Catatan Bang Sem
ZAHRUDIN Ali Al Batawi atawa Bang Udin (55) bukan sekadar sebuah nama.
Ketua Umum Badan Musyawarah (Bamus Betawi) H. Zaenuddin (bang Odink), pada SENIN, 12 Februari 2018, menobatkannya sebagai Rajé Pantun Betawi, di Perkampungan Budaya Betawi (PBB) - Setu Babakan.
Hari itu, di bangunan Rumah Makan Betawi – kompleks PBB Setu Babakan – digelar diskusi Pantun dalam Kehidupan Masyarakat Betawi oleh Bamus Betawi dan Unit Pengelola Kawasan PBB, didukung beberapa organisasi kemasyarakatan Betawi.
Selain Abdul Chaer (Babe Chaer), pakar ilmu bahasa dan akademisi senior (sekaligus penulis folklore dan kamus bahasa Betawi) dan Bang Odink tampil sebagai pembicara. Bang Udin dan saya juga diundang sebagai pembicara.
Tak banyak perbedaan pandangan saya dengan pembicara lain, karena di lingkungan keluarga Betawi terdidik masa lalu, pantun menjadi bagian tak terpisahkan dalam beragam aktivitas khas, mulai dari perkawinan, nujuh bulan, beragam kenduri, dan beragam pertemuan.
Pantun di lingkungan masyarakat Betawi tak hanya melekat pada beragam bentuk produk budayanya, khasnya seni, seperti Palang Pintu, Musik Melayu, dan sebagainya. Karena sebagai bagian integral dari rumpun bangsa Melayu, pantun dengan beragam jenis dan formatnya, memang mengalir dalam satu tarikan nafas tradisi dan atraksi budaya.
Pantun Betawi mengalir begitu saja dan selama ini cenderung tak terdokumentasikan dengan baik, sampai Bang Udin mendirikan sanggar Batavia Grup yang menyajikan seni Palang Pintu.
Mulanya Bang Udin menulis pantun untuk keperluan internal sanggarnya. Belakangan, ketika tahu pantun Betawi tidak terdokumentasikan dengan baik – saat dia mengantar anaknya ke Perpustakaan Nasional --, Bang Udin terusik untuk menulis dan menerbitkan buku pantun Betawi.
Sejak terbit kesadaran untuk menulis dan menerbitkan buku Pantun Betawi, Bang Udin sudah menulis 1.500 pantun dengan beragam format dan jenis. 9 Juni 2012, bukunya, bertajuk 1.500 Pantun Betawi terbit dan diluncurkan oleh Gubernur DKI Jakarta, ketika itu, H. Fauzi Bowo (Foke).
Sampai kini, boleh jadi sudah lebih dari 2000 pantun Betawi untuk berbagai event dan moment dituliskannya. Dia mengaku, menulis pantun secara otodidak. Dalam bahasa lain, boleh disebut dia sebagai penulis pantun sekaligus pemantun nir konsep, sebagaimana halnya almarhum Nasar dalam seni lukis.
Lelaki rendah hati dan berakhlak baik ini, punya kemampuan mengungkapkan pantun dalam sekejap. Di otak kanannya, saya bayangkan, tersimpan ribuan kosakata Betawi – tentu juga bahasa Indonesia – yang relevan dengan momen di mana pantun disajikan secara spontan.
Kemampuannya berpantun secara spontan setara dengan Amir Nasution – Raja Pantun Melayu asal Tapanuli Selatan, yang beberapa kali memenangkan Festival Pantun Melayu di Melaka.
Menurut Tan Sri Datuk Seri Utama Rais Yatim (Dasury) – Presiden Universiti Islam Antarabangsa Malaysia dan Penasehat Sosiobudaya Perdana Menteri Malaysia Dato Seri Muhammad Najib – yang melakukan kajian dan penelitian intens tentang seni pantun, dalam tamadun (peradaban) Melayu, pantun merupakan cabang budaya yang melahirkan estetika seni budaya melalui pemikiran bernas, cakap, dan halus, sambil mencetuskan nilai tamaddun yang tinggi.
Saya sepakat dengan mantan Menteri Luar Negeri dan Menteri Penerangan Komunikasi Kebudayaan Kerajaan malaysia, itu.
Dalam diskusi di RMB PBB Setu babakan itu saya kemukakan, pantun merupakan medium ekspresi yang memadupadan kecerdasan dan kearifan dalam satu tarikan nafas.
Dalam klab Pantun Melayu yang saya ikuti, pantun merupakan medium komunikasi yang memberi nilai lebih karena di dalamnya mengalir tata krama, sehingga produk budaya pantun, sesungguhnya merupakan harmonisasi terindah seni kata, yang mempertemukan artistika – estetika – dan etika secara siblimatif.
Pun demikian halnya dengan Pantun Betawi yang ditulis Bang Udin.
Dalam karya-karyanya, Bang Udin berhasil menghadirkan pantun sebagai medium terbuka yang bisa dimanfaatkan untuk beragam hasrat, keperluan, dan bahkan kepentingan.
Kebanyakan pantun karya Bang Udin, menggunakan format empat larik dalam satu stanza dan berdasarkan isinya, meliputi pantun jenaka, pantun nasihat, dan pantun agama sesuai dengan karakter habitus sosial masyarakat Betawi.
Akan halnya pesan yang disampaikan, juga menyentuh berbagai aspek sosial kehidupan sehari-hari yang banyak dialami oleh masyarakat Betawian (Betawi Pituin atau Betawi Mukimin). Misalnya begini :
Kucing kurus mencari ikan
Ikan dimakan burung belibis
Badannye kurus bukan kurang makan
Mikirin kontrakan ude mau habis
Di atas bukit banyak pohon jati
Dekat pasar banyak yang nyebrang
Alangkah sakit ku punya hati
Punya pacar diambil orang
Buah duren durinye tajem
Tinggal sedikit masih dipikul
Wajahnye keren hatinye kejem
Salah sedikit suka maen pukul
Sejumlah puisi karya Bang Udin yang terpumpun dalam bukunya bertajuk 1500 Pantun Betawi, sejumlah pantun karyanya berisi pesan edutainment (mendidik dan menghibur) yang menarik. Begini misalnya :
Perut mules itu akibatnya
Kalo masuk angin dibiarin aja
Penyakit males susah obatnya
Kaya kepengen, tapi kaga mau kerja
Tukang sado tidurnye pules
Setelah berhari-hari kerja berat
Ude bodoh kerjanye males
Di kampung sendiri hidup melarat
Jual sepatu membeli sandal
Sandal dibeli di toko Cina
Segala sesuatu perlu modal
Modalnya mau cari ke mana?
Beberapa bagian pantun Bang Udin merupakan pantun dialogia yang terasa disiapkan untuk kepentingan gelaran seni palang pintu. Begini misalnya:
Ke Tanah Abang belu baju kemeje
Warnanye mere kelihatan gelap
Abang kalau ngomong ade-ade aje
Abang jaware ape tukang sulap
Ayam jago ayam betine
Ayam negeri baru menetas
Elo boleh jago di mane-mane
Tapi di sini entar elo gue pites
Senang membaca buku Pantun Betawi Bang Udin, senang juga mendengar dia berekspresi ketika menyampaikan pandangan dan pemikirannya.
Petang itu, ketika memungkas pembicaraan, saya sampaikan apresiasi dan doa saya kepadanya :
Rayain maulid nabi bacain rawi
Baca sike kudu lah bisa
Bang Udin emang raje pantun betawi
Terus berkarya sepanjang masa |