Anjing

| dilihat 956

bang sém

Allahyarhamah ibu saya cerita, ketika masih bocah, saya suka dan karib dengan anjing. Benda pertama yang bisa saya gambar dalam bentuk sketsa adalah anjing. Si Kumbang, namanya. Anjing pintar dan setia. Ketika raib dicuri orang, saya berduka.

Untung banyak tetangga memelihara anjing. Tak jauh dari rumah, ada greyhound race, tempat pacu anjing di Jalan Tanjung Karang -- yang entah mengapa berubah jadi lapangan lawn tennis. Kini menjadi stasiun MRT Dukuh Atas, yang berdekatan dengan stasiun Kereta Bandara - BNI City, persis di seberang kediaman mendiang Jendral Maraden Panggabean --

Beragam jenis anjing ada di sekitar rumah. Pada hari Sabtu dan Ahad, bila tak sedang main sepatu roda di Taman Surapati, bersama allahyarham Arfan -- putera sutradara Abdillah Harris (pencipta lagu Kudaku Lari) dengan Junaedah (isteri pertama P. Ramlee) -- saya bermain-main dengan anjing dengan sepeda di jalan Talang Betutu. Mulai dari depan kediaman allahyarham Jusuf Ronodipuro, allahyarham Awaluddin Jamin -- salah seorang Kapolri -- sampai depan rumah keluarga Iskak (kediaman para aktor dan aktris: Boy Iskak, Alice Iskak, Indriati Iskak, dan Mieke Wijaya).

Anjing adalah salah satu hewan dalam amsal kisah sufi yang menarik perhatian saya. Banyak watak anjing yang juga menarik diperhatikan.

Anjing jenis tertentu mempunyai kepekaan naluri dan rasa, termasuk penciuman yang tajam, termasuk kesetiaan. Meski ada jenis anjing tertentu yang dilatih sebagai anjing penjaga, yang senang sekali menyalak.

Lolong anjing di malam hari mempunyai fungsi semacam sirene yang memberi indikasi ada maling yang masuk ke halaman rumah.

Kisah anjing berwatak baik dan setia kita dapatkan di Jepang. Hachikõ, namanya. Anjing legendaris yang patungnya dibangun dan diresmikan secara istimewa di dekat stasiun Shibuya, Tokyo, Jepang.

Setiap kali ke Tokyo, saya sempatkan mengunjungi patung anjing ini, seperti kebanyakan pelancong dari berbagai penjuru dunia melakukannya.

Kisah Hachikõ memang khas.  Ceritanya dikemas secara multi media, multi channel dan multi platform. Kisahnya bermula dari Eizaburo Ueno, guru besar ilmu pertanian di Universitas Tokyo, Jepang, yang sudah lama menginginkan anjing ras Akita Jepang. Seorang muridnya menyarankan Ueno mengadopsi Hachikõ, dari kota Odate di prefektur Akita, Jepang.

Ueno menerima usul itu dan akhirnya memiliki Hachikõ yang disapanya dengan panggilan Hachi. Hubungan manusia dengan hewan khas ini, pun menjadi karib. Ueno mencintai anjing kesayangannya, itu di atas segalanya dan memperlakukannya seolah-olah sebagai putranya. Keduanya tak bisa dipisahkan.

Hachiko terawat baik, tumbuh dan 'dewasa,' dan mulai  mengantar Ueno berangkat kerja pagi hari sampai ke Stasiun Kereta Shibuya. Sore hari, Hachikõ sudah berada di satu titik depan stasiun. Di titik itulah, selalu Hachico 'melepas' dan 'menjemput' tuannya.

21 Mei 1925, Hachikõ, seperti biasanya, duduk di titik ia harus menunggu tuannya tiba. Tapi, hari itu Elizaburo Ueno, sang tuan, tak kunjung muncul. Belakangan baru diketahui, guru besar itu wafat karena mengalami pendarahan otak mendadak saat bekerja.

Bekas tukang kebun Ueno akhirnya merawat Hachikõ. Namun, setiap pagi dan sore, Hachikõ selalu pergi ke stasiun Shibuya, seperti sebelumnya dia 'mengantar' dan 'menjemput' Ueno pada jam kereta akan berlepas atau akan datang. Sepuluh tahun Hachikõ melakukannya.  Ia duduk berlama-lama di tempat biasa menunggu sang tuan, meski akhirnya kembali pulang dengan langkah tak bergairah.

