Penghargaan Akademi Jakarta 2021

Masyarakat Adat Laman Kinipan Gigih Pertahankan Hutan Adat

| dilihat 800

Akademi Jakarta yang dipimpin Ketua Seno Gumira Ajidarma, memilih Masyarakat adat Laman Kinipan sebagai penerima Penghargaan Akademi Jakarta 2021 untuk ketagori masyarakat yang gigih menyelamatkan lingkungan hidup mereka sebagai penyelamatan kebudayaan dalam makna luas.

Penghargaan yang dilakukan secara daring, Senin (28/6) itu, disambut baik oleh Efendi Buring bersama pemimpin masyarakat Adat Kinipan. Mereka termasuk etnis Dayak Tomun yang berdomisili di Desa Kinipan, Kecamatan Batang Kawa, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah.

Komunitas  yang terdiri dari 239 keluarga dan 938 jiwa, itu bergantung hidup pada hutan. Dengan cara itu juga mereka melestarikan dan mengembangkan kebudayaan yang tumbuh di atasnya dengan gigih.

I Sandyawan Sumardi, anggota Akademi Jakarta, menyampaikan pertimbangan-pertimbangan, mengapa mereka terpilih untuk menerima penghargaan dalam kategori yang pertama kali diselenggarakan Akademi Jakarta. Tahun-tahun sebelumnya penghargaan hanya diberikan untuk kategori personal seniman atau budayawan.

Masyarakat adat Kinipan, menurut Efendi Buhing, tidak menduga akan memperoleh penghargaan itu. Ia mengatakan, menjaga, melindungi, dan melestarikan hutan adalah kewajiban alamiah mereka mempertahankan hak dasar sebagai masyarakat adat.

Buhing berterima kasih atas penghargaan itu, terutama karena merasa tak lagi hanya berjuang sendirian.

Berikut adalah berbagai pertimbangan yang dikemukakan Sandyawan pada kesempatan penyerahan penghargaan yang disiarkan langsung melalui saluran YouTube Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) :

Dari hutan, mereka mengambil dan memanfaatkan rotan, karet, durian, jengkol, obat-obatan, kayu bakar, madu, ikan, binatang buruan, kayu untuk membangun rumah, dan lainnya. 

Hutan Kalimantan, salah satu paru-paru dunia, menyediakan semua yang mereka butuhkan untuk hidup, termasuk lingkungan yang baik dan sehat.

Hutan bagi komunitas adat bukan sekadar penyedia kebutuhan hidup. Ia adalah juga ruang hidup dan identitas serta basis kehidupan sosial budaya komunitas. 

Pada tahun 2012, kedamaian hidup masyarakat adat Laman Kinipan terganggu oleh kehadiran pihak Perusahaan Sawit PT Sawit Mandiri Lestari (SML) yang menginformasikan pada mereka tentang rencana mereka akan investasi perkebunan sawit di wilayah hutan adat Kinipan. 

Luas wilayah adat Laman Kinipan 16.169,942 hektar, terdiri dari 70% hutan rimba dan 30% lahan garapan masyarakat dan pemukiman. 

Pada April 2016, masyarakat adat Kinipan sudah merilis pemetaan wilayah adat Laman Kinipan dengan dihadiri oleh Asisten III Kabupaten Lamandau, anggota DPRD Lamandau, Pengurus Wilayah AMAN Kalteng, PW BPAN Kalteng, dan Dewan Wilayah AMAN Kalteng. 

Pada awal 2018, komunitas adat Kinipan juga ambil bagian dalam rapat koordinasi nasional hutan adat yang diselenggarakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). 

Pada saat itu mereka mengajukan pencadangan hutan adat kepada KLHK, Mereka sudah memiliki peta wilayah adat dan sudah diverifikasi. 

Meskipun pihak perusahaan Sawit PT SML berulangkali datang untuk melakukan lobi-lobi, namun masyarakat adat Laman Kinipan tetap teguh bersepakat untuk menolak adanya investasi perkebunan sawit di wilayah adat mereka. 

