Liga Premier Inggris

Leicester Tak Lagi Moncer

| dilihat 1680

AKARPADINEWS.COM | MUSIM 2015-2016 menyisahkan kisah indah bagi Leicester City. Klub yang selama ini selalu kesulitan bertahan di Liga Premier Inggris, mendadak mampu menjuarai liga yang diikuti sejumlah klub terkemuka. Wajar eforia diekspresikan. Seluruh elemen klub, mulai dari pemain, manajemen klub, hingga para fans The Foxes, berpesta tatkala Leicester dinobatkan sebagai raja baru Liga Premier Inggris.

Namun, itu di musim lalu. Saat Liga Premier Inggris musim 2016-2017 digelar, Leicester seakan kehilangan kedigjayaannya. Di pertengahan musim ini, klub asal Kota Leicester itu hanya mampu berada di posisi 15 klasemen sementara. Benar kiranya pendapat yang menyatakan jika mempertahankan gelar juara lebih sulit daripada merebutnya. Bila penampilan di Liga Premier Inggris terus memburuk, Leicester akan menjadi klub yang terburuk dalam mempertahankan gelarnya.

Ada beberapa faktor yang membuat Leicester terjatuh. Pertama, faktor internalnya. Di awal musim 2016-2017, The Foxes kehilangan pemain kuncinya, yakni N’Golo Kante. Pemain asal Perancis itu memilih hengkang ke Chelsea dengan banderol harga 30 juta Poundsterling atau setara dengan Rp512 miliar. Kehilangan Kante berdampak fatal bagi performa tim utama Leicester.

Sebab, selama di Leicester, pemain yang berposisi sebagai gelandang bertahan itu menjadi jangkar pertahanan, sekaligus pengatur serangan. Kante juga berperan utama dalam mengatur alur bola. Tak bisa dipungkiri, dia menjadi salah satu pemain yang memiliki kontribusi besar dalam membawa Leicester menjuarai Liga Premier Inggris.

Tanpa kehadirannya, tim utama Leicester kehilangan penyambung alur serangan. Meski masih ada Riyad Mahrez, namun nyatanya, permainannya tak sebombastis musim lalu. Apalagi, Jamie Vardy bukan tipe penyerang yang serba bisa. Dia lebih condong sebagai penyerang murni, yang jarang turun ke belakang untuk merebut bola yang dikuasai lawan di lini tengah.

Meski masih ada Danny Drinkwater, stabilitas permainan Leicester tak sekuat musim 2015-2016. Itu karena Drinkwater lebih berperan sebagai penyuplai bola, bukan pengatur tempo permainan. Pemain berusia 26 tahun itu belum sanggup menggantikan peran Kante.

Persoalan kedua ialah padatnya jadwal permainan Leicester di musim ini. Salah satu beban berat The Foxes di musim ini ialah keikutsertaannya dalam kompetisi Liga Champions Eropa musim 2016-2017.

Kompetisi itu memang dikenal memiliki jadwal yang padat yang menguras stamina dan mental para punggawa Si Rubah. Bagi klub-klub langganan Liga Champions Eropa, tentu sudah mengakali persoalan itu. Salah satunya dengan memiliki komposisi pemain yang berimbang.

Beberapa klub terkemuka seperti Real Madrid, Barcelona, Manchester City, Arsenal, Juventus, dan sebagainya, memiliki komposisi pemain yang saling mengisi. Dengan begitu, ada pemain yang difokuskan untuk berlaga di beberapa liga yang diikuti. Bagi pemain yang fokus pada Liga Champions Eropa, biasanya diliburkan saat laga di liga domestik bila jadwalnya saling berdekatan.

Berbeda halnya dengan kondisi Leicester. Pengaturan stabilitas tim melelahkan karena hampir seluruh pemainnya tidak pernah bermain dengan jadwal sepadat musim ini. Selain itu, komposisi tim keduanya pun tak mampu mengimbangi kualitas komposisi tim utama.

Persoalan usia pemain pun ikut andil dalam faktor penurunan kualitas permainan. Di tim utama, mayoritas pemainnya berusia di atas 26 tahun. Dari sisi mental, para pemain Leicester memang lebih matang. Namun, dari sisi stamina, dayanya tak lagi dahsyat bagi para pemain yang berusia 28-30 tahun ke atas.

