Taktik Anti-Football

Kemenangan Tanpa Suguhan Estetika

| dilihat 2374

AKARPADINEWS.COM | SEPAKBOLA Belanda yang terkenal dengan taktik permainan total football nampaknya mulai usang lantaran digerus tatktik permainan anti-football. Itu rupanya terlihat pada pertandingan kualifikasi Piala Eropa antara Belanda melawan Turki. Tim Oranye digulung Turki dengan skor telak, 3-0. Hasil buruk ini mengancam Belanda untuk melupakan trofi Euro 2016 Prancis nanti.

Belanda seperti kehilangan daya magisnya. Alih-alih bermain sepakbola Total Football ala mereka, justru bek yang ikut-ikutan menyerang sehingga mudah kehilangan bola. Faktor kesalahan elementer seperti ini menjadi makanan empuk bagi tim Turki, meski Belanda mendominasi penguasaan bola.

Kecemerlangan Anti-Football Turki terlihat jelas pada pertandingan melawan Belanda di Kota Konya, Turki Senin malam (7/9). Pertandingan yang berlangsung di Torku Arena, stadion berkapasitas 42 ribu penonton itu “dimerahkan” oleh para suporter Turki yang memakai Jersey kebangaan tim kesayangan mereka. Spirit bertanding Turki dan atmosfer stadion benar-benar menjadi mimpi buruk bagi Belanda.

Pasalnya, Belanda menguasai 62 persen penguasaan bola selama hampir sepanjang pertandingan. Mereka juga lebih agresif ketimbang Turki. Tercatat ada 12 kali upaya mencetak gol, empat di antaranya berstatus on target. Namun, lemahnya pertahanan Belanda melahirkan dua gol Turki yang diakibatkan kesalahan bek sentral Belanda, yakni Jefrrey Bruma dan Stefan De Vrij.

Gol pertama terjadi justru ketika Turki sedang menjadi bulan-bulanan Belanda. Serangan balik (counter attack) Turki yang sangat cepat, membuat gawang Belanda kebobolan akibat kesalahan Bruma. Pemain PSV Eindhoven itu gagal menyundul bola. Kemudian bola berada di kaki Arda Turan yang diumpan kepada Oguzan Ozyakup dan tak dapat dihalau Bruma. Bahkan, ia kalah beradu sprint dengan Ozyakup yang akhirnya berhadapan 1 on 1 dengan kiper Belanda, Jasper Cillessen. Dan, gol pun terjadi.

Gol kedua juga sama karena terjadi ketika Belanda sedang menguasai bola di daerah sisi lapangan. Dengan teledor, Belanda kehilangan bola yang disambar Kapten Turki, Arda Turan, sehingga ia dapat melesakkan tendangan keras dari jarak jauh. Serangan Belanda pada babak kedua lebih terlihat mengerikan. Mereka tampak tidak ingin dipermalukan oleh Turki dengan gencar melancarkan tendangan jarak jauh lewat aksi Memphis Depay dan Wesley Sneijder.

Namun, seringan itu berbuah nihil. Sebaliknya, gol ketiga justru lahir dari kaki Burak Yilmaz. Gol berawal dari umpan Caner Erkin kepada Yilmaz setelah sebelumnya sukses beradu skill dengan Van Der Wiell. Yilmaz yang berada di dalam kotak penalti dengan cerdik membalikkan badan untuk kemudian melepaskan tembakan keras yang gagal dihalau Cillessen.

Dengan hasil ini, Belanda butuh keajaiban untuk lolos ke putaran final Piala Eropa 2016. Posisi Belanda turun ke peringkat empat klasemen sementara Grup A dengan poin 10 dari delapan pertandingan. Jika ingin lolos, Belanda mau tidak mau harus meraih kemenangan pada dua laga terakhir melawan Kazakhstan dan Ceko untuk menjaga asa lolos melalui babak playoff yang bakal diperebutkan oleh delapan tim peringkat ketiga. Itu jika Turki kehilangan poin saat menghadapi Ceko dan Islandia.

Jika melihat pola permainan Belanda yang terkenal dengan total football, tentu Turki tidak akan bebas bergerak menyerang karena akan selalu dipaksa bertahan di sepanjang pertandingan. Pasalnya, gaya bermain total football yang dilahirkan Timnas Oranye semenjak era awal 70-an silam, memungkinkan semua pemain bertukar posisi secara konstan sambil menyerang pemain lawan. Jadi, semestinya, Turki mustahil menang besar atas Belanda.

Namun, anti football yang diperagakan Turki sukses menjungkalkan startegi bermain total football ala Belanda. Kian miris, karena pemain-pemain Belanda di atas kertas, unggul jauh ketimbang skuad Turki. Dapat dilihat dari banyaknya pemain Belanda yang berlaga di liga-liga top Eropa dan sedikitnya pemain Turki berada di skuad tim-tim di Benua Biru itu. Mungkin hanya Arda Turan yang dikenal publik sebagai kreator jenius Atletico Madrid, yang kini hijrah ke Barcelona.

Apa daya, Belanda yang kini ditangani Danny Blind untuk berlaga di Euro 2016 justru memperagakan sebuah permainan total football yang melempem. Serangan Belanda semalam didominasi oleh hampir semua pemain dari beberapa posisi. Namun, pemain-pemain belanda  yang asyik menyerang justru memperagakan kesalahan-kesalahan elementer dari para bek sentral mereka. Hasilnya, total football Belanda sukses di-counter anti football Turki yang memanfaatkan kesalahan-kesalahan itu.

Namun, jika hanya memanfaatkan kesalahan-kesalahan lawan, tanpa adanya agresivitas serangan, apakah pertandingan akan menarik untuk disimak? Di manakah letak keindahan taktik dari sebuah olahraga sepakbola? Inilah problem anti football yang selalu mengemuka pada setiap perkembangan dinamika sepakbola dunia.

Pada dasarnya, terminologi anti football adalah gaya bermain dengan taktik sepakbola pragmatis—menunggu kesalahan lawan untuk kemudian dieksplorasi menjadi gol. Selain minim kreativitas, permainan dan gaya bermain anti-football sejatinya juga telah melukai dan mencoreng etika sepakbola yang berlandaskan fair play dan juga respect.

Penggunaan frasa anti football sebenarnya telah muncul ke permukaan jauh sebelumnya. Pada tahun 1968, Gary Armstrong dan Richard Giulianotti sempat menyindir anti football kepada tim asal Argentina, Estudiantes de La Plata, dalam buku “Fear and Loathing in World Football.” Dituliskan bahwa anti football adalah sepakbola takut dan pengecut.

Pihak yang kecewa akan praktik anti football juga ditunjukan oleh salah satu aktor utama taktik total football pada tahun 70-an, Johan Cruyff. Ia menolak keras konsep anti football. Cruyff mengkritisi cara bermain Brazil ketika mengangkat piala emas World Cup 2002 di Korea-Jepang silam. Menurutnya, pemain-pemain Brazil hanya memaksimalkan serangan dari kesalahan-kesalahan lawan. Bahkan, Cruyff mencela negaranya sendiri, Belanda, saat Tim Oranye berhasil lolos ke final Piala Dunia 2010. Alasannya sama: anti football.

Reaksi keras Cruyff wajar-wajar saja. Karena, selama karir sepakbolanya, ia identik sebagai penganut sepakbola yang mengutamakan estetika permainan dan gerakan yang dinamis dari setiap individunya. Filosofi Cruyff membuat Timnas Belanda pada masanya menjadi tim terindah untuk disaksikan. Walaupun akhirnya Belanda gagal pada final Piala Dunia 1974 karena kalah dari Jerman Barat.

Tapi, pada perkembangannya, taktik anti football kini justru dikenal publik melalui sosok Jose Maurinho. Lewat taktik sepakbola pragmatisnya, ia membawa tiga klub Eropa di masing-masing liga berbeda sukses mengangkat Piala Si Kuping Besar. FC Porto (Portugal), Chelsea (Inggris), dan Inter Milan (Itali) adalah tim besutannya yang sanggup menjuarai trofi Liga Champions.

Filosofi sepakbola pragmatis Maurinho lebih dikenal dengan nama Strategi Parkir Bus. Strategi ini lebih mengutamakan semua pemain—dari bek hingga striker—berbondong-bondong menjaga daerah pertahanan tim. Mourinho memaksa anak-anak asuhannya untuk bertahan di hampir seluruh menit pertandingan dan memamanfaatkan serangan balik yang cepat. Alhasil, pertandingan akan serasa jenuh untuk disaksikan, karena minim kreativitas dan agresivitas serangan.

