N. Syamsuddin Ch. Haesy
Bila bencana sosial yang terjadi, maka sudah dapat dibayangkan, peradaban kita akan dihancurkan oleh friksi dan konflik yang terus bergulir menjadi kehancuran kemanusiaan dan perang. Apa yang dialami Ruwanda, boleh jadi merupakan cermin besar yang perlu disimak dan dikaji secara mendalam untuk mengenali dampak buruk yang ditimbulkan oleh pengelolaan sumber daya manusia secara tidak benar. Mengubah rahmat menjadi laknat.
Sejarah bangsa ini membuktikan, bagaimana rakyat bergerak mempertahankan sumber daya alam, mempertaruhkan jiwa dan raganya, saat menghadapi penjajah dari Eropa (Inggris, Portugis, dan Belanda) dan Jepang. Terutama, karena mereka datang tidak untuk menjalin kerja sama mewujudkan kesejahteraan sosial yang berkeadilan. Melainkan, karena mereka melakukan tindakan - tindakan keji dalam menguasai sumber daya alam yang kita miliki.
Mereka merampas hak mengelola sumber daya alam dari tangan kita. Meski harus dipahami, bahwa semua itu berlangsung, juga karena kualitas sumber daya manusia dan teknologi yang mereka miliki sudah bergerak lebih maju.
Bagi kita di Indonesia, politik sumber daya alam yang relevan adalah yang berbasis tauhid, syari’at, akhlak, ilmu pengetahuan, dan teknologi, diperlukan untuk menjamin kemanfaatan alam bagi seluruh umat manusia dari masa ke masa. Karena pada galibnya, sumber daya alam diciptakan Allah, untuk kepentingan manusia, dan “Untuk menyempurnakan nikmat-Nya untukmu lahir dan batin. Tetapi, di antara manusia ada yang membantah (keesan) Allah tanpa ilmu atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan.” (Q.S. Lukman: 20).
Dimensi tauhid sangat mendasar dalam politik sumber daya alam, untuk memahami dengan jelas, apa yang difirmankan-Nya: “Dialah (Allah) yang menciptakan segala yang ada di bumi untukmu, kemudian Dia menuju ke langit, lalu Dia menyempurnakannya menjadi tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu”. (Q.S. Al Baqarah:29). Agar, manusia memahami secara arif, hakekat sumber daya alam sebagai milik Allah secara absolut, sebagaimana ditegaskan-Nya: “Milik-Nya lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, apa yang ada di antara keduanya, dan apa yang ada di bawah tanah” (Q.S. Taha: 6).
Dengan demikian, maka politik sumber daya alam semacam ini akan memberikan naungan atas berlangsungnya transaksi ekonomi dalam mengelola sumber daya alam yang kita miliki. Transaksi mengelola dan mengolah sumber daya alam di jalan telah ditetapkan Allah. Transaksi yang terbebas dari riba, dan tidak semata-mata hanya memburu profit.
Ibnu Khaldun mengisyaratkan, dimensi manfaat berada di atas dimensi profit, dan karenanya sumber daya alam harus sepenuhnya dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat manusia, dengan memelihara kelestariannya. Relevan dengan pandangan Khaldun, Abu Ya’ala, Abu Yusuf, dan Mawardi menegaskan, agar manusia tidak boleh membiarkan sumber daya alam tidak termanfaatkan (mubazir, idle) , dan karenanya pemerintah melalui Kepala Negara, tidak boleh membiarkan zona sumber daya alam tak bertuan. Kepala Negara berhak menyerahkan hak pengelolaan sumber daya alam kepada masyarakat atau rakyatnya. |