Attammu Taung Ri Galesong: Rasa Syukur dari Negeri Petarung Sejati

| dilihat 3984

Sawedi Muhammad

Siang itu, terik matahari begitu menyengat. Kami bertiga berangkat menuju Galesong menghadiri undangan seorang  sahabat; perayaan akbar yang mereka sebut Attammu Taung Tupa' Biring.

Setelah sekitar 45 menit di perjalanan, kami pun sampai di sebuah kampung yang bernama Jumarang. Kampung ini terletak di Kelurahan Bontolebang, Kecamatan Galesong Utara yang berbatasan langsung dengan kota Makassar.

Bagi saya, Galesong bukan sekadar wilayah pemukiman atau geografis dengan batas-batas yang kasat mata. Galesong yang saya kenal adalah sebuah entitas kultural yang melegenda, melampaui batas-batas kewilayahan.

Ia merepresentasi  kejayaan, keagungan, kehormatan, kesetiaan dan keberanian. Di rahimnya dilahirkan petarung sejati, yang sampai hari ini menyimpan kisah heroisme yang belum sepenuhnya dipahami dengan baik. Saya kira, percampuran antara kisah (story) dan sejarah (history) yang berkontribusi terhadap "kaburnya" pemaknaan terhadap jejak masa silam petarung sejati ini.

Sang Petarung Sejati

Adalah I Manindori I Kare Tojeng Galesong, yang lebih masyhur dengan sebutan Karaeng Galesong, telah melegenda karena semangat perlawanannya terhadap penjajahan VOC tak pernah pudar.

Ia adalah putera sulung Sultan Hasanuddin dari isteri keempatnya yang bernama I Hatijah I Lo'mo  Tobo yang berasal dari Bonto Majannang. Meski Karaeng Galesong adalah seorang Laksamana, Panglima Perang kerajaan Makassar saat di tandatanganinya perjanjian Bungaya tanggal 16 November 1667, ia menolak supremasi VOC (kompeni).

Ia membangkang, berontak dan melawan. Baginya, perjanjian Bungaya meski disebut sebagai perjanjian perdamaian, ia adalah deklarasi kekalahan Gowa dari VOC. Bagi Karaeng Galesong, perjanjian ini adalah penghinaan terhadap harkat dan harga diri orang Makassar. Karenanya ia adalah tragedi.

Dalam sebuah dokumen lontara, Karaeng Galesong berujar: "Yang menyerah hanya Raja Gowa, itu tidak berarti peperangan harus berakhir."

Bagi banyak orang, sejarah Makassar terhenti saat perjanjian Bungaya. Tapi bagi Karaeng Galesong, sejarah baru saja dimulai. Ia menabuh genderang perang terhadap ketidakadilan kompeni. Ia  melawan di perairan Supermonde, Selat Makassar hingga Laut Jawa. Karaeng Galesong kemudian berkoalisi dengan penguasa Madura Raden Trunojoyo dan Sultan Ageng Tirtayasa (Sultan Banten) dalam perang melawan VOC/ Belanda di Tanah Jawa.

Kesetiaan Orang Galesong

Salah satu versi ceritera lisan yang mengungkap keberanian dan kesetiaan orang Galesong adalah ikrar keramat yang menggetarkan I Manggopangi Daeng Ngutung yang berjanji di hadapan Karaeng Galesong:

"Baji maki anne abbannang kebo' karaeng, naki bulo sibatang, cera' sitongka-tongka. Nanipajappa nikanayya kuntutojeng, ansorong bokoi ero'na Balandayya. Aminasa dudutonga karaeng, ampannepokangi pasorang, ma'tanga parang.  Ampanumbangngangi balembeng, ma'bangkeng romang.... Tedong a'lagayya, jarang siale ganayya...Campagana Bulukumpa."

Artinya: Pada saatnya kita berikrar, dan bersatu padu seia-sekata. Dan menjalankan yang namanya kebenaran, membelakangkang keinginan Belanda. Sungguh kuberniat karaeng. Mematahkan senjatanya, di tengah medan perang. Meruntuhkannya bagai pohon di tepi hutan...Bagai kerbau yang beradu, kuda yang bersetubuh. Kemudian lihatlah I Mangopanggi Daeng Ngutung. Campagana Bulukumba."

Tantangan Masa Kini

Bukti nyata kesetiaan orang Galesong yang diwarisi dari leluhurnya adalah perayaan "Attammu Taung". Selain sebagai selebrasi rasa syukur, pesta ini adalah ungkapan penghormatan terhadap leluhurnya yaitu Karaeng Kanarea, Karaeng Jamarang, Karaeng Maccini Sombala, Karaeng Matinroa Ri Lassang dan Karaeng Manilayya.

Sebagai ungkapan rasa syukur, warga Jamarang menyiapkan berbagai macam penganan tradisional untuk dinikmati bersama. Para pengunjung termasuk saya, berkesempatan menikmati makanan yang lauknya semua terbuat dari ikan tangkapan nelayan setempat. Rangkaian acara syukuran pun bermacam-macam.

Ada lomba tarik-tambang, panjat pinang, tarian ganrang bulo dan lomba perahu viber. Acara diakhiri dengan ziarah ke makam leluhur sebagai bentuk penghormatan terhadap jasa-jasa mereka di masa silam.

Tetapi ada yang berbeda di perayaan tahun ini. Mereka tidak sepenuhnya bergembira. Mereka gelisah, gundah dan khawatir. Sudah setahun terakhir pesisir pantai Galesong diramaikan oleh kegiatan kapal keruk penambang pasir dari proyek Center Point of Indonesia (CPI). Berton-ton pasir diangkut tanpa sosialisasi yang komprehensif tentang dampak ekologis dan sosial dari kegiatan tersebut.

Menurut pengakuan salah satu tokoh pemuda, sosialisasi yang dilakukan hanya di tingkat kecamatan saja. Itu pun yang hadir hanya beberapa orang saja. "Sangat disayangkan penghisapan pasir laut oleh beberapa perusahaan tersebut tidak dilakukan dengan proses yang transparan," ungkap salah seorang tokoh pemuda di Jamarang.

Menurutnya, banyak keluhan sudah disampaikan ke pemerintah tapi sampai saat ini belum ada tindak lanjutnya. "Semoga saja pada saatnya pemerintah menyadari bahwa dampak ekologis dari penghisapan pasir sangatlah berbahaya," harapnya. Tapi ia meyakinkan bahwa meski berbagai tantangan yang dihadapi begitu berat, ia akan berjuang agar masyarakat pesisir Galesong mendapatkan informas objektif tentang dampak ekologis yang ditimbulkan oleh penambangan pasir tersebut.

Tidak terasa hari mulai sore. Terik matahari mulai melembut, seiring hembusan angin laut pantai Galesong yang menyejukkan.

Saya bergumam dalam hati: semangat anak muda Galesong ini seperti titisan dari keberanian dan keteguhan dari leluhurnya. Saya teringat sebuah tulisan tentang semangat pantang menyerah dari Karaeng Galesong. Di nisannya yang senyap di Ngambang, Jawa Timur tertulis: Di sini terbaring seorang petarung sejati yang syahid di Jalan Tuhan. |


Penulis adalah Sosiolog UNHAS

Editor : sem haesy | Sumber : Upeks.fajar. co.id
 
Ekonomi & Bisnis
03 Apr 24, 04:18 WIB | Dilihat : 202
Pertamina Siap Layani Masyarakat Hadapi Lebaran 2024
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 377
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 223
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 219
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 431
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 430
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 400
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya