Prof. Dr. Endang Caturwati Respon Rekomendasi Akademi Jakarta

Pendidikan Seni Budaya Hidupkan Akal Budi

| dilihat 896

Prof. Dr. Endang Caturwati, ST., MS., Guru Besar Seni Pertunjukan Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, merespon baik Rekomendasi Akademi Jakarta, "Cegah Penghancuran Nalar Publik," khasnya Bidang Pendidikan.

"Pendidikan seni budaya menghidupkan akal budi, mendidik manusia menjadi jujur, membangun simpati, empati, apresiasi, respek, toleran, demokratis, berkemanusiaan, dan menjadi bekal untuk berbuat adil," tegasnya.

Endang merespon rekomendasi AJ yang disampaikan kepada publik (Jum'at: 28/1/22) - yang menegaskan, seni-budaya, merupakan medium pendidikan yang paling tepat untuk membangun daya imajinasi serta mengolah naluri dan rasa yang memanusiakan manusia.

Karenanya, pendidikan seni-budaya selaiknya dipahami sebagai landasan bagi pembentukan watak dan pemanusiaan manusia. Untuk itu, pendidikan seni-budaya perlu mengisi jenjang pendidikan mulai paling dasar hingga pendidikan tinggi.

Dalam perbincangan program Tilik Bang Sem - Salam Radio (Rabu, 9/2/22 malam) penari dan koreogfrafer berbasis karawitan, Ketua Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung (2012-2013) tersebut mengemukakan, rekomendasi Akademi Jakarta (AJ) yang menegaskan, bahwa rekomendasi AJ tersebut sangat baik dan seharusnya memang seperti itu.

 "Saya menanggapi rekomendasi tersebut sebagai sesuatu yang positif," tegasnya. "Karena memang, pendidikan seni dan budaya harus dilaksanakan dari tingkat pra sekolah sampai pendidikan tinggi."

Endang juga sepaham dengan pandangan AJ, bahwa pendidikan yang membangun kepekaan tidak dapat bersifat linear dan hanya berada di tataran kognitif belaka.

Dalam pertumbuhan manusia, menurut Endang, usia dini merupakan golden age yang sesungguhnya. Masa yang peka untuk anak-anak, penuh stimulus untuk bisa menyerap segala hal. Masa perkembangan yang sangat luar biasa.

Terutama dalam memenuhi keperluan mengembangkan daya kritis, daya cipta dan nalar inovatif secara terpadu, yang menyeimbangkan teori dengan praktik, keilmuan dengan kehidupan sehari-hari, pikiran dengan rasa, nurani dan empati. Pemenuhan keperluan itu, menurut Rekomendasi AJ, dapat dipelajari dari Ki Hajar Dewantara (melalui Taman Siswa) dan Ungku Mohammad Syafei (melalui Sekolah Kayu Tanam).

Oleh karena itu, menurut Endang, orang tua sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya, mesti berkesadaran dalam memberi peluang anak-anak mereka bersentuhan dengan seni dan budaya. ( Simak Dialog Salam Radio : Peran Pendidikan Seni Budaya Mencegah Luruhnya Jati Diri Anak Bangsa)

Pengalaman anak dalam proses pendidikan seni budaya, kelak berkaitan dengan pendidikan karakter mereka. "Apalagi kini, ketika kehidupan anak dipengaruhi oleh teknologi digital," ungkapnya.

Dari cara pandang ini, Endang melihat rekomendasi AJ, relevan dengan perkembangan zaman. Apalagi, AJ menegaskan, bahwa pendidikan seni-budaya berpeluang menyalakan kepekaan siswa terhadap keragaman budaya, baik nasional, regional, maupun global. Pendidikan seni dapat menghidupkan rasa-budaya lokal melalui ungkapan multimedia dan jelajah digital dengan memanfaatkan perkembangan sains dan teknologi. Dapat memperkuat aspek humanistik sains dan teknologi.

Ia juga sependapat untuk sama menyatakan, bahwa pendidikan seni-budaya yang sesuai dengan konteks zaman tidak saja memupuk rasa keindahan, tetapi dapat menukik hingga mencapai kepekaan terhadap alam, rasa kemanusiaan dan keadilan, solidaritas terhadap kaum terpinggir, penajaman nurani, dan sikap kritis terhadap penyalahgunaan kekuasaan.

Selain itu, seperti pandangan AJ, seni perlu mendapat peran yang sentral dalam sistem pendidikan nasional, bukan sekadar pelengkap dalam muatan lokal. Pendidikan seni berperan sebagai daya gugah dalam pencerdasan kehidupan berbangsa dan ruang persemaian agen-agen perubahan di tingkat lokal dan global.

"Kini, anak-anak dan cucu kita peka dengan berbagai informasi visual," tegasnya. "Kalau dulu, orang tua mendidik dan mengajari anak-anaknya untuk karib dengan seni, antara lain dengan nembang dan bernyanyi saat meninabobokan  anak-anaknya."

Orang tua adalah kalangan paling dekat dengan anak-anak yang tumbuh sebagai pribadi manusia utuh, dalam berinteraksi dan mengapresiasi seni. "Setelah itu, baru guru dan teman," jelasnya.

