Lembaga Adat Betawi di Tengah Jakarta Kota Global

| dilihat 298

Catatan Bang Sèm

Undang Undang No 2 Tahun 2024 tentang Daerah Khusus Jakarta menandai kick off transformasi besar kota kelahiran Negara Republik Indonesia (NRI) dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sekaligus Ibukota Negara menjadi Pusat Perekonomian Nasional dan Kota Global yang progresif, adil, kompetitif, dan berkelanjutan.

Pemerintah DK Jakarta via BAPPEDA (2024), dalam salah satu dokumennya tentang Jakarta Global City menyebut Jakarta berada di puncak transformasi besar, dengan ambisi sebagai "kota global yang maju, adil, kompetitif, dan berkelanjutan." Kita belum menemukan pemahaman yang tepat, sungguhkah ambisi demikian mencerminkan visi atau justru merupakan jebakan fantasi.

Khasnya dalam konteks ikhtiar menjadikan kota ini sebagai pusat kota yang dinamis dan memainkan peran penting dalam ekonomi, politik, budaya, dan inovasi di skala global. Kendati realitas menunjukkan, bahwa sejak 2015, Jakarta terus mengalami penurunan peringkat dalam Indeks Kota Global (Global Cities Index/GCI), dari peringkat #54 pada 2015 ke peringkat #74 pada 2024. Ada tantangan yang harus dijawab dengan menata ulang Jakarta pada berbagai bidang. Terutama karena tantangan-tantangan cileh mata yang kritis: kemacetan, kesenjangan antarwilayah, dan infrastruktur yang sudah usang.

Saya sependapat dengan apa yang mengemuka dari dokumen Bappeda DKI Jakarta, bahwa inti dari transformasi ini adalah rencana induk dan tata ruang kota Jakarta, yang bertujuan untuk mengubah struktur monosentris menjadi model polisentris dengan berbagai pusat ekonomi.  

Namun demikian, dengan pendekatan imagineering -- yang selaiknya bertolak dari imajinasi kolektif khalayak --dengan menggunakan takaran komprehensif Global Cities Index (CGI) dari Kearney (2008) evaluasi kemampuan Jakarta dalam menarik modal, talenta, dan ide atau inovasi, perlu juga dilihat dengan pendekatan dan perspektif lain.

Kita bisa memanfaatkan GCI menilai kota-kota global berdasarkan lima dimensi utama: Aktivitas Bisnis, Sumber Daya Manusia, Pertukaran Informasi, Pengalaman Budaya, dan Keterlibatan Politik. Penilaian yang diyakini dapat memberikan wawasan mengenai daya saing dan posisi global suatu kota. Kita juga dapat memahami, keyakinan para perancang kota, bahwa GCI dapat menjadi alat ukur penting untuk mengidentifikasi keunggulan yang dipunyai kota Jakarta serta area yang perlu diperbaiki.

Termasuk menerima realitas penurunan peringkat GCI yang sebagian besar disebabkan oleh kesenjangan dalam hal Sumber Daya Manusia, Pertukaran Informasi, dan Pengalaman Budaya. Sesuatu yang antara lain disebabkan oleh kian pesatnya kemajuan kota-kota lain, sekaligus melambatnya pergerakan kemajuan kota Jakarta yang disebabkan oleh pilihan politik nasional melakukan perubahan yang melelahkan.

Melayari Perubahan Zaman

Kita bersepakat dengan pandangan Bappeda DKI Jakarta --- via berbagai dokumen tentang Jakarta Global City -- dengan merespon perubahan geo politik dan geo ekonomi yang bergerak ke kawasan Asia Pasifik. Benar adanya, jakarta masih menunjukkan potensi Jakarta yang dapat ditingkatkan di skala global.

Kita bisa merujuk pada pandangan James Martin (2007), tokoh revolusioner pendiri "the 21st Century Institute and the Institute for Science and Civilization," Universitas Oxford. Khasnya ihwal evolusi yang berubah dari 'tangan alam' ke tangan manusia, yang mengisyaratkan perlunya generasi baru berhati-hati melayari perubahan zaman secara bertanggung jawab sebisa mungkin.