Kondisi ini kiranya membuat Claudio Ranieri harus memilih mana kompetisi yang menjadi targetnya di musim 2016-2017. Dan, bila melihat konsistensi permainan tim, Ranieri nampaknya lebih memfokuskan timnya untuk berlaga di Liga Champions Eropa. Dari lima laga pada fase grup yang telah dilalui, Leicester merasakan empat kemenangan dan satu kali seri.

Dengan raihan tersebut, pelatih asal Italia itu yakin timnya mampu berjaya di kompetisi bergengsi di Benua Biru yang kali pertama dijajak. Dan, pilihan Ranieri itu agaknya diamini para pemain. Namun, Ranieri harus waspada. Pasalnya, Liga Champions Eropa merupakan laga yang kastanya lebih tinggi ketimbang di liga Inggris. Semua klub yang berlaga, tentu punya ambisi yang sama meraih juara.

Karenanya, walau kemungkinan dapat bertahan di Liga Champions Eropa, Ranieri harusnya tetap mempertahankan performa permainan timnya di liga domestik. Karena, bila Leicester tersingkir dari Liga Champions Eropa musim 2016-2017, masih ada harapan mempertahankan juara di Liga Premier Inggris. Namun, agaknya sulit direalisasikan. Dibutuhkan kerja keras tim untuk lebih meningkatkan performa permainan.

Masalah lain yang tak kalah krusial adalah pada barisan pertahanan. Komposisi pemain belakang Leicester dihuni pemain yang sudah cukup berumur. Akibatnya, lini pertahanan kurang begitu kuat. Para pemain pun sering kelelahan setelah menjalani serangkaian pertandingan yang padat.

Apalagi, pemain muda untuk rotasi tidak terlalu banyak. Pemain muda Leicester yang berposisi sebagai pemain bertahan hanya Ben Chilwell (19 tahun) dan Daniel Amartey (21 tahun). Sisanya, berusia 27-36 tahun.

Untuk itu, pada pembukaan jendela transfer tengah musim di bulan Januari 2017 nanti, Ranieri harus memburu pemain belakang muda dan bertalenta untuk menambah daya lini pertahanan.

Pelatih berusia 65 tahun itu juga harus menemukan sosok pemain tengah yang mampu mengisi kekosongan fungsi Kante. Untuk menarik pemain yang mampu mengisi kekosongan tempat yang ditinggalkan Kante memang tak mudah. Apalagi, kondisi Leicester di liga domestik berada di ambang batas aman dari zona degradasi.

Ranieri sebenarnya sudah memiliki nama yang diincarnya untuk bermain di lini tengah. Pilihannya jatuh pada Wilfred Ndidi, yang berusia 19 tahun. Dia akan menggantikan peran Kante. Ndidi merupakan pemain tengah yang mampu bermain sebagai gelandang bertahan sekaligus gelandang tengah. Di usianya yang masih muda, pemain asal Nigeria itu telah tampil lima kali membela klubnya, Genk, di ajang Liga Europa, kasta kedua kompetisi bergengsi di benua Eropa.

Tipikal permainannya serupa dengan Kante. Ketika bertahan, dia mampu menyalurkan bola dengan sangat baik ke lini depan. Dia juga mampu mendaratkan tekel-tekel aman ketika menghentikan pemain lawan.

Sebagai pemain tengah, Ndidi juga memiliki kapabilitas mencetak angka. Itu terbukti dari lima pertandingan Genk di Liga Europa. Ndidi mencetak dua gol. Pemain kelahiran 16 Desember 1996 itu masih memiliki potensi untuk berkembang menjadi pemain yang berkualitas. Ndidi juga mampu bermain sebagai bek bila dibutuhkan. Naluri bertahannya cukup tinggi. Dia pun dapat dengan cepat beradaptasi kala berada pada posisi bertahan.

Ranieri nampaknya tidak main-main untuk mendaratkan Ndidi ke King Power Stadium. Dia telah mengajukan anggaran kepada manajemen Leicester untuk menggelontorkan uang transfer sebesar 15 juta Poundsterling atau setara dengan Rp255 miliar agar apat mendatangkan Ndidi. Dan, di tangan Ranieri, Ndidi diharapkan bertransformasi menjadi pemain gemilang. | Muhammad Khairil

Editor : M. Yamin Panca Setia | Sumber : Leicester Mercury/Mirror/BBC/Who Scored/Telegraph/Sky Sports
 
Energi & Tambang
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 234
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 457
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 449
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 417
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya