Dari Penataan Kota sampai Peradaban Islam

Khutbah Cendekia Anies Baswedan di Masjid Agung Al Azhar Kebayoran

| dilihat 391

Ribuan jama'ah salat idul Adha di Masjid Al Azhar - Kebayoran Baru memadati laman hijau, Jum'at (6/6/25). Jama'ah sudah berdatangan sejak selepas fajar.

Masjid Agung Al Azhar sudah sejak bertahun-tahun lamanya, menjadi simbol penting Jakarta, baik sebagai kota besar yang bertransformasi cepat menjadi megacity dan simpul penting megapolitan, maupun sebagai ibukota negara.

Masjid Agung yang menjadi saksi pembangunan mega blok permukiman khas Kebayoran Baru setelah kawasan Menteng dengan seni bangunan yang khas ini selesai dibangun pada 19 November 1953, selesai dibangun lima tahun kemudian (1958). Pendiri dan pengelolanya adalah Yayasan Pesantren Islam (YPI) -- yang didirikan 14 tokoh pada 7 April 1952.

Nama Masjid Agung Al Azhar yang terbabit dengan nama Universitas Islam Al Azhar di Kairo, Mesir atas usul Buya Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), juga melambangkan kecendekiaan Islam.  Hamka adalah tokoh ulama dan begawan sastra pejuang, dengan berbagai karya sastra dan tafsir al Qur'an, cendekiawan dan budayawan Islam tak tergantikan.

Dari Masjid Agung Al Azhar ini Buya Hamka melaksanakan tugas tabligh, dakwahnya yang terkenal dengan programa siaran radio Kuliah Subuh. Sekali sekala, Buya Hamka menyertakan juga sahabat-sahabatnya, seperti KH Hasan Basri ulama asal Kalimantan Selatan yang melanjutkan perjuangan Buya Hamka sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) sekaligus Ketua YPI, dan KH Abdullah Syafi'ie - ulama Betawi dan Ketua Majelis Ulama DKI Jakarta, yang dilanjutkan perjuangannya oleh KH Gazali Syahlan.

Masjid Agung Al Azhar dari masa ke masa, menjadi sentrum gerakan perubahan dan pemajuan umat Islam Jakarta. Masjid di Jakarta yang menegaskan ruh dan jiwa kota Jakarta sebagai kota tempat persemaian spirit kebangsaan yang dinafasi oleh ajaran Islam.

Masjid ini diresmikan Presiden Soekarno pada April 1959, sembilan tahun setelah ia menyampaikan proklamasi atas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) - 17 Agustus 1950, setelah Moh Natsir menyampaikan Mosi Integral NKRI pada 3 April 1950.

Kesetaraan

Di laman hijau masjid bersejarah yang terbabit dengan gerakan perubahan dari masa ke masa inilah, slah seorang tokoh bangsa berwawasan negarawan, 10 Dzulhijjah 1446 Hijriah (6/6/2025) menyampaikan khutbah cendekia.

Tokoh itu adalah Anies Rasyid Baswedan, yang di kalangan negarawan Asia Tenggara digadang-gadang sebagai sosok 'macan Asia' (antara lain bersama Khairy Jamaluddin - Malaysia, Pita Limjaroenrat - Thailand dan beberapa lainnya dari Filipina, Singapura dan negara Asia Tenggara lainnya).

Khutbah cendekia Anies menempatkan ajaran agama yang relevan dengan kehidupan sehari-hari. Kontekstual, sekaligus tekstual. Di awal khutbahnya, Anies mengungkap, "Saat kita menyaksikan jutaan manusia berpakaian ihram di Tanah Suci, kita disadarkan pada hakikat kemanusiaan, bahwa semua setara. Tak ada raja atau rakyat, kaya atau miskin, hanya manusia di hadapan Allah, mengenakan dua helai kain putih dan menyeru: "Labbaika Allahumma labbaik."

Namun, sambungnya, "sekembali kita ke kota-kota kita, Jakarta, Surabaya, Medan, Makassar, kesetaraan itu seolah menguap. Di satu sisi kota, restoran mewah penuh pengunjung. Di sisi lain, anak-anak memungut sampah demi sesuap nasi. Mobil-mobil mewah melintas di jalan yang sama dengan gerobak pedagang kecil. Ini bukan pemandangan di negeri asing. Ini halaman rumah kita sendiri."

Padahal, menurutnya, kota-kota kita adalah tanda dari kesehatan peradaban yang lebih luas. "Dalam sejarah Islam, peradaban dibangun dan diawali dengan menata ulang sebuah kota, dari Yatsrib menjadi Kota Nabi, Kota yang Bercahaya. Madinatun-nabi, Al Madinah Al Munawarah."

Ia menyebut cendekiawan Al Farabi -- ilmuwan politik dan seni musik, yang karyanya antara lain Al Madinah Al Munawarah -- menyebut tingkat peradaban dengan menggambarkan bagaimana kota-kota ditata. Anis juga menyebut, istilah “politik” yang kita kenal hari ini, juga berangkat dari istilah yang digunakan oleh orang-orang Yunani untuk menggambarkan bagaimana mengelola kota.

"Kota yang ditata dengan baik dengan menghadirkan kebaikan dan keadilan adalah tanda bagi peradaban yang sehat. Sebaliknya, kota-kota yang ditandai dengan ketidakadilan adalah penanda sebuah masyarakat yang sakit."

Umar bin Khattab - Reforma Agraria

Bagaimana konteksnya dengan ibadah kurban? Anies mengemukakan, "Hari ini kita memperingati kisah kurban agung Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS, sebuah kisah tentang ketaatan, dan juga tentang transformasi. Dari pengorbanan pribadi menjadi pengorbanan untuk kemaslahatan umat."

Anies memberi aksentuasi. Ia menyatakan, "Di tengah kota-kota kita, kesenjangan yang terjadi bukan takdir, melainkan hasil dari sistem yang dibiarkan tanpa koreksi. Kita belajar dari Khalifah Umar bin Khattab RA, yang saat paceklik tak hanya memberi bantuan, tapi juga mengubah aturan. Tanah yang ditelantarkan, diambil dan diberikan kepada yang mau menggarap. Mungkin itu reformasi agraria pertama dalam sejarah Islam, dan itu adalah contoh nyata keadilan struktural," ungkapnya.

Mengutip firman Allah SWT dalam Al Qur'an, surah Al-Hasyr, Anies mengemukakan, “Agar harta tidak beredar hanya di antara orang-orang kaya saja.” Hari ini, giliran kita bertanya: Apa yang siap kita kurbankan untuk menghadirkan keadilan?

Anies mengemukakan, bagi para pemimpin, kurban itu bisa berupa keberanian menetapkan kebijakan yang berpihak pada seluruh rakyat, meski menghadapi resistensi sebagian elite. "Bagi yang memiliki kelebihan harta, kurban bisa berupa investasi sosial, seperti membangun sekolah komunitas, menyediakan akses air bersih, atau menciptakan lapangan kerja bermartabat," ujarnya.

Bagi yang tak memiliki kelapangan materi, ungkap Anies lagi, kurban bisa berupa waktu dan keahlian, seperti mengajar anak-anak tetangga, praktik medis gratis, membimbing UMKM, mengorganisir komunitas belajar orang dewasa.

"Kita semua bisa berkontribusi sesuai kemampuan. Inilah gerakan kolektif. Sesungguhnya ketidakadilan adalah bagian dari kemungkaran," tegas Anies. Lalu ia mengutip hadits Rasulullah Muhammad SAW, riwayat Muslim: “Siapa yang melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangan, jika tidak mampu, maka dengan lisan, jika tidak mampu juga, maka dengan hati, dan itu selemah-lemahnya iman.”

Maka, katanya, jangan tunggu. Karena sering, perubahan justru datang dari gotong royong warga yang memilih bertindak. Ia merujuk hadits Rasulullah (riwayat Ahmad) yang sangat populer, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesama manusia.”

Sebaik-baiknya Manusia

Pada bagian lanjut khutbahnya, Anies mengutip pernyataan 'Bapak Sosiolog Islam' Ibnu Khaldun, cendekiawan Muslim abad ke-14, dalam karyanya, kitab Muqaddimah. Ibnu Khaldun menulis: "Ketidakadilan akan menghancurkan peradaban."

Menurut Anies, Ibnu Khaldun mengamati bagaimana dinasti-dinasti besar runtuh bukan karena serangan musuh, tetapi karena ketimpangan internal yang tidak teratasi. Membangun kota yang adil bukan angan-angan, tapi bisa dimulai dari langkah konkret oleh para pengelola kota: Mulai dari memberi akses yang setara untuk pendidikan dan kesehatan bagi seluruh dan setiap warga, apapun latar ekonomi dan tempat tinggalnya.

Lantas, menata ruang kota yang inklusif, bukan hanya untuk yang berkendara, tapi juga bagi pejalan kaki, pesepeda, dan pengguna transportasi umum, serta membangun banyak ruang publik bagi warga lintas segmen bertemu dan berinteraksi. Dan terakhir, menghadirkan keadilan ekonomi bagi semua, dengan memberdayakan pelaku UMKM, pedagang kaki lima, tukang ojek online, dan pekerja sektor informal lainnya sebagai bagian penting dari denyut kota.

Prinsipnya, seperti sering ia ucapkan: membesarkan yang kecil tanpa mengecilkan yang besar. "Ini semua hanya mungkin terwujud bila pemimpin kota dan warganya berjalan seiring. Maka kita panjatkan doa, agar para pemimpin kota-kota kita akan mampu menghadirkan keadilan dan mempermudah segala urusan warganya," jelas Anies, seraya mengutip sabda Rasulullah Muhammad SAW dalam hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiallahu’anha: “Ya Allah, siapa yang mengurus urusan umatku lalu ia menyusahkan mereka, maka susahkanlah ia. Dan siapa yang mengurus urusan umatku dan memudahkan mereka, maka mudahkanlah ia.”

Selanjutnya, dalam khutbahnya, itu Anies mengemukakan, "Hari ini, di Idul Adha yang mulia ini, mari kita pulang dengan membawa tidak hanya daging kurban, tetapi juga semangat berkurban untuk keadilan sosial. Allah SWT mengingatkan di Surah Al-Hajj bahwa "Daging dan darah kurban itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada Allah adalah ketakwaan darimu."

Dalam konteks ini, Anies mengemukakan, ketakwaan yang dimaksud bukan hanya ketaatan ritual, tetapi juga kepekaan sosial. "Ketakwaan yang menimbulkan kesadaran bahwa kita tidak bisa khusyuk shalat Subuh sementara kita tahu tetangga kita semalam tidur kelaparan. Ketakwaan yang memantik kegelisahan melihat anak-anak kaum tak punya terpaksa mengamen di perempatan sementara anak kita bersekolah di tempat terbaik," urainya.

Idul Adha, jelas Anies, mengajarkan kita bahwa kurban sejati adalah melepaskan sesuatu yang kita cintai untuk sesuatu yang lebih dicintai Allah, yaitu tegaknya keadilan dan kesejahteraan bersama.

Anies mengajak, "Mari kita jadikan Idul Adha tahun ini sebagai momentum untuk kembali memulai. Mulai dari lingkungan terdekat kita. Mulai dari hal-hal kecil yang bisa kita lakukan. Karena perubahan besar selalu dimulai dari langkah-langkah kecil yang konsisten, tegasnya. Ingatlah, kota yang kita tinggali adalah amanah dan sekaligus juga ladang amal.

Kelak di akhirat, ungkap Anies, kita akan ditanya: Apa yang telah kita lakukan untuk saudaramu yang tertindas? Apa yang telah kita kurbankan untuk mewujudkan keadilan? Semoga Allah SWT memberi kita kekuatan untuk menjadi bagian dari solusi keadilan. Semoga kurban kita diterima, dan semoga kota-kota kita menjadi saksi keadilan yang kita tegakkan bersama. Mari kita akhiri khutbah ini dengan mengangkat tangan dan menundukkan hati. Karena pada akhirnya, di tengah segala ikhtiar dan ketidakberdayaan, hanya kepada-Nya kita kembali, tempat harap bersandar dan doa bermuara.

Do'a yang Menukik ke Hati

Dalam khutbahnya, Anies merungkai do'a yang bermakna luas dan menukik ke hati. Begini :

Ya Allah, Ya Rahman, Ya Rahim, Ya Malik al-Mulk, Tuhan Yang Maha Adil dan Maha Mengatur seluruh urusan negeri dan umat manusia; Pada hari yang mulia ini, kami hadir di hadapan-Mu, mengadukan luka-luka yang belum sembuh di Tanah Air kami. Bahwa kejujuran kerap disingkirkan, kompetensi dikalahkan oleh koneksi, dan kemiskinan diwariskan dari generasi ke generasi karena sistem yang enggan dibenahi. Kami sadar, keadilan dan kesetaraan bukan sekadar hasil dari niat baik, tetapi buah dari keberanian untuk menyentuh akar yang dalam, yang kadang menyakitkan, yang sering tersembunyi di balik kebiasaan dan kenyamanan. Dalam kesadaran itulah, kami berserah diri kepada-Mu, memohon perlindungan dan petunjuk agar tak hanyut dalam keputusasaan.

Ya Hakim, Ya Basir, Yang Maha Bijaksana dan Maha Melihat segala yang tampak maupun yang tersembunyi dalam hati manusia. Tuntunlah hati kami agar tidak membeku di hadapan derita sesama. Lembutkan batin kami agar tak terbiasa memalingkan wajah dari kezaliman di sekitar kami. Bukakan mata nurani kami, agar kami tak sekadar tertegun menyaksikan ketimpangan, tetapi juga memiliki keberanian untuk mendekat, memahami, dan bertindak semampu yang kami bisa.

Ya Hadi, Ya Nur, Cahaya langit dan bumi yang menyalakan terang dalam setiap langkah kami. Terangi akal dan nurani kami agar kami tidak hanya menjadi penonton yang menyimpan simpati di tengah gelapnya nestapa. Tumbuhkan tekad kami untuk menolong yang lemah, membela yang terpinggirkan, dan memperjuangkan keadilan sebagai laku hidup kami. Kuatkan kami agar kami tak hanya terdesak mengutuk kegelapan, tapi juga mampu menyulut cahaya, meski kecil, meski satu.

Ya Aziz, Ya Qawiyy, Yang Maha Kuat dan menanamkan keberanian dalam jiwa-jiwa yang gentar. Bila langkah kami goyah, kuatkanlah. Bila nyali kami surut, kobarkanlah. Bila suara kami gemetar, teguhkanlah. Kami ingin menjadi manusia yang utuh, yang hatinya hidup, nuraninya menyala, dan arah keberpihakannya jelas. Di bawah perlindungan-Mu, kami memohon, jangan jadikan kami generasi yang lalai. Jadikan kami penjahit harapan, penegak keadilan, dan pembela sesama. Bukan dengan amarah, tapi dengan kasih yang penuh. Bukan dengan jumawa, tapi dengan keberanian yang jernih.

Ya Mujib, Ya Ghafur, Yang Maha Pengampun atas segala khilaf dan lalai. Ampunilah kesalahan dan kesombongan kami. Rahmatilah kami agar tidak hanya mengerti, tapi juga peduli. Jangan biarkan kami hidup hanya untuk diri sendiri, ketika ada begitu banyak yang menunggu uluran hati dan tangan kami. Jadikan keikhlasan sebagai tenaga kami dalam membantu sesama. Jadikan kami manusia yang bermanfaat bagi banyak manusia lainnya.

Ya Jabbar, Ya Latif, Yang Maha Lembut dalam menyentuh hati yang retak. Hanya kepada-Mu kami sandarkan harapan yang tak bisa kami ucapkan kepada sesama. Hanya kepada-Mu kami titipkan luka yang tak bisa disembuhkan oleh kekuasaan manapun. Dan hanya kepada-Mu, kami kembalikan segala ikhtiar yang tak mampu kami tuntaskan oleh tangan kami sendiri. Cukuplah Engkau bagi kami,

Ya Allah. Tidak ada Tuhan selain Engkau, dan hanya kepadaMu kami berserah. | Farhan, Cinge Zaidan

Editor : delanova | Sumber : foto-foto ARB dan sumberlain
 
Sainstek
19 Feb 25, 19:05 WIB | Dilihat : 1314
Presiden Prabowo Lantik Brian Yuliarto Mendiktisaintek
25 Okt 24, 10:37 WIB | Dilihat : 1392
Maung Garuda Limousine yang Membanggakan
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 3170
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
Selanjutnya
Budaya
29 Mei 25, 13:53 WIB | Dilihat : 430
Titian Budaya Diplomasi Macron dengan Prabowo
14 Mei 25, 10:16 WIB | Dilihat : 401
Babe Eddie
16 Apr 25, 15:44 WIB | Dilihat : 482
Puisi Pak Lah Pesan Mendalam Seorang Negarawan
24 Mar 25, 08:10 WIB | Dilihat : 706
Tunku Azizah Perkaya Resep Bubur Lambuk
Selanjutnya