasa. Dari daerah rebutan hingga alkulturasi antara masyarakat Tionghoa dan pribumi yang kita kenal sekarang dengan sebutan Cina Benteng (Cibet).
Menyusuri kawasan Pasar Lama-Tangerang, kita akan menemukan suasana pasar tradisional dengan jalanan yang becek, aroma sayur, buah, bercampur dengan keringat pedagang dan pembeli. Di depan pasar, tukang becak yang kebanyakan bermata sipit dengan kulit cokelat masih setia menunggu penumpang.
Setelah sekitar beberapa meter berjalan melewati pasar. Terlihat pagar cokelat dan bangunan antik berselimutkan warna merah. Klenteng “Boen Tek Bio” adalah refleksi masa lalu yang megah dan terhimpit di tengah keriuhan toko-toko di persimpangan jalan Bhakti dan jalan Cilame, Pasar Lama-Tangerang, Klenteng “Boen Tek Bio” diperkirakan dibangun pada 1684 dan menjadi klenteng tertua di Tangerang yang saat ini berusia lebih dari 300 tahun---Boen Tek Bio memiliki arti berkumpulnya orang-orang intelektual untuk melakukan kebajikan. Boen Tek Bio baru diresmikan menjadi Klenteng sekaligus perkumpulan keagamaan dan sosial sejak 12 Januari 1912.
Di Klenteng ini, Oey Tjin Eng yang akrab disapa Engkong Tjin Eng menyambut dengan ramah. Meski seluruh rambutnya telah tertutupi uban, tapi cara bicaranya begitu bersemangat dan ceplas-ceplos khas Betawi. Tjin Eng telah mengabdikan diri selama 12 tahun sebagai salah satu pengurus utama Klenteng dari generasi ke-8. Dia adalah salah satu saksi hidup, untuk kita menemukan refleksi sejarah masa lalu Cina Benteng dari kisah turun-menurun leluhurnya.
Tjin Eng yang tahun ini genap berusia 70 tahun begitu bersemangat menjelaskan sejarah leluhurnya. Menurutnya, merujuk pada kitab sejarah Sunda “Tina Layang Parahyang” (Catatan dari Parahyangan) dijelaskan mengenai kedatangan orang-orang Tionghoa ke Tangerang. Berawal, pada tahun 1407 Masehi (600 tahun yang lalu) rombongan Tjen Tjie Lung (Halung) mendarat di daerah Teluk Naga, di muara sungai Cisadane. Tujuan awal mereka adalah Jayakarta, tapi terpaksa terdampar karena kapalnya mengalami kerusakan dan kehabisan perbekalan.
Pada masa tersebut yang berkuasa sebagai wakil dari Kerajaan Pajajaran adalah prajurit Sanghyang Anggalarang. Melihat 9 orang gadis cantik diantara rombongan Halung, Sanghyang menawarkan untuk mempersunting dengan kompensasi sebidang tanah. Selanjutnya laki-laki dari rombongan Halung juga menikah dengan penduduk setempat.
“Hasil pernikahan ini disebut dengan peranakan Tionghoa dan cikal bakal Cina Benteng” tutur Tjin Eng. Perkembangan peranakan Tionghoa semakin meluas, mereka mengaku dirinya sebagai keturunan Dinasti Tang---meskipun beberapa sumber menyebutnya dari Dinasti Ming. Keberadaanya meluas dari mendirikan Desa Pangkalan, hingga membuka lahan baru di kawasan Pasar Lama, Pasar Baru, dan Serpong dengan bukti keberadaan tiga Klenteng Tua di Tangerang, yaitu Boen tek Bio, Boen San Bio dan Boen Hay Bio.
Akhirnya, perkampungan yang dikenal dengan petak Sembilan depan klenteng Boen Tak Bio ini berkembang menjadi pusat perdagangan. Sehingga kawasan pecinan Pasar Lama ini selalu menjadi salah satu destinasi wisata sejarah Cina Benteng, meski tidak banyak masyarakat di luar Tangerang yang menyadari keberadaannya.
Akulturasi dan Tragedi di Daerah Perebutan
Sebutan Cina Benteng bagi masyarakat peranakan Tionghoa tidak lepas dari sejarah keberadaan Benteng Makasar dan filosofis nama Tangerang. Asal kata nama Tangerang menurut tradisi lisan, berasal dari nama bahasa Sunda yaitu “tengger” dan “perang.” Tengger artinya tanda segala sesuatu yang didirikan dengan kokoh, yaitu tugu yang didirikan sebagai simbol batas wilayah kekuasaan kesultanan Banten dan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie)---perusahaan dagang asal Belanda. Sedangkan pengertian perang yang dimaksud bila kawasan ini menjadi medan perang antara kesultanan Banten dengan tentara VOC. Jadi Tangerang bermakna “batas perang.”
Benteng (Fort) yang didirikan oleh VOC pada tahun 1683 dikenal dengan nama Benteng Makassar, karena penjaganya kebanyakan orang Bone (dianggap orang Makassar) tujuanya untuk pembatas wilayah kesultanan Banten. Keberadaan benteng pertahanan dipisah oleh sungai Cisadane, benteng Banten di sebelah barat dan VOC sebelah kiri. VOC lalu membuka hak milik bagi orang-orang yang akan membuka lahan di kawasan yang masih hutan belukar, kesempatan ini digunakan peranakan Tionghoa ini yang pandai bertani untuk mendiami lahan di sekitar Benteng. Sehingga, sebutan Cina Benteng melekat pada peranakan Tionghoa di Tangerang hingga saat ini.
“Jadi yang membuka lahan di sini adalah orang-orang dari peranakan Tionghoa. Dibuat oleh Belanda untuk menahan Sultan Banten. Yang jadi batasnya sungai Cisadane. Dulu dari babakan ke Sungai itu banyak bangker-bangker, sekarang sudah kena erosi dan punah termasuk bentengnya” Jelas Tjien Eng, sembari mengenang. Tjin Eng menambahkan,“sebenarnya sebutan Cina Benteng yah disini (Pasar Lama), tapi banyak yang bilang hingga ke berbagai perbatasan Tanggerang, jadi dilumrahkan saja.” Mirisnya benteng Makassar telah tergantikan oleh Plaza Tangerang. Bangunan bersejarah ini tak bisa dilihat lagi, hanya tinggal kenangan.
Cina Benteng kaya akan akulturasi kebudayaan, agama yang banyak dianut adalah Konghucu, Budha dan Tao. Ritual-ritual keagamaan umat Konghucu menjadi daya tarik yang menarik.
Selain Klenteng “Boen Tek Bio”, salah satu situs kuno yang bisa menjadi saksi bisu sejarah dan akulturasi kebudayaan masyarakat Cina Benteng adalah “Museum Benteng Heritage” letaknya tidak jauh dari klenteng dan sama-sama terletak di tengah pecinan Pasar Lama. Tepatnya jalan Cilame nomor 20. Bangunan Museum Benteng Heritage dengan arsitektur Tionghoa adalah hasil restorasi dari bangunan rumah kuno yang diperkirakan berdiri pada abad ke-17. Pada tahun 2009, Udaya Halim salah satu tokoh Cina Benteng yang perduli pada sejarah leluhurnya, menyulap rumah ini menjadi museum dalam waktu dua tahun dan berdiri di tahun 2011.
Terdapat dua lantai di museum yang mengisahkan kehidupan masa lalu Cina Benteng, seperti Prasasti Tangga Djamban yang bertuliskan aksara mandarin dan berangka tahun 1873. Isinya adalah dukungan dari orang-orang Cina saat pemerintahan Kaisar Thong Tjie kepada sarikat Boen Tek Bio untuk mengumpulkan orang dan uang bagi pembangunan 30 jalan. Dari prasasti ini kita bisa melihat bahwa di masa lalu, peranakan Tionghoa juga berkontribusi dalam pembangunan kota Tangerang.(Text & Foto Ratu Selvi Agnesia & N. Syamsuddin Ch Haesy, artikel ini telah diterbitkan di majalah Gading Serpong Voice Edisi September 2014).