Krisis Prancis

Rakyat Bergerak Mendesak Macron Mundur

| dilihat 90

Gerakan demonstrasi 'blokir segalanya' (tout bloquer) yang melibatkan Generasi Z (Gen Z), berlangsung massif dan agresif, secara nasional, telah berlangsung tegang (Rabu, 10/9/25). Mereka menuntut Presiden Emmanuel Macron mundur dari jabatannya.

Tuntutan itu menyimpan kemarahan rakyat yang dipicu oleh kebijakan fiskal dan penghematan presiden. Sesuatu yang dianggap sebagai kegagalan Macron mengatasi berbagai permasalahan ekonomi dan politik.

Kendati demikian, Parlemen Prancis berhasil menjatuhkan Perdana Menteri kelima François Bayrou yang dilantik kurang dari  dua tahun lalu.

Meskipun tak sebesar demonstrasi 'gerakan rompi kuning' (mouvement des Gilets jaunes) yang berlangsung 16 Maret 2019, 'tout bloquer'  cukup mengkhawatirkan.

Kementerian Dalam Negeri Prancis memprakirakan tak kurang dari 175 ribu orang berpartisipasi, berlangsung di 550 titik.

Di Paris, demonstran berusaha memblokir jalan-jalan, termasuk jalan tol dan jalan masuk ke pusat kota, namun dihalangi polisi. Tak kurang dari 80 ribu pertugas kepolisian anti huru-hara telah dikerahkan di seluruh negeri.

Khususnya di titik-titik vital, seperti kilang-kilang minyak dan sarana vital lain, seperti bandar udara dan pelabuhan, yang diduga akan menjadi sasaran utama demonstran. Demonstran menyeruak melaluk berbagai stasiun metro yang tersebar, namun tak bisa menguasai sentral stasiun kereta.

Belum Berhasil

Di Paris, aksi demonstrasi terfragmentasi, dan meningkat sebagai ketegangan setelah aksi anarkis menunjukkan tanda-tanda awal. Khasnya ketika demonstran mulai menyerang polisi di berbagai titik sambil melempar tong-tong sampah berukuran besar. Selain melempari polisi (yang membalas dengan granat asap pemerih mata), demonstran juga melempari mobil patroli polisi. Kemungkinan rusuh dibaca polisi, ketika sebuah brasserie dan kedai kopi dibakar.

Para demonstran juga 'mengundang' para pelajar seusia mereka untuk melakukan aksi. Tak kurang 100 sekolah menengah dan 27 sekolah lainnya diblokir di Prancis, dan para siswa bergabung melakukan aksi.

Informasi dari Kementerian Pendidikan mengungkap, tak kurang dari 150 sekolah menengah atas terkemuka dari 3.700 sekolah di Prancis serikat siswanya bergabung dalam aksi, seperti dicatat Union Syndicale Lycée (USL).

Di Bourg-en-Bresse, mobilisasi dimulai menjelang petang, saat usai kegiatan sekolah, sedangkan di Ain yang berbatasan dengan Paris, para pelajar bergabung lebih awal. Para kordinator lapangan demonstrasi menyebar ajakan melalui platform media sosial, khususnya Telegram.

Kementerian Dalam Negeri agak kurang khawatir, begitu tahu para demonstran gagal memblokir seluruh akses dan sarana vital yang bisa melumpuhkan aktivitas ekonomi dan bisnis.

Bruno Retailleau, Menteri Dalam Negeri, Rabu malam menampakkan sukacita, karena para demonstran tak berhasil melakukan pemblokiran tersebut. Ia memuji responsivitas polisi, seperti dikemukakannya usai rapat unit krisis di Beauvau yang diketuai oleh Perdana Menteri baru, Sébastien Lecornu.

"Mereka belum berhasil memblokir Prancis," katanya, seraya menuduh kaum kiri ekstrim dan ultra kiri sebagai dalang aksi demonstrasi itu.

Ketidakadilan Pajak

Keberhasilan polisi mengamankan stasiun pusat kereta api, meskipun sedikit mengganggu layanan kereta api  lintas negara dengan Swiss pada siang hari, tetapi situasinya dapat dikendalikan.

"Rencana transportasi kami normal," kata TGV Lyria, yang mengoperasikan layanan kereta cepat antara Swiss dan Prancis. Walaupun begitu, Swiss, membatalkan perjalanan pulang pergi antara Jenewa dan Nice.

Aksi demonstrasi yang ramai diikuti pelajar dari Gen Z, ini seolah menyambut tugas awal Perdana Menteri (PM) baru Prancis,  Sèbastian Lecornu yang menghadapi tantangan berat. Khasnya dalam layanan transportasi, pendidikan, dan layanan lainnya di seluruh Prancis, yang mengalami gangguan akibat demonstrasi tersebut.

Lecornu mesti jernih mengambil keputusan, kendati dia menerima informasi dari Retailleau tentang 473 aksi polisi melakukan penangkapan dan 339 orang di antaranya telah ditahan polisi. Di Paris, 203 orang ditangkap, 106 orang di antaranya ditahan.

Dikemukakannya, demonstrasi yang diikuti banyak pelajar dari Genersi Z (Gen Z) juga diikuti oleh banyak aktivis radikal, yang menyebabkan "gangguan ketertiban umum.

Selaras dengan itu, PM Lecornu mesti cermat menyikapi tuntutan yang berkait langsung dengan keadilan sosial, yang terpantik oleh maklumat PM (lama) François Bayrou, yang digantikannya, ihwal pembebasan dan keringanan pajak yang menguntungkan orang kaya.

Kebijakan yang dipandang tak adil itu, akan menyebabkan rakyat pada umumnya harus membayar lebih untuk layanan kesehatan. Rakyat bereaksi negatif dan marah terhadap kebijakan Bayrou, karena pemerintah mengambil dari kalangan menengah dan menengah bawah yang tidak punya banyak uang.

Reaksi yang meletup dari kalangan menengah, ini segera mendapat respon dari kalangan (dan menjadi gerakan) masyarakat akar rumput, yang merambat sejak Juli 2025 dan  meletup pada 10 September.

100 Ribu Polisi dan Intel

Karena aksi ini dianggap belum berhasil, para penggerak aksi demonstrasi merancang aksi lebih besar lagi sepekan ke depan, diperkirakan Kamis, 18 September 2025. Pada tanggal tersebut, diperkirakan, terjadi lagi aksi, manifestasi, dan blokade di seluruh negeri.

Karena itu, kepolisian menyiapkan lagi 80.000 polisi plus dengan petugas intelijen, sehingga diperkirakan untuk merespon aksi pekan depan itu,  sekitar 100.000 petugas akan siaga. peserta. Pihak kepolisian telah menganalisi  apa yang terjadi tanggal 10 September lalu, sehingga sempat menggusarkan pemerintah dengan gerakan ini.

Besarnya jumlah petugas yang akan diterjunkan nanti, juga karena PM Leornu sampai sekarang menjabat sebagai menteri pertahanan. Leornu juga dikenal sebagai sekutu dekat Macron. Para demonstran tak menerima baik Leornu. Mereka semual berharap, parlemen memilih PM dari kalangan sosialis.

Setidaknya itulah yang diharapkan oleh banyak pengunjuk rasa hari ini. Sèbastian Leornu tidak berhaluan kiri. Diperkirakan PM baru ini akan mencoba mencari aliansi dengan blok sentris, mencakup partai sosialis. Namun banyak pengunjuk rasa tak yakin, sehingga diduga bakal memantik kemarahan baru. Melantik Leornu, diibaratkan sebagai menambah bahan bakar ke api.

Semua orang di sini menantikan aksi demonstrasi pada hari Kamis, tanggal 18 September, yang banyak diduga bakal menjadi aksi pemogokan. Terutama, karena semua serikat pekerja nasional, sudah menyatakan akan bergabung dalam aksi tersebut.

Akan halnya Emmanuel Macron, nampak masih berpikir serius mencari cara dan melantik Leornu karena 'orangnya.' Macron nampak sadar, ia akan menghadapi masa pelik menghadapi reaksi rakyat, termasuk Gen Z di satu sisi, dan menguatkan rasa aman bagi dirinya.

Akan halnya anggota parlemen Le Pen, kompetitornya, terus menyuarakan aspirasi perlunya percepatan pemilihan Presiden baru. Apalagi, saat ini, Parlemen Prancis benar-benar sedang menemui jalan buntu. Di dalam parlemen kini, ada tiga blok besar yang kurang lebih serupa, sehingga tidak satu pun memiliki mayoritas.

Situasi ini terjadi sejak pemilihan parlemen tahun lalu, dan sejak itu sulit sekali menemukan semacam kompromi. Jadi, sangat sulit untuk melihat jalan keluar dari krisis ini, bahkan jika presiden tampak percaya diri. | Flourentique / delanova

Editor : delanova | Sumber : berbagai sumber
 
Budaya
06 Sep 25, 09:52 WIB | Dilihat : 312
Merawat Kesadaran Imani Kota Global Berbudaya
23 Jul 25, 16:21 WIB | Dilihat : 916
AS Mundur dari UNESCO
29 Mei 25, 13:53 WIB | Dilihat : 1018
Titian Budaya Diplomasi Macron dengan Prabowo
14 Mei 25, 10:16 WIB | Dilihat : 813
Babe Eddie
Selanjutnya
Polhukam
13 Sep 25, 00:33 WIB | Dilihat : 91
Rakyat Bergerak Mendesak Macron Mundur
12 Sep 25, 07:43 WIB | Dilihat : 144
Presiden Prabowo Terima Usul dan Setuju Reformasi Polri
04 Sep 25, 12:54 WIB | Dilihat : 276
Tiongkok Unjuk Daya
Selanjutnya