Di tengah zaman yang gamang, tak pasti, ribet, dan mendua -- termasuk ambivalensia sosio budaya -- generasi baru atau 'Generasi Transisi' memikul tanggung jawab besar tetap menempatkan manusia sebagai subyek dalam keseluruhan konteks perubahan. Tanpa kecuali, menghela ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menghadirkan peradaban baru. Terutama dalam melakukan percepatan adaptasi berfikir secara visioner.

Dalam konteks ini, kita perlu menghadapkan hasrat besar menghela Jakarta sebagai Pusat Perekonomian dan Kota Global tak hanya dalam konteks memposisikan kota ini sebagai kota berkelas dunia.

Sejak penghujung Abad XX, pemikiran sejumlah pakat geografi, ekonomi, dan sosiologi yang dipumpun Darel E. Paul (2004), dengan mengambil perhatian pada kota Montreal, Kanada telah menyoal istilah-istilah "kota dunia," "kota global," dan "kota internasional" yang makin populer dalam studi akademisi ekonomi politik global. Bahkan, istilah "kota global" kini menempati posisi analitis utama dalam literatur tentang globalisasi dan organisasi spasial kapitalisme global.

Paul mengemukakan, kota-kota semacam itu juga telah menarik perhatian masyarakat, dengan politisi lokal, pejabat negara, serta elit bisnis dan media di seluruh dunia yang merangkul konsep tersebut. Bahkan, menarik investasi modal permanen global (dengan mendirikan kantor pusat korporasi, fasilitas produksi, dan gedung pencakar langit di pusat kota). Bahkan modal beredar (transportasi, pariwisata, acara budaya) melalui identitas internasional menjadi strategi pembangunan ekonomi yang hampir universal.

Dikemukakan pula, para pemimpin kota dan pembentuk citra mengklaim label "internasional,""kelas dunia," atau "global" sebagai karakteristik mendasar kota-kota yang beragam dan tidak biasa.

Globalisasi - Glokalisasi

Di awal Abad XXI sejumlah kota berkompetisi mencapai jenama sebagai 'kota global.' Sebutlah Mumbai, Shenzhen, Birmingham, Houston, North, Atlanta, Johannesburg, dan Helsinki. Namun, ibu kota keuangan dunia, masih bertahan di New York City dan ibukota kebudayaan masih tersandang oleh Paris.

Di tengah 'kompetisi' yang membuncah-buncah, itu China membangun kota-kota berkemajuan tanpa peduli dengan jenama 'kota global.' Presiden Xi Jin Ping (2017) meniupkan peluit tanda kick off transformasi, melakoni transformasi cepat dan pesat, melakukan penelitian besar dan serempak untuk fokus dan jernih 'global peoples,' memahami hasrat dan kepentingan manusia.

Xi Jin Ping mengemukakan, dari perspektif sejarah, umat manusia telah mencapai zaman kemajuan besar, transformasi besar, dan perubahan mendalam. Di dunia yang semakin multipolar, mengglobal secara ekonomi, digital, dan beragam secara budaya ini, tren menuju perdamaian dan pembangunan menjadi lebih kuat, reformasi serta inovasi mendapatkan momentum.

Philip Kotler (2020), begawan marketing dunia -- memandang perlombaan menyandang jenama 'kota global' dan 'kota dunia,' melancarkan strategi glokalisasi, yang memadupadan manfaat globalisasi dengan kebutuhan adaptasi lokal. Menghubungkan korporasi global dengan budaya lokal, khasnya kedekatan jenama untuk menguatkan penetrasi pasar di berbagai wilayah (sehingga jangan heran ketika resto berjenama global menyajikan menu lokal -- antara lain nasi uduk dan perkedel -- sebagai menu utama sarapan).

Melihat kompetisi menjangkau jenama 'kota global,' kita dapat mengambil isyarat James Martin yang mewanti-wanti ihwal tantangan Abad XXI sebagai lini masa manusia harus menjadi subyek dan generator utama proses transformasi.

Antara lain adalah menghadapi globalisme secara efektif - karena bandwidth meningkat, globalisme harus dirancang untuk memungkinkan budaya lokal berkembang dan dilindungi. Keseimbangan yang tepat antara global dan lokal harus dicapai. Termasuk bagaimana membalikkan kemiskinan, karena kemiskinan ekstrim memacu kehidupan yang brutal. Seirama dengan hal tersebut, upaya menumbuhkan kreativitas berbasis sains dan teknologi ditujukan untuk mendorong kaum muda menjadi entrepreneur Tanpa kecuali, menghadapi dan menjawab tantangan ihwal risiko eksistensial.

Institusi Sosio Budaya

Dari berbagai pemikiran, konsep, dan gagasan tentang 'kota global' hal yang paling memantik kesadaran adalah menempatkannya sebagai pusat peradaban, tak sekadar pusat perekonomian. Terutama untuk menjawab masalah serius: menjembatani kesenjangan antara keterampilan dan kebijaksanaan.  Karena keterampilan bergerak sangat cepat dan kebijaksanaan bergerak lebih lambat.

Dalam kesenjangan tersebut, refleksi mendalam tentang keadaan masa depan dikalahkan oleh keinginan untuk membangun gawai yang lebih cepat, lebih murah, lebih cerdas, lebih efisien yang bermuara pada laba perusahaan. Sedang otak terbaik khalayak dipenuhi berbagai mendesak yang semakin rumit.

Beranjak dari pandangan demikian, perlu pemahaman yang luas terkait apa yang tersurat dan tersirat dari Pasal 31 Undang Undang No. 2 Tahun 2024 tentang Daerah Khusus Jakarta ihwal Kewenangan Khusus di Bidang Kebudayaan , khasnya: (a) prioritas pemajuan kebudayaan Betawi dan kebudayaan lain yang berkembang di Jakarta; dan (b) pelibatan badan usaha, lembaga pendidikan, lembaga adat dan kebudayaan Betawi, serta masyarakat dalam pemajuan kebudayaan.

Pemajuan kebudayaan Betawi mesti dipahami dalam konteks menyeluruh (mayor dan minor), meliputi seluruh adat resam budaya, norma, nilai, bahasa, seni, dan tentu kecerdasan budaya. Khasnya dalam menegaskan seluruh aspek penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan penguatan khalayak (ideologi, sosial, ekonomi, politik) sebagai gerakan kebudayaan.

Maknanya adalah Betawi tak dilihat dan dipahami sekadar sebagai etnis, melainkan sebagai bagian integral dalam sistem budaya Indonesia. Termasuk sebagai sumber watak budaya egaliter dan kosmopolit.

Dengan demikian, keberadaan lembaga adat Betawi mesti dipahami sebagai institusi sosio budaya yang menjadi identitas penting Daerah Khusus Jakarta. Peraturan pemerintah dan atau peraturan daerah yang menjadi turunan UU No.2/2024 mesti menegaskan secara terang benderang kedudukan masyarakat Betawi sebagai masyarakat inti.

Tak usah ragu menyatakan demikian, karena hampir lima abad kaum Betawi sudah membuktikan kapasitasnya sebagai warga global yang demokratis, inklusif, dan mampu berperan sebagai host era narrow nasionalisme dan siap menjadi generator utama di era nasionalisme global. |

Editor : delanova | Sumber : berbagai sumber
 
Ekonomi & Bisnis
05 Apr 25, 17:48 WIB | Dilihat : 648
China Serang Balik Kebijakan Tarif Trump
05 Apr 25, 09:03 WIB | Dilihat : 698
Pemodal Asing Dunia Bakal Melawan Keputusan Tarif Trump
04 Apr 25, 09:54 WIB | Dilihat : 662
Tarif Trump Menekan Ekonomi ASEAN
27 Okt 24, 17:53 WIB | Dilihat : 1709
Pencapaian Industri Halal Malaysia
Selanjutnya
Polhukam