Taktik sepakbola pragmatis Maurinho juga sering disebut negative football. Ketika membesut Chelsea, nama-nama pemain yang memiliki naluri bertahan yang tinggi kerap menghiasi Starting Eleven The Special One. John Obi Mikel, Raul Meireles, Essien, Ramires hingga David Luiz adalah pemain yang bertugas untuk mematikan serangan lawan. Tak hanya satu atau dua pemain, Mourinho tak segan menurunkan tiga pemain bertipe bertahan pada saat yang bersamaan.

Dengan gaya sepakbola seperti itu, estetika sepakbola bukan menjadi pilihan utama. Namun, sepakbola pragmatis ala Maurinho dan anti-football juga tidak bisa dienyahkan begitu saja. Karena, siapa yang tidak senang jika tim kesayangannya menang? Meskipun dengan permainan kurang menarik.

Jika estetika sebuah permainan sepakbola terletak pada gol, maka anti-football justru menciptakan cara-cara untuk menghentikan sebuah gol. Kenapa? Karena, kreativitasnya bukan berorientasi pada keindahan kreasi di lapangan, tapi justru untuk menghancurkan estetika itu sendiri. 

Sentimen seperti ini juga didukung oleh sepakbola yang kini dilihat jauh lebih defensive dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Salah satu buktinya adalah perhelatan World Cup 2010. Semenjak turnamen ini diubah ke dalam format 32 peserta pada 1998, Piala Dunia Afrika Selatan tercatat sebagai turnamen dengan gol paling minim.

Buktinya, jumlah gol yang tercipta pada turnamen paling bergengsi antara negara-negara di planet ini hanya berjumlah 145 gol, atau selisih 26 gol dari Piala Dunia 1998. Hal ini seringkali ditandai sebagai taktik anti-football yang kian menggurita seiring dengan perjalanan sepakbola era modern yang semakin defensive.

Dengan semakin berkurangnya kreativitas dan estetika pada sepakbola karena melihat gol bukanlah tujuan utama, tak heran banyak yang memandang sinis pada taktik-taktik yang mengusung tema bertahan. Seperti yang diperagakan Mourinho dan terminologi klasik permainan milik Itali, yakni Catenaccio.

Catenaccio adalah permainan legendaris ala Timnas Itali yang mengutamakan sebuah filosofi: pertahanan terbaik adalah penyerangan sempurna. Bahkan, banyak yang menganggap taktik grendel ini sebagai bentuk lain dari anti-football. Karena, pertandingan tentu tidak akan menarik jika melihat tim “memarkir” 10 pemainnya di kotak pinalti. Tapi, toh Itali berhasil menyabet tiga Trofi Piala Dunia dengan permainan Catenaccio.

Berangkat dari hal itu, sah-sah saja jika permainan Parkir Bus atau Pertahanan Grendel menjadi bagian penting dari anti-football. Karena, taktik sepakbola modern akan terus berevolusi sehingga melahirkan terminologi-terminologi baru. Dan, skuad Turki pada pertandingan semalam sebenarnya menampilkan spirit bermain yang luar biasa. Mereka tidak selalu bertahan, hanya menahan bola dan memanfaatkan kesalahan pemain lawan.

Anti-football sejatinya telah mengenyampingkan pola permainan estetis dari olahraga sepakbola yang identik dengan keindahan taktik dan skill individu pemain. Meski total football akhirnya takluk atas anti-football, kedua strategi ini tetap membuktikan sebuah adagium yang terus melekat pada olahraga sepakbola, yakni bola itu bundar. Apapun timnya dan besar atau kecilnya sebuah tim, tidak akan pernah menjamin sebuah kemenangan.

Semua pelatih dan sebuah tim dengan filosofi permainan selalu berhak atas kemenangan. Anti-football menunjukan cara lain, bahwa jalan untuk meraih kemenangan tidak selalu lahir dari sepakbola yang indah. Karena, akan menarik jika tim kecil sukses membungkam tim besar, seperti yang dilakukan Turki terhadap Belanda.

Adhimas Faisal

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 922
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1154
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1413
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1560
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya
Ekonomi & Bisnis
03 Apr 24, 04:18 WIB | Dilihat : 208
Pertamina Siap Layani Masyarakat Hadapi Lebaran 2024
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 381
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 227
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya