Catatan Lingkungan Hidup Bang Sem (10)

Tak Boleh Dikuasai Asing

| dilihat 5261

PERANG MAKASSAR ABAD KE XVII MEMPERTAHANKAN SUMBERDAYA ALAM DI SULAWESI |

 

KEKAYAAN potensi sumberdaya alam di Timur Matahari, pada abad  XVI dan XVII memang memancing terjadinya pertikaian di laut Sulawesi. Bermula dari persaingan Portugis dan Spanyol dalam menguasai konsep “pembagian dunia menjadi dua belahan,” dan Belanda yang memperjuangkan konsep “laut bebas”.

Ke­tiganya berkompetisi untuk memperoleh monopoli perniagaan di belahan timur dunia.

Laut dipe­rebutkan karena merupakan jalur stra­tegis perniagaan. Ketiga bangsa tersebut, se­belum bangsa-bangsa lain, berusaha menguasai ber­bagai kawasan mari­tim. Khususnya kawasan kepulauan yang mempunyai ke­kayaan sumber­daya alam berlimpah.

Dengan menguasai laut, mereka berkehendak me­nguasai dan mengontrol jalur strategis maritim. Suatu mekanisme kekuasaan berdimensi politis untuk meng­amankan jalur pengiriman hasil budidaya sumberdaya alam di kepulauan Indonesia ke tanah air mereka masing - masing. Termasuk pengiriman hasil budidaya sumberdaya alam Indonesia ke negara-negara lain, yang men­jadi pasar perdagangan mereka. Baik di Eropa, Afrika, maupun Timur Tengah.

Di sisi lain, penguasaan atas sumberdaya alam Indonesia, meliputi tanah dan air atau daratan dan laut­an, merupakan bagian tak terpisahkan dari keseluruhan konsep 3 G (gospel, gold, dan glory). Menguasai sumberdaya alam (gold) dengan menguasai manusianya, me­lalui pe­nyebaran konsep peradaban (gospel), meliputi: agama, filosofi, sistem budaya, dan modernitas yang mereka yakini. Dengan menguasai sumberdaya alam, mereka yakin akan mencapai kemuliaan sebagai bangsa.

Konsep 3G dengan penerjemahan dan mani­festasi yang berkembang dan meluas, itu mereka me­mosisikan eksistensi bangsanya dalam percaturan kompetisi kuali­tatif. Posisi eksistensi bangsa, yang pada akhirnya mereka jadikan pijakan asasi untuk menjadikan bangsa-bangsa berpotensi sumberdaya alam, sebagai daerah jajahan. Dengan cara ini, mereka akan memper­oleh keberdayaan ekonomi, dan akhirnya politik.

Pada abad ke 16, persisnya sejak 1521, saat bangsa portugis mengarungi samodera hingga ke kepulauan Ma­luku, melalui Sulawesi Selatan, kemudian kapal-kapal mereka menguasai laut Sulawesi. Pertengahan abad ke 16, Enrique de Sa, Gubernur Portugis di Ternate me­ngirim sebuah kapal ke Sulawesi Utara dan dari per­jalanan itu, pendeta Pater Diego Magelhaens, mengaku telah mem­baptis 1.500 orang. Molsbergen (1829) men­catat peng­akuan Magelhaens (Magellen).

Dari catatan de Barros (1829), tercatat Garcia Henriques dan Antonio de Brito, mengirimkan kapal-kapal ke Pulau Sulawesi untuk men­cari emas (gold). Sementara tahun 1560 Peter Pero Maca­renhas mengunjungi kepulauan Sangir dan singgah di Manado, untuk menyebarkan agama Kristen (gospel).

Peta perjalanan ini, kemudian yang dicatat, sebagai jalur penguasaan berbagai wilayah di Kalimantan dan negeri-negeri yang terdapat di sepanjang jalur Ternate – Malaka. Dimulai oleh Garcia Henriques pada bulan Mei 1522, kemudian dilanjutkan Antonio de Abreu. Keduanya gagal, dan kembali ke Ternate, sebelum men­capai Laut Cina Selatan.

GUNUNG PANI YANG MENGANDUNG POTENSI EMAS DIBURU ORANG-ORANG ASING SAMPAI KINI. MEREKA BERUSAHA MENGUASAI DENGAN CARANYA.

Kalimantan Utara yang dikuasai Kerajaan Sulu, dan Kalimantan Barat yang dikuasai Sri­wijaya (kemudian Majapahit), tidak sepenuh­nya berhasil dikuasai Portugis. Bahkan, ketika Dom Jorge de Mezenes (1526) berhasil melakukan pelayaran Malaka – Ternate, untuk menggantikan kedudukan Dom Garcia Henriques di Maluku.

Lapian menulis, perjalanan ini melintasi perairan Kalimantan Utara. Se­telah mencapai Pulau Gaya di sebelah utara Kalimantan, dia berlayar ke Cagayan – Sulu, lalu ke Mindanau dan Basilan, akhirnya menyusuri pantai Halmahera Barat. Tak ditemukan catatan akurat tentang bagaimana akhirnya Portugis menguasai Laut Sulawesi, kemudian merambah se­tiap potensi sumberdaya alam di pulau Sulawesi, dari Selatan, Tengara, dan Utara.

Tidak seluruh upaya bangsa-bangsa penjelajah (yang akhirnya menjadi bangsa penjajah ini), dapat dengan mudah menguasai bangsa-bangsa bersumberdaya alam kaya seperti Indonesia. Secara sporadis mereka mendapat­kan perlakuan dari masyarakat lokal. Karena di dalam tra­disi masyarakat lokal, juga ber­kembang pemahaman ter­sendiri, tentang penguasaan tanah dan air, atau darat dan laut (sebagaimana halnya hutan, sungai, dan danau) me­rupa­kan kalakeran, kek­ayaan milik bersama.

Kekayaan alam sebagai warisan nenek moyang, tak boleh dikuasai orang asing. Sebagaimana ter­cermin, misalnya, dari pandangan masyarakat Tombulu di Tonsea. Juga pandangan masyarakat di Maluku, Sula­wesi, Nusa Tenggara, Bali, Papua, dan berbagai gugus ke­pulauan Nusantara lainnya. Max Bartels (1910) mendes­kripsikan, bagaimana masyarakat Ambon dan Saparua meng­eks­presikan tradisi penguasaan atas wilayah darat dan laut, yang terkait langsung dengan sanksi hukum adat bagi siapa saja yang melanggarnya.

Hukum adat yang berlaku di Minahasa, Goron­talo, dan Ternate sampai awal abad ke 20, menggambar­kan bagaimana rakyat memahami dan memanifestasikan pe­nguasaannya atas tanah dan air, karena pada dasarnya alam merupakan sumber kehidupan dan penghidupan yang sepenuhnya diyakini, sebagai pemberian Tuhan ke­pada manusia di tempat mana tanah dan air itu berada. Sengketa yang terjadi di sekitar Danau Tondano, pada masa itu, menunjukkan bagaimana petani lokal melaku­kan claim atas sedimentasi pantai danau, akibat erosi sungai di sekitarnya.

MANADO PINTU MASUK PARA PENJAJAH MEMBURU PERTAMBANGAN EMAS SAMPAI KE BOLAANG MONGONDOW

Dalam konteks demikian, van Dinter (1899), men­deksripsikan, bagaimana di lingkungan masyarakat tra­disional di pulau Siau dan Sangir, penguasaan atas tanah dan air melekat di dalam posisi politis, sosial, dan eko­nomis para datu (raja). Dengan posisinya itu, AB Lapian (1984) menjelaskan, para datu (raja) di Sangir mem­punyai otoritas mengerahkan penduduknya untuk be­rlayar dan ‘menguasai’ pulau Talaud, Sarangani, dan pantai-pantai Mindanao, termasuk ke Buol, Bolaang Mongondow, Manado dan sebagainya.

Pergerakan orang Sangir, itu dalam catatan Steller dan Aebersold, relevan dengan catatan van Dinter, bahkan secara etnografis, memengaruhi pemahaman masyarakat lokal, yang memahami benua dan dunia sebagai tanah atau dataran. Mereka mesti menjangkau itu, menguasai­nya, dan kemudian mengolahnya untuk kepentingan eko­nomi, sosial, dan akhirnya: religi. Termasuk, menaklukan penduduk di dataran yang baru dikuasainya, dengan cara membayar upeti.

Pada masa yang relatif hampir bersamaan, raja-raja Sulu dan Mangindano, dalam catatan Lapian, juga mulai mencari keuntungan politik dan komersial di daerah se­berang lautan, yang banyak dibantu oleh suku Bajau dan Sama, yang merupakan suku-suku pelaut sejati, yang menjadikan lautan sebagai satu-satunya rumah kehidupan (dan tempat mencari nafkah) mereka.

