PERANG MAKASSAR ABAD KE XVII MEMPERTAHANKAN SUMBERDAYA ALAM DI SULAWESI |
KEKAYAAN potensi sumberdaya alam di Timur Matahari, pada abad XVI dan XVII memang memancing terjadinya pertikaian di laut Sulawesi. Bermula dari persaingan Portugis dan Spanyol dalam menguasai konsep “pembagian dunia menjadi dua belahan,” dan Belanda yang memperjuangkan konsep “laut bebas”.
Ketiganya berkompetisi untuk memperoleh monopoli perniagaan di belahan timur dunia.
Laut diperebutkan karena merupakan jalur strategis perniagaan. Ketiga bangsa tersebut, sebelum bangsa-bangsa lain, berusaha menguasai berbagai kawasan maritim. Khususnya kawasan kepulauan yang mempunyai kekayaan sumberdaya alam berlimpah.
Dengan menguasai laut, mereka berkehendak menguasai dan mengontrol jalur strategis maritim. Suatu mekanisme kekuasaan berdimensi politis untuk mengamankan jalur pengiriman hasil budidaya sumberdaya alam di kepulauan Indonesia ke tanah air mereka masing - masing. Termasuk pengiriman hasil budidaya sumberdaya alam Indonesia ke negara-negara lain, yang menjadi pasar perdagangan mereka. Baik di Eropa, Afrika, maupun Timur Tengah.
Di sisi lain, penguasaan atas sumberdaya alam Indonesia, meliputi tanah dan air atau daratan dan lautan, merupakan bagian tak terpisahkan dari keseluruhan konsep 3 G (gospel, gold, dan glory). Menguasai sumberdaya alam (gold) dengan menguasai manusianya, melalui penyebaran konsep peradaban (gospel), meliputi: agama, filosofi, sistem budaya, dan modernitas yang mereka yakini. Dengan menguasai sumberdaya alam, mereka yakin akan mencapai kemuliaan sebagai bangsa.
Konsep 3G dengan penerjemahan dan manifestasi yang berkembang dan meluas, itu mereka memosisikan eksistensi bangsanya dalam percaturan kompetisi kualitatif. Posisi eksistensi bangsa, yang pada akhirnya mereka jadikan pijakan asasi untuk menjadikan bangsa-bangsa berpotensi sumberdaya alam, sebagai daerah jajahan. Dengan cara ini, mereka akan memperoleh keberdayaan ekonomi, dan akhirnya politik.
Pada abad ke 16, persisnya sejak 1521, saat bangsa portugis mengarungi samodera hingga ke kepulauan Maluku, melalui Sulawesi Selatan, kemudian kapal-kapal mereka menguasai laut Sulawesi. Pertengahan abad ke 16, Enrique de Sa, Gubernur Portugis di Ternate mengirim sebuah kapal ke Sulawesi Utara dan dari perjalanan itu, pendeta Pater Diego Magelhaens, mengaku telah membaptis 1.500 orang. Molsbergen (1829) mencatat pengakuan Magelhaens (Magellen).
Dari catatan de Barros (1829), tercatat Garcia Henriques dan Antonio de Brito, mengirimkan kapal-kapal ke Pulau Sulawesi untuk mencari emas (gold). Sementara tahun 1560 Peter Pero Macarenhas mengunjungi kepulauan Sangir dan singgah di Manado, untuk menyebarkan agama Kristen (gospel).
Peta perjalanan ini, kemudian yang dicatat, sebagai jalur penguasaan berbagai wilayah di Kalimantan dan negeri-negeri yang terdapat di sepanjang jalur Ternate – Malaka. Dimulai oleh Garcia Henriques pada bulan Mei 1522, kemudian dilanjutkan Antonio de Abreu. Keduanya gagal, dan kembali ke Ternate, sebelum mencapai Laut Cina Selatan.
GUNUNG PANI YANG MENGANDUNG POTENSI EMAS DIBURU ORANG-ORANG ASING SAMPAI KINI. MEREKA BERUSAHA MENGUASAI DENGAN CARANYA.
Kalimantan Utara yang dikuasai Kerajaan Sulu, dan Kalimantan Barat yang dikuasai Sriwijaya (kemudian Majapahit), tidak sepenuhnya berhasil dikuasai Portugis. Bahkan, ketika Dom Jorge de Mezenes (1526) berhasil melakukan pelayaran Malaka – Ternate, untuk menggantikan kedudukan Dom Garcia Henriques di Maluku.
Lapian menulis, perjalanan ini melintasi perairan Kalimantan Utara. Setelah mencapai Pulau Gaya di sebelah utara Kalimantan, dia berlayar ke Cagayan – Sulu, lalu ke Mindanau dan Basilan, akhirnya menyusuri pantai Halmahera Barat. Tak ditemukan catatan akurat tentang bagaimana akhirnya Portugis menguasai Laut Sulawesi, kemudian merambah setiap potensi sumberdaya alam di pulau Sulawesi, dari Selatan, Tengara, dan Utara.
Tidak seluruh upaya bangsa-bangsa penjelajah (yang akhirnya menjadi bangsa penjajah ini), dapat dengan mudah menguasai bangsa-bangsa bersumberdaya alam kaya seperti Indonesia. Secara sporadis mereka mendapatkan perlakuan dari masyarakat lokal. Karena di dalam tradisi masyarakat lokal, juga berkembang pemahaman tersendiri, tentang penguasaan tanah dan air, atau darat dan laut (sebagaimana halnya hutan, sungai, dan danau) merupakan kalakeran, kekayaan milik bersama.
Kekayaan alam sebagai warisan nenek moyang, tak boleh dikuasai orang asing. Sebagaimana tercermin, misalnya, dari pandangan masyarakat Tombulu di Tonsea. Juga pandangan masyarakat di Maluku, Sulawesi, Nusa Tenggara, Bali, Papua, dan berbagai gugus kepulauan Nusantara lainnya. Max Bartels (1910) mendeskripsikan, bagaimana masyarakat Ambon dan Saparua mengekspresikan tradisi penguasaan atas wilayah darat dan laut, yang terkait langsung dengan sanksi hukum adat bagi siapa saja yang melanggarnya.
Hukum adat yang berlaku di Minahasa, Gorontalo, dan Ternate sampai awal abad ke 20, menggambarkan bagaimana rakyat memahami dan memanifestasikan penguasaannya atas tanah dan air, karena pada dasarnya alam merupakan sumber kehidupan dan penghidupan yang sepenuhnya diyakini, sebagai pemberian Tuhan kepada manusia di tempat mana tanah dan air itu berada. Sengketa yang terjadi di sekitar Danau Tondano, pada masa itu, menunjukkan bagaimana petani lokal melakukan claim atas sedimentasi pantai danau, akibat erosi sungai di sekitarnya.
MANADO PINTU MASUK PARA PENJAJAH MEMBURU PERTAMBANGAN EMAS SAMPAI KE BOLAANG MONGONDOW
Dalam konteks demikian, van Dinter (1899), mendeksripsikan, bagaimana di lingkungan masyarakat tradisional di pulau Siau dan Sangir, penguasaan atas tanah dan air melekat di dalam posisi politis, sosial, dan ekonomis para datu (raja). Dengan posisinya itu, AB Lapian (1984) menjelaskan, para datu (raja) di Sangir mempunyai otoritas mengerahkan penduduknya untuk berlayar dan ‘menguasai’ pulau Talaud, Sarangani, dan pantai-pantai Mindanao, termasuk ke Buol, Bolaang Mongondow, Manado dan sebagainya.
Pergerakan orang Sangir, itu dalam catatan Steller dan Aebersold, relevan dengan catatan van Dinter, bahkan secara etnografis, memengaruhi pemahaman masyarakat lokal, yang memahami benua dan dunia sebagai tanah atau dataran. Mereka mesti menjangkau itu, menguasainya, dan kemudian mengolahnya untuk kepentingan ekonomi, sosial, dan akhirnya: religi. Termasuk, menaklukan penduduk di dataran yang baru dikuasainya, dengan cara membayar upeti.
