Bang Sèm
Tidak mudah membawa Jakarta ke titik imajinasi sebagai kota global dengan segala persoalan yang menyertainya. Ibarat rangkaian gigi, banyak slilit yang melekat di sela-selanya. Beberapa di antaranya sudah menjadi karang gigi.
Gubernur Fauzi Bowo, Basuki Tjahja Purnama, Anies Rasyid Baswedan sudah berusaha membersihkan gigi itu dari slilit. Namun, keterbatasan waktu dan berbagai persoalan politik, ketiganya belum mencungkil semua slilit itu.
Harapan itu kini ada di tangan Gubernur Pramono Anung dan Wakil Gubernur Rano Karno, sebagai pemimpin puncak di Pemerintah Provinsi (Pemprov) Daerah Khusus Jakarta, meski berbekal Undang Undang No.2/2024 tentang Daerah Khusus Jakarta yang dirampungkan tergesa-gesa.
Pram dan Rano yang terpilih dalam Pilkada 2024 selain menawarkan gagasan, spirit dan rencana aksi baru, juga berkomitmen memungkas berbagai hal yang tak sempat diselesaikan Fauzi Bowo, Basuki Tjahja Purnama, dan Anies Baswedan.
Pram dan Rano menghantarkan semangat membuat "Jakarta Menyala" kembali, kendati tak lagi menjadi Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jakarta yang lebih ramah dan melayani.
Di fase awal kepemimpinan keduanya, Pramono dan Rano (dibantu sejumlah aparatur sipil negara yang tangkas di lingkungan Pemprov Daerah Khusus Jakarta) sudah melakukan aksi governansi, mencicil pelunasan janji politik yang dikemukakannya saat kampanye.
Memilih Cara, Bukan Alasan
Sebagai anak Jakarta (yang lahir, bertumbuh dan besar di Jakarta), saya menghargai aksi kepemimpinan Pramono dan Rano.
Pram dan Rano bersungguh-sungguh menyelesaikan berbagai slilit terkait focal concern: pendidikan, budaya, ekonomi, dan kesehatan, setarikan nafas dengan komitmen menyelesaikan persoalan laten Jakarta. Khasnya, banjir, sampah, transportasi, dan berbagai generator masalah yang menyertainya. Baik yang terkait dengan pencapaian berbagai indikator utama : human development index (HDI), sustainable development goals (SDG's), indeks pembangunan kebudayaan, dan tentu indeks kebahagiaan, maupun berbagai hal 'tak nampak' terkait dengan transformasi minda.
Beberapa kali saya mendengar langsung dari Pramono dan Rano perihal komitmennya memajukan Jakarta dan membahagiakan warganya. Memilih cara (the way) katimbang alasan (reason, apalagi intuitive reason).
Cara yang ditempuh Pram dan Rano menyelesaikan masalah, mencungkil slilit langsung ke inti persoalan, menunjukan aksi governansi yang pas (tepat sasaran dan fokus).
Pram dan Rano memaduserasi pendekatan teknokratik dan commander houd. Sebutlah itu perihal slilit di Bank DKI, Kampung Bayam dan Jakarta International Stadium (JIS), Ijazah siswa yang tertahan sekolah, membuka lowongan 500.000 pasukan oranye, pasukan putih, penampungan anak bagi ibu yang bekerja, pajak bumi dan bangunan skala tertentu, dan lainnya.
Juga komitmen kongkret sosio habitus menggunakan kendaraan umum, persoalan di balik bengkalai pancang monorel, penyelesaian masalah yang menghambat aktivasi Planetarium & Observatorium Jakarta, dan lainnya.
Kesemua itu dilakukan dengan bertolak dari kesadaran dan antusiasme menghidupkan simpati, apresiasi, dan respek terhadap kinerja aparatur di lapisan terdepan dan kinerja masyarakat.
Partisipasi Kolektif dan Kritis
Dalam upaya mencungkil slilit Jakarta, saya melihat, Pram dan Rano melakukan aksi cepat menunjukkan cara menggerakkan paradigma layanan governansi dari program centric ke peoples centric.
Dimulai dengan kesadaran untuk mengenali secara langsung, fokus, dan jernih warga sebagai subyek layanan, memetakan dengan jelas keperluan, kehendak, dan hasrat pemangku kepentingan.
Lantas menentukan program aspiratif dan prioritas dengan pendekatan buttom up dan top down (kendati belum sepenuhnya terakomodasi dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan - Musrenbang). Muaranya adalah peoples satisfaction yang bakal menjadi modal bagi pertumbuhan dan keberlanjutan Jakarta sebagai daerah khas yang dibayangkan sebagai pusat perekonomian (yang tetap memacu perekonomian nasional) dan kota global yang beradab.
Upaya mencungkil slilit Jakarta memang bukan sesuatu yang mudah. Perlu dukungan dan partisipasi kritis dari berbagai kalangan. Khasnya kalangan politisi (pimpinan dan anggota DPRD DK Jakarta) yang lebih cerdas dan berbudaya, cendekiawan (budayawan, akademisi, pemuka agama, wartawan), pengusaha dan profesional, pemuka masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, dan lainnya.
Partisipasi kritis tersebut diperlukan, baik untuk menguatkan pencungkil slilit (good government, good governance, firm leadership, orderly soiety), penambah daya bagi format kepemimpinan Pram dan Rano yang mengharmonisasi kecerdasan, ketangkasan, ketegasan, dan kearifan.
Pram dan Rano akan optimal mencungkil slilit Jakarta, bila partisipasi kolektif seluruh pemangku kepentingan (dilandasi oleh kesadaran untuk membangun ideologi, nilai, norma, dan budaya inti terbaik) berkontribusi membangun kolaborasi, sinergi, dan soliditas dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan penguatan masyarakat. |
| artikel ini, pemikiran pribadi