Beranda Jakarta dan Rekacita Masjid Terapung Ancol

| dilihat 2312

Catatan Bang Sem

Bila ada yang bertanya, di manakah beranda ibukota, Jakarta? Saya akan jawab cepat dan singkat, Ancol. Tak hanya karena Ancol terletak di antara Sunda Kelapa dan Sampur - Cilincing di masa lalu, pun bukan karena Ancol berada di antara Mauk dan Marunda yang menjadi basis pertahanan Kalapa.

Konsep tata ruang tradisional, sejak Abad ke 5, ketika kerajaan Taruma sampai abad ke 12 ketika Prabu Surawisesa melasak Çaçakala Padjadjaran, beranda depan Kalapa (yang kemudian menjadi Jayakarta lantas diubah JP Coen menjadi Batavia - yang bermakna Mutiara Timur - selaras dengan pandangan Averoes tentang Jaziratul Mulq - Negeri di Timur Matahari), Ancol adalah wilayah pantai paling aman dan nyaman di pantai utara Jawa.

Karenanya, Stadhuis Batavia dibangun, pun bangunan yang kini bernama Istana Negara, bahkan rumah rehat di Buitenzorg (kini Istana Bogor) semua menghadap ke pantai utara. Tak terkecuali, Tugu Selamat Datang menghadap ke pantai utara Jakarta.

Ancol berada di ujung aliran Sungai Ciliwung, sungai tengah yang terletak antara Cisadane dan Citarum. Penduduk asli Kalapa  berinteraksi dan kemudian berasimilasi dengan beragam bangsa dan suku bangsa -- yang diyakini sebagian kalangan sebagai bangsa Betawi. Sultan Melayu di Pulau Penyengat sudah menggunakan istilah Betawi ketika menulis surat kepada Gubernur Jendral Hindia Belanda di Batavia.

Karena posisinya yang sangat strategis secara geografis, penduduk asli Kalapa berinteraksi dengan beragam kalangan, menjadi masyarakat kosmopolit dengan karakter masyarakat pantai. Interaksinya sangat kuat dan merupakan salah satu wilayah yang diyakini sebagai pusat peradaban Timur di masa berabad-abad sebelumnya.

Jauh sebelum terjadi big bang ke enam di penghujung era es -- disertai dengan letusan Krakatoa dan Gunung Toba, menyusul meletusnya Gunung Tambora -- yang kemudian memisahkan Semenanjung Malaysia dan Indochina, Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Kawasan ini, oleh Stephen Oppenheimer (Eden in The East) dan Arisio des Santos (Atlantis), disebut sebagai paparan Sunda, sentrum Atlantis.

Abu Mashar al Bakhi, cendekiawan Persia menyebutnya Kangdez. Dalam Madrasat al Bakhi yang banyak dirujuk dalam kajian tentang bangsa Melayu, Al Bakhi menyebut ciri-ciri Kangdez yang merupakan sentrum peradaban, itu terletak di wilayah alur matahari - Khatulistiwa, berada di luar China, sebelah timur India, negeri tropis dua musim dengan hutan basah -- dalam bahasa kini: hutan hujan tropis. Kangdez merupakan negeri dengan deposit emas, perak, batubara, nikel, pasir besi, nikel, uranium, dan logam mulia, dengan perairan yang luas, dan gunung-gunungnya menyimpan mata air yang kekal.

Kitab Waroegajagad yang juga menukilkan tentang Gunung Padang, seirama dengan deskripsi Al Bakhi, yang menyebut kawasan ini terbentuk selepas era Noah (Nabi Nuh).

Pasca periode Mardova (Madinatul Munawarah - Cordova) dan Kesultanan Otsmani Turki rontok karena sekularisasi yang dibawa Kemal Pasha, ketika berlangsung berbagai ekspedisi bangsa-bangsa Eropa, untuk mencari kawasan baru tempat rempah, kawasan ini menjadi perburuan. Dalam dialog antara jurnalis senior Malaysia - Indonesia di Putrajaya (Senin,19/1/19) hal itu mengemuka.

Saya baca puisi spontan malam itu, menyegarkan kembali ingatan itu semua, khasnya tentang bangsa Melayu sebagai bangsa yang hilang --  yang  diramalkan Syeikh Muhammad Nazim al Haqani akan bangkit sebagai the great nation - al umatul àdziimah. Dan karenanya, akan terus dihalangi oleh bangsa-bangsa lain, khasnya bangsa-bangsa Aria dan Tiongkok, karena lebih dekat dengan smithsonian.

Catatan sejarah selepas abad ke 16, pasca surutnya pengaruh Melaka dan Sunda Kalapa, tergantikan oleh Temasik (Singapura), menyusul nasib malang ekspedisi Magellen, yang menurut catatan Pigafetta, pulang ke negerinya dengan membawa malu sebagai pecundang, menunjukkan dinamika yang lain.

Belanda dan Portugis berada di bawah protektorat Perancis, yang berkompetisi dengan British menguasai Asia Tenggara, termasuk Jaziratul Mulq (dari Malaka sampai Maluku). Kemudian bangsa China (Tiongkok) dan Jepun (Dai Nippon) ikut ambil bagian menunjukkan giginya di penghujung Perang Dunia II.

Kalapa yang menjadi pusat perebutan kekuasaan berbagai bangsa dengan peradabannya masing-masing, pastinya menyimpan sesuatu, terutama karena sebagai bandar ternama dan merupakan salah satu titik jalur rempah dari Nusantara (Ternate-Tidore) ke Malaka dan kemudian Eropa.

Tiongkok mengawali dengan jalur sutra timur melalui ekspedisi Cheng Ho (juga Sam Po Kong), yang meninggalkan beberapa pasukannya (antara lain yang muslim) dengan meninggalkan artefak kuil Yuan Jin - abad ke 17). Di Ujung Karawang mendarat Syeikh Quro.

Paruh pertama abad 18, karena kian kosmopolitnya kawasan ini, menjadi tumpuan domisili berbagai bangsa, termasuk bangsa China, Smith, Eropa, juga penduduk dari berbagai daerah di Nusantara, yang memperkaya perkembangan masyarakat Betawi, dibangun Langgar Tua di kawasan Pasat Ikan. Selepas itu, datang Sayid Husein bin Abubakar bin Abdullah Alaydrus dari Palembang, lalu bermukim di Luar Batang, dan mengembangkan dakwah islamiyah. Sebelumnya, juga datang Raja Ali Haji - yang terkenal dengan Gurindam Dua Belas -- menjadi utusan Raja Melayu ke Betawi - sempat bermukim dan menikah di Krukut dan mentransfer pengetahuannya kepada masyarakat Betawi.

Ancol dan kawasan sekitarnya lantas sungguh menjadi beranda Jakarta.

Setiap kali berada di Melaka, Johor Bahru, Penang, Pulau Penyengat, saya selalu membayangkan Ancol. Bila Menteri Pariwisata Arif Yahya, menetapkan Batam sebagai titik berangkat 'Jalur Sutra Timur Laksamana Cheng Ho' di Batam, saya justru melihat Ancol sebagai titik suar kebangkitan Melayu seperti yang diisyaratkan Syeikh Muhammad Nazim al Haqani.

Bila kelak hendak dibentang platinum line Jalur Rempah dan jalur Islam dari Timur (Ternate Tidore) - Banda - Makassar - Madura - dan Cirebon (terkoneksi dengan Sulu dan Brunei Darussalam), dan dari Barat via Samudera Pasai (termasuk Pulau Rabiah - sebagai embarkasi haji Nusantara) - Langkawi - Lhokseumawe - Penang - Malaka - Rupat - Batam - Bangka dan Belitung, maka Ancol akan menjadi titik temu dua jalur sutera itu (terkoneksi dengan Madagaskar, Maldives, Socottra, Al Mukalla, dan kemudian Jeddah).

Bukan mustahil, Ancol bisa dimasukkan ke dalam jalur wisata religius (islami) berbasis jalur sutra Timur - Barat, membangunkan kesadaran kembali tentang bangsa bahari yang pernah berjaya di masa lalu. Lantas apa yang bisa menjadi ikonik?

Ketika berbincang dengan Geisz Chalifah beberapa waktu berselang, saat dia menyebut Masjid terapung, saya spontan menjentikkan jemari. Ya, Masjid Terapung Ancol akan sangat mungkin mewujud. Masjid Terapung itu, kelak bisa memilih berbagai model arsitekural yang menggambarkan eksistensinya sebagai titik temu jalur sutra Timur - Barat.

Masjid Terapung Ancol bisa menggunakan paduan peradaban timur atau model arsitektur masjid alaf baru yang menggambarkan performa peradaban baru, dan diposisikan sebagai wahana wisata baru yang dapat menarik pengunjung datang ke Ancol. Prinsip-prinsip 'glory to serve' juga bisa dihadirkan, dengan menghadirkan suasana: kepedulian, antusiasme, simpati, empati, apresiasi, respek dan 'love' sebagaimana esensi ajaran islam.

Dalam keseluruhan konteks pengembangan Ancol sebagai sentra wisata terbesar dan terdepan di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara, mestinya keberadaan Masjid Terapung juga dapat diposisikan sebagai penanda "kilometer O" Nusantara.

Keberadaan Masjid Terapung itu dalam konteks tata kelola Ancol sebagai pusat wisata, bisa dikaitkan pula dengan spirit tijarah lan tabur, perniagaan yang memberikan profit sekaligus benefit, dikelola dengan manajemen yang tepat, sekaligus mencerminkan transformasi nilai yang sesungguhnya.

Dari sudut pandang rekacita, pembangunan Masjid Terapung Ancol itu bisa dirumuskan dengan mematangkan focal concern, bahwa sebagai destinasi tujuan wisata, keberadaannya menjadi sumber inspirasi untuk mewadahi kebahagiaan hidup dunia ukhrawi, sumber inspirasi untuk melihat sisi religiopreneur sebagai energi baru mendorong aksi korporasi, dan menjadikan Ancol sebagai destinasi (sekaligus sentra) wisata yang paling sehat, aman, dan nyaman untuk keluarga.

Di sisi lain, keberadaan masjid itu akan menjadi legacy penting bagi umat Islam, pengunjung terbesar Ancol yang mengalirkan nilai achievement, natural, creativity, optimism, dan legacy itu sendiri. jajaran Komisaris dan Direksi Ancol, saya yakini, bisa mewujudkannya.

Banyak lokasi strategis yang bisa dipilih, tetapi akan sangat menonjol bila berada di sekitaran lepas Pantai Festival. |

Editor : Web Administrator | Sumber : foto-foto berbagai sumber
 
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 432
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1505
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1322
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya
Energi & Tambang