Kelakuan Hachikõ, menarik perhatian seorang jurnalis, yang kemudian menuliskannya di surat kabar tempatnya bekerja pada tahun 1932. Hachikõ, pun terkenal di seantero Jepang. Orang-orang yang mendapatinya di depan stasiun pun memanggilnya dengan sebutan Chuken - Hachikõ, alias " Hachikõ, anjing yang setia." Anjing ini menyentuh perasaan orang Jepang, bahkan mengimbangi pandang dunia terhadap orang Jepang, yang kala itu dikenal fasis.

Dua tahun kemudian, pemerintah kota Tokyo membuatkan patung dan membangun monumen di tempat Hachikõ biasa duduk. Saat peresmian patung dirinya, Hachikõ, juga dihadirkan dan menjadi tamu khas.

Penulis kebajikan, Jessica Dolce (2012), menulis, pembentukan karakter anjing bukanlah ihwal bagaimana dia dibesarkan, tetapi bagaimana dikelola. Kecenderungan hanya berfikir, 'bagaimana membesarkan,' justru akan merusak watak anjing.

Perlakuan Ueno kepada Hachikõ lebih berkaitan dengan bagaimana dia dikelola dengan nurani dan rasa, karena watak anjing akan terbentuk dari bagaimana cara kita memperlakukan dirinya.

Salah mengelola, anjing menjadi binal dan kemudian menjadi musuh atau ancaman bagi tuannya. Tak sedikit anjing yang ditolong kala kejepit, malah menyalak dan menerjang penolongnya.

Dolce mengingatkan, ada beberapa konsekuensi kehidupan nyata untuk anjing, terkait dengan 'cara mengelola.' Artinya, manusia yang memelihara anjing, mesti melakukan introspeksi tentang sikap dan watak juga. Termasuk melontarkan kata-kata yang 'menyakitkan' atau meminjam kata 'anjing' untuk memaki.

Ada kebiasaan, orang lebih suka mengadopsi anak anjing, sepeti yang dilakukan Ueno. Karena mengadopsi anjing 'senior' yang sebelumnya dikelola orang lain, sangat tidak mudah. Karena kewalahan, akhirnya mereka menyerahkan anjing-anjing ke pusat poenampungan. Dulu, di Jakarta, ada tempat penitipan anjing, tak jauh dari kampus Fakultas Biologi Universitas Nasional di Ragunan.

Tapi, tempat penampungan pun biasanya enggan menampung anjing yang mengalami perlakuan kasar: dipukul, dibaling, dan segala bentuk kekejaman lainnya. Bagaimanapun, anjing sebagai hewan tak seluruh wataknya bisa kita kenali, meski kita merasa sudah mengelolanya secara benar.

Dalam hal hubungan Hachikõ, perlakuan Ueno memadukan naluri dan rasa berlangsung secara harmonis dan sejak kecil. Sebagai guru besar, Ueno punya metode yang khas dalam memperlakukan hewan peliharaannya.

Meski tak berhubungan dengan kisah Hachikõ, dalam kisah tentang Madame Bouvery, ada kalimat Bouvery yang saya suka sejak belia, "semakin banyak kukenal manusia, kian ku jatuh cinta kepada anjing."

Belakangan saya mafhum makna pernyataan Bouvery, setelah allahyarham ayah sering membuka ruang diskusi tentang manusia sebagai ahsanit taqwim, sesempurna makhluk,  namun abai mengelola secara harmoni seluruh instrumen istimewa yang diberikan Tuhan kepadanya. Mulai dari nalar, naluri, nurani, rasa, intuisi, dria, dan sensitivitas nalar - naluri - rasa untuk memahami moralitas.

Akibatnya, kualifikasi manusia tak menjangkau kapasitas sebagai insan kamil, malah terjatuh menjadi hayawan an nathiq, hewan yang berakal, yang lebih rendah dari anjing.

Manusia-manusia semacam ini yang seringkali di-adopsi, dirawat, dibesarkan dan dipelihara hanya untuk menjadi penyalak, penerjang, penggigit, penebar najis, bahkan bakteri penyakit. Padahal, manusia itu sesempurna makhluk yang mulia, yang nilai wataknya, pun kudu mulia.. |

Editor : delanova | Sumber : foto berbagai sumber
 
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 633
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 781
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 750
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 431
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1502
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1320
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya