MENYAKSIKAN aneka gambar dan foto para wali sembilan dari tanah jawa, dan tokoh-tokoh nasional mengenakan serban Tete Misai berdecak.
Juga, saat memandang gambar dan potret K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Achmad Soorkati, Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, para tokoh pejuang dan ulama di masa lalu.
Decak Tete Misai, itu ditangkap Ete Dapolo, ketika bersama Atok Sengon berkunjung ke perpustakaan pribadi Tuo Baretta, yang ditengoknya, lantaran kurang sehat.
"Apa yang membuat ente berdecak," tanya Tuo Baretta.
"Kesederhanaanya," jawab Tete.
"Ya.. kita kagum. Serban di kepala mereka, sangat saya rasakan, sebagai ekspresi kejujuran, keagungan, kecerdasan, kedamaian, dan keikhlasan berjuang untuk bangsa ini, dan umat.
Tuo Baretta mengungkapkan, apa yang dirasakan Tete dan Ete merupakan ekspresi rasa hormat yang menggetarkan buhul kesadaran.
"Terasa keteduhan, dan sungguh mampu menghadirkan pesona religiusitas penuh damai," ungkap Tuo Baretta, lalu melanjutkan, "Ketika menunaikan ibadah haji, saya senang mencermati cara para imam mengenakan serbannya."
Tuo Baretta menoleh ke arah Atok Sengon yang sedang serius mencermati ikan koi, yang tinggal beberapa ekor lagi. Sebagian sudah mati, lantaran mati lampur tiba-tiba tempo hari, lantaran jaringan sutet (saluran untuk tegangan tinggi) terganggu oleh batang dan daun sengon.
"Ente kan sering pake serban, Tok. Apa yang membuat ente karib dengan serban," tanya Tuo Baretta kepada Atok Sengon.
Atok Sengon cerita. Ketika kecil, dia senang memegang-megang kain yang kemudian menjadi serban kakeknya.
"Tak pernah bisa saya lupa, bagaimana beliau membaca doa, sebelum meletakkan bagian kain serban di keningnya. Lalu, sambil melilitkan dan memilin kain itu hingga membentuk serban di kepalanya, tak henti-henti dia membaca do’a, memohon perlindungan Allah atas pikiran dan hatinya," ungkap Atok Sengon. "Dari kakek, juga saya banyak mendapatkan cerita anedoktal ihwal serban. Salah satunya cerita Abu Nuwas," lanjut Atok Sengon.
Tete Misai tersenyum, hingga misainya nampak indah. Ete Dapolo tertawa.
"Coba cerita serban Abu Nuwas," pinta Ete Dapolo.
Atok Sengon pun duduk di sofa, bersandar, kemudian menegakkan tubuhnya, sedangkan Tete Misai, Ete Dapolo, dan Tuo Baretta duduk di kursinya masing-masing.
Berceritalah Atok Sengon. Begini:
Konon, suatu ketika, Abu Nuwas – sesuai tugasnya -- melaporkan kepada khalifah, laku salah satu menterinya yang suka 'menipu' khalifah.
Ketika nama menteri itu disebut, khalifah terkejut dan marah. Ucapan Abu Nuwas ditepis begitu saja.
“Apa pasal? Kenapa dia,“ tanya Khalifah. “Tengok serbannya.. Dialah satu-satunya menteri yang paling rapi mengenakan serban. Setiap kutanya, ia selalu mengatakan, serban itu dikenakannya sendiri. Cukuplah bagiku, serban itu menjadi pertanda, dia dapat kupercaya, dan tak mungkin menipuku. Jangan karena kau tidak suka, kau sudutkan orang,“ lanjut khalifah.
Abu Nuwas kecewa. Khalifah mengatakan, tak menggubris laporan Abu Nuwas, sampai menunjukkan ketidak-jujuran sang menteri.
Mendapat tantangan semacam itu, Abu Nuwas memata-matai sang menteri.
Akhirnya dia mendapat informasi, sesungguhnya isteri sang menteri lah yang mengenakan serban di kepala suaminya, lantaran sang menteri tak bisa mengenakan serban dengan rapi, dan elok estetikanya.
Abu Nuwas meminta Khalifah mengundang dirinya, hadir dalam pertemuan dengan para menterinya, termasuk menteri yang dilaporkan Abu Nuwas.
Momentum untuk membutikan kebenaran laporannya, didapat Abu Nuwas, saat dia dipanggil ke istana menghadap khalifah.
Nampak sang menteri duduk tertib dengan segaknya yang anggun. Abu Nuwas berjalan di belakang kursi sang Menteri.
Lantas, sekelebat, dia senggol dan tarik ujung lipatan serban sang menteri, sehingga serban itu terurai.
Abu Nuwas tersenyum, dan berujar, sesuai isyarat khalifah: “Mohon ma'af, baginda. Ada baiknya, kita menunggu tuan menteri mengenakan kembali serbannya, sesudah itu, baru kita memulai perbincangan. Bukankah khalifah selalu mendapat informasi, tuan menteri mengenakan serbannya sendiri?“.
Khalifah segera meminta sang menteri mengenakan serbannya, serapi biasanya. Sambil gemetar dan berpeluh, sang menteri melakukan.
Ah, ternyata dia tak bisa mengenakan serbannya seperti sediakala.
Sang menteri tersentak, saat Abu Nuwas bilang, “Baginda, bagaimana mungkin baginda sangat percaya dengan manusia, yang dalam soal serban saja dia berbohong?“
Khalifah tersentak. Ia meminta perdana menteri memeriksa hasil evaluasi kinerja sang menteri. Terbukti, khalifah sering ditipu, dan sang menteri mesti berhenti.
"Serban bukan sekadar penutup kepala, dan bukan sekadar atribut diri supaya disebut wara‘. Serban di kepala ulama adalah ekspresi kesadaran diri untuk melindungi kepala dari pikiran buruk dan artifisial, sesuai yang dicontohkan Rasulullah Muhammad," kata Tok Sengon.
"Kau betul, Tok..," kata Tuo Baretta. "Karena itu, saya belum berani mengenakan serban," lanjutnya.
"Di balik serban, tersimpan impressi kejujuran dan keikhlasan, yang menebar kebajikan, kearifan, kedamaian, kebenaran, dan ketegasan sikap ikhlas memperjuangkan segala yang haq," sambut Tete Misai.
Ete Dapolo bicara. Dia bertanya, "Dengan pikiran seperti ini, apa komentarmu dengan sorban di kepala teman kita yang gigih berteriak di acara televisi, itu?"
"Saya tidak berani berpresumsi, Ete.. Itu cuma songko dibebat kain putih.. Ete.. mungkin supaya tak sering sakit kepala," jawab Atok Sengon.
Mereka tertawa. Tuo Baretta nampak senang hati. Tete Misai menasehati, "Tuo Baretta tak perlu pakai serban, tak juga perlu membersihkan kolam ikan koi sendiri.." Lagi mereka tertawa... |
BACA JUGA: Terompah