Menyambangi Kota Bogor dari Jalur Commuter Line

| dilihat 908

Tok Ngah

KERETA rel listrik - commuter line - jakarta Bogor, itu berhenti di stasiun Bogor. Perjalanan yang menyenangkan sejak dari Stasiun Kota yang artistik. Sepanjang jalan, saya berbincang dengan seorang penumpang lain. Dia pegawai di museum salah satu bank di kawasan Kota Tua, Jakarta.

Boleh jadi karena akhir pekan. Ketika hendak turun dari gerbong, ratusan bakal penumpang yang akan menuju Jakarta, berkerumun di depan rangkaian kereta itu.

Saya keluar lewat pintu stasiun yang langsung ke arah alun-alun. Sesaat saya sempatkan untuk mampir sekejap di kedai, membeli minuman, menghilangkan haus yang terasa seketika. Lantas berjalan ke area Alun-alun Kota Bogor tempat sarana olah raga yang juga tempat bermain anak-anak.

Memandang stasiun Bogor (sejak dibangun tahun 1881 sampai tahun 1945 masih disebut sebagai Buitenzorg spoorwegstation), kendati jalur kereta Batavia - Buitenzorg dibuka oleh NISM (Nederlandsch Indische Spoor Maatschappij) - perusahaan kereta api swasta Hindia Belanda, pada 1873. Jalur kereta ini dibuka karena nilai keekonomiannya sangat potensial untuk mendulang keuntungan. Menghubungkan sentra-sentra perekonomian dengan sentra produksi perkebunan.

J.P. de Bordes yang memimpin perusahaan kereta api itu mengambil peluang atas konsesi besar yang diterima perusahaannya yang menjadi penguat perdagangan internasional produk pertanian (teh, kopi, kina, juga beras). Selebihnya adalah untuk menguatkan relasi dengan penguasa, lantaran Gubernur Jenderal dan sentra administrasi kekuasaan berada di Bogor (Buitenzorg).

Orang-orang Belanda yang tinggal di kota ini, menyambut sukacita pembukaan jalur kereta Batavia - Buitenzorg itu. Pembukaan jalur kereta ini memudahkan aktivitas kerja mereka dengan relasi di Batavia.

Di Bogor yang nyaman ketika itu, mereka menikmati lingkungan hidup yang sehat dan sempurna, kendati membuat mereka bertambah gemuk. Namun sangat efisien dan hemat dalam mengatur keuangan keluarga.  

Stasiun itu menjadi tujuan atau tempat berangkat yang menyenangkan.  Huet, jurnalis Java Bode, masa itu menggambarkannya dengan narasi seseorang yang amat terpesona. Ia menyebut, di stasiun terdapat hiburan meriah meski sederhana. "Pada pagi di hari tertentu (khasnya tanggal delapan belas Februari), stasiun di Buitenzorg sangat penuh dan sibuk. Juga luar biasa bermartabat, terbukti dengan sesekali terlihat para petugas kereta api mengenakan topi terbaru dan jas terindah mereka."

Orientasi Warga : Dakabalarea

Seketika saya tinggalkan kisah masa lampau itu. Mata saya menyapu suasana Alun-alun yang mempesona, mengubah banyak hal, termasuk keruwetan ketika di masa lalu masih ada Taman Topi dan kedai-kedai kumuh.

Di sisi ini, Bogor menampakkan wajah indah pada pandangan pertama. Kendati ketika berjalan beberapa langkah ke arah masjid, masih tertinggal 'wajah kumuh' sub urban, seperti di sisi lain stasiun ini.

Banyak perubahan dilakukan Pemerintah Kota Bogor di bawah kepemimpinan Bima Arya dan Dedie A. Rachim. Sepasang intelektual  sekaligus praktisi yang saling menguatkan satu dengan lainnya. Pasangan ini boleh jadi patut dikatakan sebagai pasangan yang menguasai tata kelola pemerintahan, pembangunan, dan pemajuan masyarakat.

Dedie -- alumni Institut Teknologi Bandung (Product Industrial Design) dan Universitas Indonesia (Kebijakan Publik) -- yang sebelumnya berkarir di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)  2005 - 2019) konsisten dan konsekuen dengan komitmennya. Khasnya dalam mewujudkan good government dan reinventing government.

Pasangan Bima dan Dedie, salam catatan saya, mampu melakukan menyikapi fenomena sosial yang dihadapinya di awal memimpin, seperti pertumbuhan populasi penduduk di Kota Bogor dari tahun ke tahun dalam skala 1,7 -  2,3 persen per tahun, terbatasnya luasan wilayah kota, kesenjangan sosial, kemacetan, kemiskinan, masalah kesehatan yang meruyak. Apalagi, kota yang dipimpinnya, jauh dari yang pernah dibayangkan di masa lalu. Khasnya, sumber daya alam yang terbatas.

Pasangan ini, mampu merasuk ke dalam paradigma tata kelola kota yang memusatkan perhatian pada penguatan kapasitas dan kompetensi modal insan di lingkungan pemerintahannya. Tentu dengan aksi kongkret menyelesaikan masalah dan tidak terpaku pada intuitive reason dalam menghadapi masalah kota. Termasuk dalam hal merespon nyata keperluan menjadikan kota Bogor dengan sentuhan budaya metropolis. Mempertemukan kecerdasan budaya lokal dengan realitas tuntutan zaman. Khasnya modernitas kota yang terhubung dengan kota lain di era global.

