Haedar
Sungguh tak bisa dicerna akal sehat sekaligus akalbudi, Direktur Utama salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN), mesti menyuap Direktur Keuangan di BUMN lain, hanya untuk mendapatkan proyek.
Kegilaan macam bagaimana yang sedang menghinggapi mereka yang beroleh amanah menjalankan misi korporasi BUMN, sehingga hal dungu dan bebal semacam itu bisa terjadi.
Tak salah yang dikemukakan Menteri BUMN, Rini M. Soemarno, bahwa kasus suap menyuap antar pemimpin BUMN merupakan masalah pribadi masing-masing.
Kendati demikian, peristiwa bodoh semacam itu memberikan gambaran, proses seleksi dan asesmen untuk mendapatkan pemimpin BUMN harus dipersoalkan. Termasuk mempersoalkan mitra asesmen untuk memperoleh personil pemimpin BUMN. Tak terkecuali menyoal anasir kepemimpinan di masing-masing BUMN, seperti komisaris.
Praktik suap menyuap semacam ini, memperlihatkan, proses asesmen dan kontrol terhadap pemimpin BUMN cenderung bermasalah. Terutama karena proses asesmen merupakan tahap awal dalam menyeleksi para calon pemimpin BUMN.
Kasus yang menimpa Direktur Utama PT Inti dan Direktur Keuangan PT Angkasa Pura II yang tengah ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa merusak dan mencederai rerata kualitas manusia yang beroleh kepercayaan sebagai pemimpin BUMN.
Kasus ini mirip dengan terpilihnya seorang Direktur Utama salah-satu BUMN yang beroleh award (penghargaan) tentang integritas oleh salah satu majalah, tapi kemudian dicokok KPK karena melakukan kejahatan korupsi. Meskipun sejumlah nama beken direkrut majalah itu untuk melakukan tugas sebagai juri dalam ajang pemberian penghargaan tersebut.
Jangan Sembarangan
Suap menyuap antar direksi BUMN dan antar kalangan swasta dengan BUMN, tentu tak boleh diberi ruang toleransi.
Pemimpin Kementerian BUMN, mulai dari Menteri mesti melakukan pengawasan yang intensif untuk mencegah terjadinya kasus - kasus yang dapat merontokkan keseluruhan kinerja baik yang dilakukan selama ini.
Langkah pengawasan itu perlu disertai dengan aksi nyata dalam bentuk evaluasi kinerja dan kepribadian para pemimpin BUMN. Tak cukup hanya dengan memberikan dukungan kepada KPK dan instansi penegak hukum lainnya untuk melakukan tindakan. Bahkan tak cukup hanya memecat mereka.
Kementerian BUMN selaku instansi yang mempunyai otoritas menentukan Komisaris dan Direksi BUMN, juga harus berani menolak setiap kecenderungan penggunaan kekuatan politik dalam menentukan dan memilih orang-orang sebagai pemimpin BUMN.
BUMN akan menghadapi persoalan rumit dan terkendala, ketika setiap kali aksi non korporasi mendapatkan ruang toleransi. Apalagi, dalam kasus yang terkait dengan Angkasa Pura II dan LEN (Lembaga Elektronik Nasional), itu merupakan proyek yang berhubungan langsung dengan sistem dan peralatan yang dapat berpengaruh besar terhadap layanan publik bandar udara. Proyek dengan risiko tinggi.
Suap - menyuap yang disebabkan oleh kolusi (bukan sinergi) korporasi semacam ini dapat mempengaruhi banyak hal, termasuk menggunakan informasi superior yang bisa mempengaruhi rencana belanja barang dan jasa alias permintaan, dalam jumlah dan kualitas. Termasuk untuk mendapatkan jaminan yang berlebihan, dengan cakupan maksimum risiko.
Dengan kasus semacam ini, masyarakat luas - publik -- akan dipicu kecurigaannya untuk menduga-duga, terjadi permainan tidak hanya antar direktur di dua BUM tersebut, karena kecurigaan akan merembet ke mana-mana. Termasuk ke pemimpin politik, birokrasi kementerian, perusahaan kontraktor, dan lain-lain.
Di sisi lain, kasus tersebut juga akan menimbulkan kecurigaan, suap-menyuap semacam itu akan menimbilkan kontrak kerjasama pelaksanaan proyek yang akan berada dalam posisi penyedia monopoli.
Dampaknya adalah kecurigaan yang merebak, dan secara sempit dapat menafsirkan ketentuan kontrak dalam pelaksanaan suatu proyek, diawali oleh sesuatu yang fuzzy - samar, karena ada kepentingan-kepentingan tersembunyi.
Kasus ini dengan sendirinya, menghancurkan prinsip dasar kepatuhan manajemen dalam melakukan aksi korporasi. Selebihnya, margin manuver perusahaan akan semakin besar karena orang yang berwenang menetapkan klausul (jika terjadi konflik, akan sulit untuk melepaskan tanggung jawabnya), punya kepentingan.
Dari perspektif lain, siapa saja dapat berargumen bahwa, terlepas dari segalanya, posisi BUMN tidak lagi bersifat ekuit dan ekual, dan kerjasama bisnis antar BUMN tidak bersifat sinergi, melainkan kolusi.
Bila argumen ini yang berkembang, ancaman yang akan mengemuka kemudian adalah terjadinya persekongkolan jahat untuk mendulang keuntungan pribadi, yang merampas keuntungan wajar korporasi. Setarikan nafas, menghancurkan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance).
Argumen ini akan terus berkembang menjadi kecurigaan terhadap sistem kontrak kerjasama yang tidak selalu lebih unggul daripada regulasi, dan bertentangan dengan prinsip-prinsip kewajaran dan akuntabilitas.
Pastinya, kontrak akan semakin mahal untuk menetapkan bahwa layanan yang akan diberikan akan lebih samar. Padahal, layanan publik yang diemban oleh BUMN berbasis layanan, seperti Angkasa Pura II, selalu dipandang sebagai layanan negara kepada rakyat.
Suap menyuap antar direksi BUMN, seperti yang dicokok KPK, mesti menjadi kasus terakhir di lingkungan BUMN. Kementerian tak boleh lagi sembarangan memilih orang untuk memimpin BUMN. Terlalu banyak profesional yang punya kapasitas, kapabilitas, kompetensi, dan integritas yang bisa membuat BUMN untung dan bermanfaat. |