Pada Februari 2018, PT SML datang dengan alat berat menebang kayu-kayu besar di hutan adat Kinipan. Kayu jelutung, meranti, ulin, kapang tumbang. Pepohonan dihancurkan dan langsung ditanami sawit. 

Dalam sekejap hutan adat berubah status menjadi alokasi penggunaan lain (APL). Kayu-kayu besar berganti menjadi tanaman sawit. 

Pembabatan hutan berjalan lancar karena dilindungi aparat bersenjata. Hanya berbekal ijin lokasi dan ijin usaha perkebunan, PT SML membabat hutan adat Laman Kinipan.  Wilayah adat Laman Kinipan tak dianggap ada. 

Tiga surat yang dilayangkan komunitas adat Laman Kinipan pada pihak perusahaan juga diabaikan. 

Surat pertama berisi penolakan dan penghentian operasi perusahaan di wilayah adat.  Surat kedua mengajak perusahaan untuk duduk bersama masyarakat adat.  Surat ketiga adalah tuntutan adat pada perusahaan sawit. Masyarakat adat Kinipan menetapkan denda pada PT SML sebesar Rp.5 miliar karena telah melakukan pelanggaran adat. 

Komunitas adat Laman Kinipan tak habis pikir. Mengapa hutan yang berisi tanaman-tanaman kayu yang bernilai ekonomi tinggi, jengkol yang harganya Rp16.000 per kg, madu, rotan, binatang buruan dan lainnya diganti dengan tanaman sawit yang harganya hanya Rp900 sampai 1.400 per kg. 

Teori ekonomi macam mana yang dipakai pemerintah untuk menghitung keuntungan ekonomi hingga mengijinkan hutan yang tak ternilai harganya itu diganti menjadi sawit yang begitu murah harganya? 

Komunitas adat Laman Kinipan tidak begitu saja menolak kehadiran perkebunan sawit tanpa perhitungan dan tanpa pertimbangan. 

Mereka sudah belajar banyak dari desa-desa lain yang telah dipaksa menerima sawit dan bergantung hidup pada industri sawit. 

Hidup mereka kian memburuk karena ganti rugi lahan dan plasma 2 hektar yang mereka terima tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan karenanya mereka banyak terbebani utang.

Selain itu, setelah perkebunan sawit masuk ke desa-desa, kehidupan masyarakat desa menjadi sarat konflik.  Seluruh sistem adat dan budaya yang berbasis pada hutan dan ladang terancam menjadi terpecah.

Penelitian Borneo Nature Foundation, Maret 2019, menyimpulkan bahwa sejumlah satwa liar spesies langka di sejumlah hutan Kalimantan Tengah, akibat pembabatan hutan ini, mereka terancam semakin punah.

Penelitian itu mendokumentasikan sebanyak 34 spesies mamalia yang 19 di antaranya dilindungi oleh hukum dan 108 spesies pohon yang 12 di antaranya rentan dan terancam.

Kemudian sebanyak 118 spesies burung yang 27 di antaranya dilindungi oleh hukum dan amphibi yang 5 di antaranya dilindungi oleh hukum serta 20 spesies ikan. 

World Coservation Union mengklarifikasikan 2 dari spesies ini statusnya sangat terancam punah, yakni otangutan Kalimantan dan ibis berbulu putih. Di samping itu 4 lainnya berstatus terancam punah dan 16 dalam kondisi rentan.

Perjuangan masyarakat adat Laman Kinipan untuk mempertahankan hutan mereka sungguh tidak mudah.  Namun mereka tidak begitu saja menyerah meskipun yang mereka hadapi adalah kekuatan perusahaan besar yang didukung kekuasaan negara.  Mereka sudah dikriminalkan dan juga sudah mengalami tindak kekerasan oleh aparat negara. 

Mereka sudah datang ke Jakarta untuk mengadukan masalahnya pada pihak-pihak yang punya kuasa untuk membantu mereka: Kepala Staf Kepresidenan, Kementerian LHK, dan juga Komnas HAM. Semua macet di hadapan dalih legalitas. 

Senin 4 Januari 2021, Masyarakat Adat Laman Kinipan secara resmi telah mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Palangka Raya dengan No Register 1/P/FP/2021/PTUN.PLK, dimana yang menjadi tergugatnya adalah Bupati Lamandau, Provinsi Kalimantan Tengah.