Kini, menurut Endang, orang tua perlu memanfaatkan hal-hal positif dari perkembangan teknologi informasi menjelajahi dunia digital.

"Betul, bahwa teknologi informasi dan eksplorasi budaya lokal dalam jelajah digital bisa memperkuat aspek humanistik, pemanusiaan manusia," tegas Endang yang juga Koordinator Kluster Humaniora Asosiasi Profesor Indonesia.

Menurut Direktur Pembinaan  dan Film, kemudian Direktur Kesenian Kemendikbud (2013-2016) ini,  setiap daerah  di Indonesia mempunyai karya seni budaya yang unik dan luar biasa kaya. Semua karya kreativitas dan ekspresi seni budaya lokal yang beragam, itu yang di dalamnya mempunyai nilai kearifan dan kecerdasan lokal.

Setiap produk seni budaya lokal di Indonesia, selalu menawarkan pesan-pesan kebajikan, mulai yang paling sederhana, seperti dolanan anak-anak, pantun, syair, tari, ritual dan lain-lain. "Semuanya mempunyai makna dan relevan dengan pembentukan karakter dan sikap hidup," ungkapnya.

Relevan dengan itu, katanya, ketahanan budaya merupakan dasar penting dalam ketahanan nasional bangsa ini. Terutama berkaitan dengan pematangan akal budi. "Inilah yang memperkuat khalayak dalam menghadapi proses penghancuran nalar publik," ungkapnya selepas berbincang, menegaskan apa yang dikemukakannya ketika on air.

Beranjak dari pandangan tersebut, ketika sedang dalam pendidikan Lemhanas (2012), terinspirasi oleh tembang Kelangan, Yus Wiradireja - Pembantu Ketua STSI Bandung kala itu, Endang menciptakan Tari Kelangan yang relevan dengan kegusaran para anggota AJ tentang penghancuran nalar publik, dan kegusaran berbagai kalangan terhadap luruhnya jati diri anak bangsa.

Tari Kelangan, menurut Endang, menggambarkan ‘citra diri manusia masa kini’, yang kerap lupa akan nilai-nilai hakiki. Berbuat yang berlawanan dengan hati nurani. Akibatnya, manusia menjadi kelangan (kehilangan) jati diri, selalu dihantui oleh keresahan dan kegelsahan dalam menghadapi fenomena kehidupan sehari-hari di tengah pusaran arus perubahan zaman.

Karenanya, harus selalu diupayakan penyadaran untuk menghidupkan semangat memperbaiki diri, agar manusia selalu mengingat (kelingan) kepada Sang Ilahi. Memadukan ikhtiar dan doa menemukan dan melakoni kehidupan di atas, jalan yang lapang sebagai bekal kehidupan di masa yang akan datang.

Tari Kelangan, menurutnya, memberikan tawaran filosofi, kesugguhan secara tanpa henti memelihara spirit, agar manusia tidak lupa diri, termasuk dengan kebahagiaan semu, jebakan fantasi.

Endang mengatakan, kini di tengah terbatasnya waktu orang tua untuk menghidupkan kesadaran atas pentingnya pendidikan seni, maka lembaga pendidikan formal, harus menguatkan kesadaran tersebut. Pendidikan Seni dan Budaya di sekolah, misalnya, jangan hanya menjadi embel-embel, dan harus dikelola secara serius. Apalagi, ketika Direktoran Kesenian juga sudah dihapuskan dari struktur Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Ristek dan Teknologi.

Endang menyatakan, dia pernah secara terbuka dan langsung meminta Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy dan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil (Desember 2019) untuk memberi perhatian tentang hal ini.

Ketika itu, Endang meminta pemerintah mengangkat guru-guru kesenian dengan latar belakang pendidikan seni, karena banyak di antara mereka yang selama puluhan tahun menjadi guru honorer.

Dari pengalamannya, menurut Endang, pada setiap berlangsung kegiatan pelatihan atau workshop pendidikan seni, guru yang berlatar pendidikan seni, hanya satu dua orang saja.

Status guru honorer di tengah kehidupan yang kian pelik, menjadi tidak menarik. Hanya satu segelintir saja yang bertahan, selebihnya beralih ke dunia seni hiburan.

Ketika menjabat Direktur Kesenian, Endang mengambil inisiatif menyelenggarakan program Belajar Bersama Maestro dan Seniman Masuk Sekolah. Juga memberikan bantuan perangkat dan instumen seni ke sekolah-sekolah.

Pendiri Rumah Seni Hapsari - Bandung, ini kemudian mengingatkan, kini perlu pembenahan menyeluruh, termasuk kurikulum. Juga, perlunya melibatkan dunia usaha untuk mengembangkan tanggungjawab budaya perusahaan (corporate cultural responsibility). Tak terkecuali menghidupkan kesadaran masyarakat, terutama kalangan kaum yang berlebih, termasuk kalangan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan swasta untuk menguatkan penyelenggaraan pendidikan seni. Termasuk menyediakan beasiswa bagi siswa dan mahasiswa.

Endang kembali mengingatkan seluruh kalangan untuk memberi perhatian pada pendidikan seni budaya.|E. Tyas - Sara

Editor : delanova | Sumber : SALAM RADIO
 
Energi & Tambang
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 168
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 340
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 365
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 335
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya