Selamat Pulang Menuju Sang Maha Sutradara Bung Ali Shahab

| dilihat 2152

Kenangan N. Syamsuddin Ch. Haesy

Kabar duka, saya terima tadi sore (Selasa, 25/12/18) dari Prof. Yasmin Zackry Shahab, lewat pesan whatsapp.  Habib Ali bin Habib Sholeh Shahab, adik kandung wartawan dan budayawan senior Alwi Shahab.

Ketika menerima kabar duka itu, saya masih dalam perjalanan, sehingga sempat mengabarkan di grup Whatsapp dan menulis dalam status facebook (FB) saya.

Allahyarham yang beken dengan nama Ali Shahab, wafat hari Selasa (25/12/19) sekira pukul 15.00 waktu Indonesia Barat. Lelaki keren kelahiran Jakarta, 22 September 1941 yang biasa saya panggil Bang Ali, ini seorang sahabat yang hangat.

Allahyarham adalah jurnalis, sastrawan, dan sineas yang piawai. Karya-karyanya sempat mewarnai bioskop Indonesia  dekade 70-an karena seringkali box office.

Film debutan yang melambungkan namanya di jagad perfilman Indonesia adalah Bernafas Dalam Lumpur (1971), Bumi Makin Panas (1973), dan Napsu Gila (1973) yang kesemuanya dibintangi Suzanna.

Pendiri Teater September (antara lain bersama Hj. Rahayu Effendy - ibu kandung Dede Yusuf) ini kemudian menggarap sejumlah film yang melambungkan nama Tanty Yosepha, Yati Octavia dan Roby Sugara (Rahasia Perawan, 1975).

Nama Tanty Yosepha dan Roby Sugara kian melejit, ketika Ali memilihnya sebagai bintang utama film Ranjang Siang Ranjang Malam (1976). Tanty masih dipercaya membintangi film Ali berikutnya, Gaun Hitam (1977).

Pada filmnya bertajuk Napas Perempuan (1978), Ali merekrut Riy Marten dan Rory Anna berperan sebagai pemerannya. Di Tahun itu juga, Suzanna kembali bermain di filmnya, Pulau Cinta.

Pada filmnya bertajuk Detik-Detik Cinta Menyentuh (1981), kembali Tanty Yosepha, Robby Sugara membintangi film itu bersama Rano Karno, dan Christine Panjaitan.

Ali kemudian beralih ke film komedi slap stick yang menjadi parodi film The Six Million Dollar Man dengan menyutradarai film Manusia Enam Juta Dolar (1981) yang dibintangi oleh Eva Arnaz dan Warkop.

Eva Arnaz juga dipercaya Ali berperan dalam filmnya bertajuk Gadis Bionik (1982), dibintangi oleh Eva Arnaz.

Empat tahun kemudian, nama Rani Zoraya dan Nia Dicky Zulkarnaen mencuat, ketika direkrut Ali bermain dalam filmnya bertajuk Cemburu Nih Yee... (1986). Setahun kemudian, Ali kembali merekrut Tanty Yosepha lewat filmnya bertajuk Misteri Sumur Tua (1987). Akan halnya ewanty Bauty mencuat namanya, ketika direkrut Ali bermain dalam filmnya bertajuk Kisah Anak-Anak Adam (1988).

Ali yang humoris, meski serius, seorang yang hangat. Karena sering mengeritik karya-karyanya, hubungan saya dengan Allahyarham menjadi dekat.

Ali menerima kritik yang ditujukan kepada karya-karyanya, dan dia memberikan berbagai atgumentasi mengapa dia membuat film-film yang kala itu sangat mengikuti arus komersialitas.

Saya ingat, ketika Ali mengatakan, ada masanya seorang seniman mengikuti pusaran komersial, dan harus selalu siap menerima kritik. Kendati demikian, tak seluruh karya yang dibesutnya mengikuti arus pusaran itu.

Kepada saya Ali sering membuka ruang diskusi untuk mengupas film-film karyanya, mulai dari aspek cerita, pesan yang hendak ditawarkan melalui filmnya dengan melihat realitas sosiologis khalayak penontonnya.

Sebagai sutradara, Ali paham dimensi 'kebebasan' kreatifnya. Apalagi pada masa itu, persyaratan produksi dan menyutradarai film sangat ketat, dan sungguh dikendalikan pemerintah dan produser.

Saya ingat, ketika Allahyarham berargumen tentang jarak kepentingan produser, penonton dan aturan pemerintah, serta konsep artistik dan estetik sutradara. Termasuk batasan-batasan yang mungkin secara etik. Dengan Allahyarham saya sering diskusi intens tentang konsep kreatif, format dan formula film-filmnya.

Dalam diskusi itu tak jarang sudah sampai ke sisi substansi dan teknis. Antara lain aspek dramatika dan dramaturgi film.

Hubungan saya kian karib dan intens dengan Allahyarham, ketika Ali Shahab mengambil jarak dengan film layar lebar dan mengisi programa siaran TVRI sekali sepekan (setiap hari Ahad) untuk mengimbangi The Little Prairie House yang diperuntukan bagi anak-anak dan belia usia 13 tahunan.

Ali kemudian mengagas sinetron seri dengan model produksi mandiri, yang sangat ditunggu poemirsa televisi, yakni Rumah Masa Depan (RMD). Ini merupakan sinetron pertama yang diproduksi di Studio Alam TVRI - Cimanggis.

Di film keluarga Pak Sukri (Deddy Sutomo, Aminah Cendrakasih, Hamid Arief, Mak Wok, Soekarno M. Nooer, Septian Dwi Cahyo, Andi Anzi, Yona Kamarullah, Bung Salim, S. Bono, dan lain-lain).

Ini sinetron seri yang banyak dipujikan sebagai model format dan formula film yang memadukan anasir tontonan sekaligus tuntunan. Tema-tema yang diangkat dalam sinetron ini realitas pertama kehidupan masyarakat pedesaan dengan segala problematikanya.

Lewat Rumah Masa Depan, Allahyarham mengalirkan konsep etik - akhlak kariimah sebagai basis relasi korelasi masyarakat rural yang tinggal di lingkungan masyarakat sub urban, yang bisa berinteraksi dengan lingkungan budaya masyarakat urban.

Sampai saat ini, boleh jadi RMD masih merupakan film edutainment terbaik yang pernah diproduksi dan disiarkan televisi di Indonesia. RMD kemudian menginspirasi sinetron seri Jendela Rumah Kita (JRK) yang mempopulerkan nama Dessy Ratnasari dan Dede Yusuf, dan kemudian Keluarga Tjemara yang diangkat dari karya penulis produktif masa itu, Arswendo Atmowiloto. JRK juga menjadi debut sutradara TVRI Dedy Setiady, sebelum Sitti Nurbaja.

Lewat RMD Allahyarham saya sebut melakukan hijrah total, dan kelak menunjukkan penguasaannya tentang format dan formula komunikasi dakwah sangat luar biasa. Dia berdakwah tanpa terasa dakwahnya, yang disebut Allahyarham sebagai sinetron dengan format nida' - menyampaikan pesan-pesan edukasi keislaman dalam gaya ungkap dan performa yang simpel.

Karya-karya Ali, termasuk Angkot Haji Imron, kemudian menginspirasi format dan formula produksi sinetron televisi oleh sejumlah production house (PH). tak banyak yang bisa mengimbangi karya-karyanya, kecuali Si Doel Anak Sekolahan (Rano Karno), Mat Angin - Abu Mawas - Kisah Sang Pengembara - Demi Masa (Deddy Mizwar), kala itu.

Karena ada bagian-bagian split dalam Si Doel Anak Sekolah yang cenderung memilih segmen middle up, serta Mat Angin  dan Abu Mawas yang memilih segmen pemirsa middle - middle, dengan based sosio budaya Betawi, Ali menggagas dimensi lain dari Betawi, lewat opera sampakan, Pepesan Kosong.

Kala itu, sebagai penanggungjawab programa siaran, saya berdiskusi intens dengan Ali Shahab, bahkan di lokasi shooting, Studio September di Cimacan - Cibodas. Terutama karena Ali Shahab menawarkan formula baru keseimbangan porsi adegan indoor - outdoor dengan konsep lenong.

Allahyarham memilih pemain-pemain yang khas, seperti Nazar Amir, Etty Sumiati, Nirin Kumpul, Omas, Nasir, dan Bolot.

Konsepnya jelas, menghadirkan harmonisasi Betawi Ora dan Betawi pinggiran. Misinya, tak hanya sekadar melestarikan model teater tradisional Lenong, karena berbagai anasir dramatik dari Topeng (termasuk Topeng Banjet) diblendid dengan pola garap dramatik dan akting yang harmonis.

Saya menjaga sisi edukasi dalam lingkup yang lebih luas dengan pendekatan pedagogis dan tak terjebak pada rumusan-rumusan didaktikal. Allahyarham Ali Shahb sepakat karena perlu invensi.

Caranya? Menggelontorkan realitas sosiologis masyarakat Betawi pinggiran yang termarginalkan ( orang-orang gusuran) menjadi subyek di kampungnya sendiri. Pepesan Kosong juga secara sengaja bergenit-genit dengan teknologi optical masa itu dalam proses editing.

Allahyarham bahkan menggarap juga theme song, yang mampu menyedot kaum perempuan sebagai khalayak sasaran utama sinetron seri itu, untuk menonton.

Hasilnya memang luar biasa. Fahmi Alatas dan Yunarsih Nazar yang ketika itu menjadi atasan saya teryakini oleh kreativitas Allahyarham yang melihat sisi edukasi dengan pendekatan lain. Kala itu saya masih memimpin Bidang Program.

Ketika kemudian menjabat General Manager Operasi -Televisi Pendidikan Indonesia - TPI, saya minta Allahyarham melakukan eksplorasi atas potensi medium Pepesan Kosong, untuk menyajikan saluran kritik masyarakat terhadap realitas.

Terbangunlah di situ miniatur negara yang mencerminkan Tokoh yang mendominasi khalayak, sekaligus yang intuitive (Nazar Amir), Hansip yang selalu salah berfikir dan sibuk sentak sengor (Malih Tongtong dan Nirin Kumpul), sosok perempuan bawel dengan dominansi kuat (Etty Sumiati), dan pemimpin masyarakat yang tuli (Bolot) dan menyebalkan. Inilah yang kemudian membawa berkah bagi Haji Bolot sampai kini.

Pepesan Kosong adalah miniatur masyarakat dalam perspektif dan persepsi masyarakat Betawi. Materi dan pesan dalam Pepesan Kosong, masih relevan hingga kini, ketika pada realitas pertama sosiologis, gerakan reformasi berbubah menjadi gerakan deformasi.

Allahyarham sangat berjasa dalam dunia perfilman dan televisi, dan yang pasti, sangat berjasa memberi dimensi dan varian kuat tentang budaya Betawi (termasuk nilai sosiologis masyarakatnya). Tak terkecuali, mengkhalayakkan Betawi ke seantero negeri.

Selamat pulang ke Sang Maha Sutradara, Bang (Bung) Ali Shahab. Semoga masih ada seniman dan budayawan Betawi yang meneruskan kreativitas dan inovasi allahyarham. Termasuk kesadaran sejumlah pemilik dan pengelola televisi yang pernah berjanji menghadirkan budaya Betawi secara tepat dan benar ! |

Editor : Web Administrator
 
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 239
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 463
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 454
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 424
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya
Energi & Tambang