Pada perkembangan tradisi dan budaya masya­rakat Indonesia, khasnya di Maluku dan Sulawesi, raja atau datu, kemudian, beroleh hak kepemilikan atas tanah dan laut. Realitas yang tercantum dalam kitab hukum adat (1926), seolah-olah meratifikasi ke­pemilikan keluarga datu atas tanah dan air, daratan dan laut.

Penguasaan Portugis atas Maluku, menjadi ancam­an tersendiri bagi para datu di Sulawesi. Ternate menjadi sedemikian penting perannya di timur Matahari. Ter­utama, saat terjadi perluasan wilayah kesultanan (keraja­an) hingga ke utara, barat, dan selatan. Sedangkan Tidore, lebih memperluas wilayah kesultan­annya ke timur, persisnya ke wilayah kerajaan raja Ampat dan Aryan (Irian) yang disebut sebagai Nueva Guinea oleh orang-orang Iberia.

MAKASSAR BASIS PERLAWANAN RAJA GOWA YANG MENOLAK PENGUASAAN ASING ATAS SUMBERDAYA ALAMNYA

Dalam catatan Lapian, merujuk kepada catatan Godee Molsbergen, Sultan Hairun dari Ternate mengirim puteranya, Sultan Baabulah ke pantai utara Sulawesi (1563) untuk menaklukan wilayah itu. Berkembang asumsi debatable, apakah hal itu merupakan ekspedisi perluasan wilayah Ternate, atau penegasan kembali kekuasaan Maluku untuk mencegah usaha-usaha Portugis dan Spanyol dalam upaya mereka menegakkan monopoli dagang di sana.

Ternate menghadapi persoalan, selepas Sultan Hairun wafat secara mendadak. Sultan Baabullah yang menggantikannya, berasumsi, bahwa kematian itu tak bisa dilepaskan dari taktik Portugis untuk mengecilkan kekuasaan Ternate dalam menguasai potensi sumberdaya alam di Maluku dan bagian tara Sulawesi. Tahun 1575, Baabullah bertindak: mengusir Portugis dan Spanyol dari Ternate.

Tak dapat dipungkiri, pada masa itu, Makassar telah menjadi kota terpenting di kawasan Timur kepulau­an Nusantara. Orang-orang Mandar, Bugis, dan Makassar dari Sulawesi Selatan menjadi tiang sangga kedigjayaan kesultanan di Sulawesi Selatan, yang sangat peduli ter­hadap pemeliharaan dan pengelolaan potensi sumberdaya alam yang dimilikinya. Karena itu, ke­cenderungan para datu menguasai daerah-daerah lain relatif tidak menonjol.

Pelayaran dan pengembaraan orang-orang Mandar dan Bugis sebagai para pelaut sejati, menjelajah ke seluruh Nusantara, termasuk ke benua Australia, baru dicatat pada abad ke 15 dan ke 16. Bahkan, baru pada abad ke 17, baru tercatat, orang-orang Mandar, Bugis, dan Makassar se­bagai penantang utama hegemoni daerah laut Sulawesi dan sekitarnya. Padahal, secara tradisional, keandalan orang-orang Mandar, Bugis, dan Makassar telah terbina sejarah berabad sebelumnya. Terinspirasi oleh Saweri­gading, pelaut tangguh dari Luwu, yang diurai secara dra­matik dalam sastra tradisi, ditulis puteranya, La Galigo. |

Editor : sem haesy | Sumber : CAWANDATU N. SYAMSUDDIN CH. HAESY
 
Seni & Hiburan
03 Des 23, 14:05 WIB | Dilihat : 431
Kolaborasi Pelukis Difabel dengan Mastro Lukis
29 Sep 23, 21:56 WIB | Dilihat : 1501
Iis Dahlia
09 Jun 23, 09:01 WIB | Dilihat : 1320
Karena Lawak Chia Sekejap, Goyang Hubungan Kejiranan
Selanjutnya
Humaniora
24 Mar 24, 15:58 WIB | Dilihat : 98
Isyarat Bencana Alam
16 Mar 24, 01:40 WIB | Dilihat : 515
Momentum Cinta
12 Mar 24, 01:26 WIB | Dilihat : 524
Shaum Ramadan Kita
09 Mar 24, 04:38 WIB | Dilihat : 444
Pilot dan Co Pilot Tertidur dalam Penerbangan
Selanjutnya