Pada masa yang relatif hampir bersamaan, raja-raja Sulu dan Mangindano, dalam catatan Lapian, juga mulai mencari keuntungan politik dan komersial di daerah seberang lautan, yang banyak dibantu oleh suku Bajau dan Sama, yang merupakan suku-suku pelaut sejati, yang menjadikan lautan sebagai satu-satunya rumah kehidupan (dan tempat mencari nafkah) mereka.
Pada perkembangan tradisi dan budaya masyarakat Indonesia, khasnya di Maluku dan Sulawesi, raja atau datu, kemudian, beroleh hak kepemilikan atas tanah dan laut. Realitas yang tercantum dalam kitab hukum adat (1926), seolah-olah meratifikasi kepemilikan keluarga datu atas tanah dan air, daratan dan laut.
Penguasaan Portugis atas Maluku, menjadi ancaman tersendiri bagi para datu di Sulawesi. Ternate menjadi sedemikian penting perannya di timur Matahari. Terutama, saat terjadi perluasan wilayah kesultanan (kerajaan) hingga ke utara, barat, dan selatan. Sedangkan Tidore, lebih memperluas wilayah kesultanannya ke timur, persisnya ke wilayah kerajaan raja Ampat dan Aryan (Irian) yang disebut sebagai Nueva Guinea oleh orang-orang Iberia.
MAKASSAR BASIS PERLAWANAN RAJA GOWA YANG MENOLAK PENGUASAAN ASING ATAS SUMBERDAYA ALAMNYA
Dalam catatan Lapian, merujuk kepada catatan Godee Molsbergen, Sultan Hairun dari Ternate mengirim puteranya, Sultan Baabulah ke pantai utara Sulawesi (1563) untuk menaklukan wilayah itu. Berkembang asumsi debatable, apakah hal itu merupakan ekspedisi perluasan wilayah Ternate, atau penegasan kembali kekuasaan Maluku untuk mencegah usaha-usaha Portugis dan Spanyol dalam upaya mereka menegakkan monopoli dagang di sana.
Ternate menghadapi persoalan, selepas Sultan Hairun wafat secara mendadak. Sultan Baabullah yang menggantikannya, berasumsi, bahwa kematian itu tak bisa dilepaskan dari taktik Portugis untuk mengecilkan kekuasaan Ternate dalam menguasai potensi sumberdaya alam di Maluku dan bagian tara Sulawesi. Tahun 1575, Baabullah bertindak: mengusir Portugis dan Spanyol dari Ternate.
Tak dapat dipungkiri, pada masa itu, Makassar telah menjadi kota terpenting di kawasan Timur kepulauan Nusantara. Orang-orang Mandar, Bugis, dan Makassar dari Sulawesi Selatan menjadi tiang sangga kedigjayaan kesultanan di Sulawesi Selatan, yang sangat peduli terhadap pemeliharaan dan pengelolaan potensi sumberdaya alam yang dimilikinya. Karena itu, kecenderungan para datu menguasai daerah-daerah lain relatif tidak menonjol.
Pelayaran dan pengembaraan orang-orang Mandar dan Bugis sebagai para pelaut sejati, menjelajah ke seluruh Nusantara, termasuk ke benua Australia, baru dicatat pada abad ke 15 dan ke 16. Bahkan, baru pada abad ke 17, baru tercatat, orang-orang Mandar, Bugis, dan Makassar sebagai penantang utama hegemoni daerah laut Sulawesi dan sekitarnya. Padahal, secara tradisional, keandalan orang-orang Mandar, Bugis, dan Makassar telah terbina sejarah berabad sebelumnya. Terinspirasi oleh Sawerigading, pelaut tangguh dari Luwu, yang diurai secara dramatik dalam sastra tradisi, ditulis puteranya, La Galigo. |