N. Syamsuddin Ch. Haesy
SAYYIDINA Ali menjelaskan, dalam proses penciptaan alam, khususnya bumi, tempat Tuhan menitipkan sebagian kecil saja dari kekayaan dan kemurah-hatiannya kepada manusia, pertanda yang bisa dipahami oleh manusia adalah waktu. Artinya, sumber daya alam yang diperuntukan bagi kehidupan manusia, itu mengali proses pembentukan dalam waktu yang sangat panjang bagi ukuran manusia. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mendeskripsikan kepada manusia, bagaimana Tuhan menciptakan berbagai mineral dan energi di bumi, melalui proses pembentukan, hingga mencapai jutaan tahun.
Sebongkah batubara, mengalami proses pembentukan jutaan tahun, setidaknya dua puluh juta tahun. Demikian juga halnya dengan bebatuan, fosil, dan lainnya. Mereka yang menyadari proses pembentukan demikian, berbasis keimanan, ilmu pengetahuan, dan teknologi, manusia akan dapat mengelola alam dengan sebaik-baiknya.
Sebaliknya, manusia yang mengabaikan dimensi keimanan, menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mereka kreasikan, sebagai perangkat untuk menghancurkan sumber daya alam itu sendiri. Sebagai akibatnya, Tuhan menggerakkan alam untuk menghukum mereka.
Karena sumber daya alam secara hakiki merupakan milik Allah secara absolut, maka pengelolaan sumber daya alam itu oleh manusia, harus jelas manfaatnya, dan harus pula terjamin kelestariannya, sehingga dapat menjamin kehidupan yang berkelanjutan. Baik sumber daya alam yang dapat diperbarui maupun yang tak dapat diperbarui.
Oleh sebab itulah, akhlak terhadap alam menjadi urgen dan prioritas. Karena pada akhirnya, akhlak terhadap sumber daya alam ini, selalu berkorelasi dengan daya dukung lingkungan hidup dan kehidupan manusia. Dalam menjalani akhlak terhadap alam, itulah aspek kehidupan sosial budaya sedemikian penting, sehingga dapat memberikan nilai lebih atas pencapaian nilai keekonomian yang efisien, melalui penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi ramah lingkungan.
Akhlak manusia terhadap alam, merupakan bagian dari politik sumber daya alam, sebagai landasan dan sistem pengelolaan yang baik dan benar. Ali bin Abi Thalib, mengingatkan akhlak manusia terhadap sumber daya alam, akan memungkinkan manusia mengelola alam berdasarkan cintanya kepada Allah. Oleh karena itu, mereka yang berakhlak, tak akan pernah menimbulkan kerusakan sumber daya alam, yang akan berakibat kepada binasanya suatu bangsa. Di atas landasan politik sumber daya alam, berhimpun akhlak dan hukum yang tegas.
Sejarah mengajarkan, seringkali kehancuran suatu bangsa disebabkan oleh ulah manusia yang semena-mena, serakah, dan pongah terhadap alam. Mereka terang-terangan mengangkangi sumber daya alam yang diberikan Tuhan untuk kepentingan hidup bermewah-mewahan, dan menggunakan nilai keekonomian sumber daya alam untuk kemakmuran penguasa. Tidak untuk kesejahteraan rakyatnya. Menggunakan keunggulan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta nilai keekonomian sumber daya alam untuk menjajah bangsa-bangsa lain.
Mereka menjelajah berbagai belahan bumi, dan menebar kerusakan di mana-mana, usai mereka mengibarkan bendera-bendera kekuasaan di Timur dan di Barat. Kemudian Tuhan melenyapkan mereka dengan berbagai bencana yang ditimbulkan oleh berubahnya daya dukung sumber daya alam.
Kisah hancurnya suku Amalek yang diabadikan di dalam Perjanjian Lama sebagai bangsa penjajah. Mereka menyerang bangsa Yahudi yang eksodus dari Mesir, di kawasan Ephraim (sekitar Gunung Sinai) pada zaman Hezekiah. Setelah kehancurannya, bangsa ini menjadi obyek sumpah serapah, dan menyebabkan dendam tak berkesudahan bangsa Yahudi. Dendam kesumat yang digerakkan oleh hawa nafsu untuk menguasai sumber daya alam dan menguasai bangsa lain, ini pula yang kemudian mendorong bangsa Yahudi akhirnya menjadi kaum zionis. |