Paradigma pelayanan pemerintahan dan aksi pembangunan yang ditandai oleh orientasi baru citizen centric dan stakeholders centric yang mendinamisasi dan menghidupkan interaksi pemerintah (republik) dan warga (publik) dan sebaliknya, untuk membangun kota yang menjamin dakabalarea (dahareun loba, kabeuli ku rakyat, barudak bisa sakola, tur rakyat jagjag waringkas, layanan umum meningkat, reformasi dilaksanakeun, anu ariman nambahan anu miskin ngurangan).

Maknanya adalah kemampuan pemerintah kota menciptakan kondisi ketahanan pangan dan stabilisasi harga, perluasan kesempatan kerja berusaha (termasuk penguatan akses rakyat terhadap modal, pasar dan informasi), penguatan akses rakyat terhadap ekstensi pendidikan (dasar, menengah, tinggi - umum dan agama) dan kesehatan.

Pun,  peningkatan layanan berorientasi warga, reformasi birokrasi (berbasis kompetensi, meritokrasi dan bersih - jauh dari watak ceceremeud - merekedeweung - polang paling), sehingga mampu menciptakan kondisi masyarakat sejahtera (meningkatnya keimanan dan menurunnya kemiskinan).

Keberlanjutan dan Transformasi

Gambaran masa lalu Bogor sebagaimana diungkap di awal tulisan ini, adalah  kesan atau pandangan mata penguasa yang melihat kekuatan fungsi kota dalam konteks kepentingan kapitalistik penjajah. Melihat pesona keindahan dan kebahagiaan dari sudut pandang kepentingan sepihak. Akan halnya kemajuan yang mesti diwujudkan kini dan esok adalah mewujudkan kebahagiaan bagi seluruh warga dalam dimensi keadilan. Sesuatu yang tidak mudah.

Pemerintah Kota Bogor ke depan, dihadapkan oleh tantangan global. Mulai dari tantangan ekologi dan ekonomi dalam satu tarikan nafas untuk membangun ekosistem kehidupan sosial yang bahagia dan bebas dari petaka; menciptakan edupolitan yang tercermin dalam kualitas warga sebagai masyarakat pembelajar berbasis kesetaraan dan keadilan; pemajuan ekonomi berbasis kewirausahaan;  stabilisasi politik yang mampu mewujudkan aksi demokrasi sebagai cara mencapai harmoni kebangsaan melalui kesadaran melakukan pendidikan politik rakyat; dan penguatan kecerdasan budaya sebagai basis nilai dan norma berperilaku dalam kehidupan sosial sehari-hari.

Dalam konteks itu nilai-nilai dan norma yang andal dalam kehidupan sosial masa lampu bertemu dengan nilai dan norma baru (kini dan masa depan), seperti habitus sosial kreatif dan inovatif berbasis sains dan teknologi, gaya hidup lestari - berkelanjutan, daya warga membalik (bukan mengentaskan) kemiskinan, daya hambat dan kemampuan 'menaklukan' wabah penyakit (endemi dan pandemi) melalui sistem kesehatan masyarakat (daya hidup sehat), keseimbangan kecerdasan dan kearifan, serta kesadaran untuk merancang peradaban baru.

Terutama karena kini manusia dihadapkan oleh singularitas (ditandai oleh tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap gadget) dalam mewujudkan budaya Society 5.0 berbasis internet on think dan artificial intelligent. Sekaligus melayari transhumanitas untuk tetap menegaskan eksistensi manusia sebagai subyek dan tak tersaruk ke lembah artificial humanity.

Dalam konteks posisi Kota Bogor selaras perubahan status Jakarta sebagai daerah khusus - kota global yang bertumpu sebagai pusat pemajuan ekonomi dan bisnis, Kota Bogor mesti memainkan peran utama bukan lagi sebagai hinterland atau bufferzone. Melainkan sebagai mitra setara dan terdepan. Khasnya dalam mewujudkan kawasan aglomerasi ekonomi dan budaya. Setidaknya menjadi edupolitan yang khas dan mampu menyediakan modal insan (human capital) dan technopolitan dengan pengembangan industri budaya (sebagai bagian penting dari pemajuan budaya dan pariwisata).

Ke depan, saya membayangkan Bogor sebagai kota otonom dengan simpul-simpul smartcity di tingkat kelurahan yang terkoneksi secara nasional, regional, dan global.

Dari apa yang sudah berlangsung selama sepuluh tahun terakhir, pencapaian kota ini ke depan, tak hanya mesti memenuhi capaian indikator human development index. Jauh dari itu juga mesti memenuhi capaian terbaik cultural  development index dan happiness index.

Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan komitmen warga untuk memegang prinsip dasar keberlanjutan dan perubahan transformatif. Hal ini diperlukan agar Kota Bogor terhindar dari proses pembangunan yang terputus. Kuncinya pada kepemimpinan.

Bila Bima Arya akan membawa pengalaman kepemimpinannya bergerak ke Provinsi, mestinya Dedie mengambil peluang untuk melanjutkan dan menyempurnakan seluruh pencapaian selama ini. Dengan demikian, masa lampau dan masa depan bertemu di kota Bogor. |

Editor : delanova
 
Sainstek
25 Okt 24, 10:37 WIB | Dilihat : 171
Maung Garuda Limousine yang Membanggakan
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 1763
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 2038
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 2267
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
Selanjutnya
Energi & Tambang