Komunitas adat Laman Kinipan dinilai tidak punya hak karena tidak bisa menunjukkan selembar kertas yang menyatakan bahwa hutan yang ada di Laman Kinipan adalah hutan adat Laman Kinipan. 

Padahal pemerintah-lah yang tidak menjalankan kewajiban untuk memberikan selembar surat legalitas dan menetapkan hutan di Laman Kinipan sebagai hutan adat Laman Kinipan meskipun komunitas tersebut sudah mengajukan peta wilayah adat mereka pada pemerintah. 

Kalau pemerintah taat menjalankan keputusan Mahkamah Konstitusi tentang hutan adat, maka negara akan dengan segera memberikan pengakuan hak pada masyarakat adat Laman Kinipan atas hutan adat mereka.

Bandingkan dengan sikap negara yang begitu mudah memberikan legalitas pada korporasi untuk membabat jutaan hektar di Kalimantan Tengah. 

Badan Pengelola Reducing Emission From Deforestation and Forest Degradation Plus (REDD+) mencatat, 80 persen hutan di Kalimantan Tengah telah beralih fungsi menjadi perkebunan sawit dan pertambangan. 

Ini membuat Kalimantan Tengah menjadi provinsi dengan angka deforestasi tertinggi di Indonesia.  Ini juga menunjukkan betapa ekspansi perkebunan sawit yang tidak terkendali dan tata kelola hutan dan sumberdaya ekonomi negara yang buruk, yang menciptakan ketidakadilan dan ketimpangan.  Yang seperti ini tidak hanya terjadi di Kalimantan Tengah tetapi hampir di seluruh wilayah Indonesia. 

Negara sudah melepaskan 80 persen atau jutaan hektar hutan di Kalimantan Tengah untuk diberikan pada korporasi.  Ironisnya negara masih juga merampas hutan yang jadi hak masyarakat adat untuk diberikan pada korporasi. 

Selain itu negara juga melakukan perampasan besar-besaran wilayah adat yang ada di desa-desa adat di Kalimantan Tengah lewat penetapan secara semena-mena wilayah adat sebagai kawasan hutan. Ini banyak terjadi di tahun 2012.  Bukankah ini jelas merupakan sebentuk penyelewengan atas pelaksanaan pasal 33 Konstitusi kita UUD 1945?

Komunitas adat Laman Kinipan sejak lama dikenal sebagai komunitas yang gigih menolak berbagai investasi yang berdampak pada perusakan hutan dan lingkungan. 

Di saat mayoritas desa-desa di Kabupaten Lamandau dan Kalimantan Tengah pada umumnya sudah dihabisi hutannya, masyarakat adat Laman Kinipan dengan kearifannya memilih untuk berjibaku menjaga hutan dan wilayah adat mereka dari serbuan investasi yang merusak lingkungan. 

Mereka sudah berkontribusi menjaga kelestarian hutan.  Namun ironisnya bukan penghargaan yang mereka terima melainkan hukuman. 

Entah sudah berapa warga komunitas adat di Indonesia yang meregang nyawa, terluka dan dikriminalisasi hanya karena mempertahankan hutan. 

Indonesia dan juga dunia punya utang besar pada masyarakat adat yang selama ini telah berperan besar dalam menjaga kelestarian bentang alam hutan tanpa dibayar dan cenderung tanpa dukungan negara. 

Karenanya perjuangan masyarakat adat untuk mempertahankan hutan bukan hanya patut didukung dan diapresiasi, melainkan juga merupakan utang kita pada masyarakat adat yang harus segera kita bayar, harus dibayar oleh negara.

Beranjak dari realitas demikian, Akademi Jakarta menyampaikan beberapa rekomendasi:

(1). Menghentikan kekerasan dan kriminalisasi terhadap masayarakat adat Laman Kinipan dan segera keluarkan hutan adat Laman Kinipan dari HGU perusahaan sawit PT SML. 

(2). Menghentikan ekspansi perkebunan sawit yang sudah tidak terkendali dan benahi tata kelola industri perkebunan sawit untuk menyelesaikan berbagai persoalan ketidakadilan dan pelanggaran HAM yang terjadi di sektor ini.

(3). Memperbaiki  tata kelola sumberdaya ekonomi negara untuk menjamin transparansi, keadilan dan inklusi serta mengoreksi ketimpangan dan memberantas penyelewenangan/korupsi.

(4). Memperpanjang Inpres Moratorium Sawit untuk memberikan kesempatan bagi pemerintah pusat, pemerintah daerah, para pelaku industri perkebunan sawit dan masyarakat untuk mewujudkan tata kelola yang baik di sektor kehutanan dan sektor industri sawit.

(5). Mengesahkan Undang-Undang Perlindungan Masyarakat Adat yang sudah lama dijanjikan oleh pemerintah.

(6). Menjauhkan diri dari pembangunan yang hanya mengutamakan ekstraksi sumber daya alam secara berlebihan, serta menjauhkan diri dari pembangunan yang memprioritaskan alokasi sumberdaya ekonomi negara untuk usaha-usaha konglomerasi dan meminggirkan kelompok-kelompok marjinal, juga kita harus menjauhkan diri dari pembangunan yang hanya berfokus pada pertumbuhan ekonomi (GDP) belaka, dan sebaliknya kita justru harus segera memperluas pembagunan pada sektor-sektor publik yang membutuhkan perhatian serius, yaitu: energi bersih, kesehatan, ekologi, pendidikan, dan lain-lain sebagainya

Kita harus berjuang sekuat daya untuk menghentikan secara radikal tumbuh-kembangnya sektor-sektor yang tidak berkelanjutan. Karena pola dan peran mereka yang de facto telah mendorong konsumsi berlebihan dan berbahaya bagi ekologi global terutama sektor privat seperti minyak, gas, tambang, sawit, periklanan dan lainnya. 

(7). Transformasi pertanian menuju pertanian yang dapat diperbarui berdasarkan perlindungan kepada keragaman hayati; produksi pangan yang bersifat lokal dan berkelanjutan serta sistem pertanian yang adil memperhatikan kondisi dan upah pekerja. 

(8). Menjalankan kebijakan ekonomi yang lebih berfokus pada redistribusi, dengan mewujudnyatakan “universal basic income” (pendapatan dasar universal) yang berakar pada “universal social policy system” (sistem kebijakan sosial universal).

(9). Kebijakan pajak yang lebih tegas utamanya mendorong pajak progresif penghasilan, pajak keuntungan dan pajak kekayaan. 

(10). Berani mentransformasikan orientasi politik kita menjadi "Politik Hijau", atau "Ekopolitik", yang merupakan ideologi politik dengan tujuan untuk mengembangkan masyarakat berkelanjutan secara ekologis yang senantiasa berakar pada lingkungan hidup, antikekerasan, berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab, dan demokrasi akar rumput.

(11). Memperjuangkan terwujudnya tiga pilar Trisakti: mandiri di bidang ekonomi, berdaulat dalam politik dan berkarakter dalam budaya.

Mendesak untuk  mewujudkan agenda  demokratisasi ekonomi dengan menjunjung asas kekeluargaan dan kegotong royongan, serta selalu menjunjung tinggi nilai-nilai dan prinsip koperasi dalam setiap gerak perjuangan.

Pendek kata,  kebijakan yang sangat mengutamakan masyarakat, justru karena prinsip  berkelanjutan, kesetaraan dan keberagaman - kemanusiaan yang adil dan beradab, yang kita yakini bakal lebih mampu mencegah dan menangani guncangan-gunjangan di negeri ini dengan lebih baik, termasuk yang terkait dengan perubahan iklim, dan wabah pandemi yang tengah berlangsung menerjang kehidupan kita dan yang akan datang..! | delanova / haedar muhammad

Informasi terkait: Remy Sylado Bianglala Kebudayaan Indonesia dan Penghargaan Akademi Jakarta 2021 bagi Remy Sylado dan Masyarakat Adat Kinipan.

Editor : eCatri | Sumber : AJ, YouTube DKJ
 
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 823
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1089
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1342
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1483
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1096
Rumput Tetangga
Selanjutnya