Pembangunan dari Pinggiran Hanya Retorika

Arus Mudik Potret Ketimpangan Wilayah

| dilihat 2735

Catatan Bang Sem

JUTAAN orang baru saja mudik dan kini tengah kembali ke Jakarta dan ibukota provinsi di berbagai daerah, selepas merayakan Idul Fitri 1437 Hijriah di kampung halaman. Kini mereka tengah bergerak mengikuti arus balik mudik, pulang ke tempat kembara masing-masing.

Apa sungguh yang sedang terjadi dan dipertontonkan oleh kegiatan tahunan yang selalu tak berhasil diatasi dengan elok oleh pemerintah?

Ketimpangan – disparitas – wilayah (Jakarta – daerah, kota – desa).

Arus mudik dan arus balik mudik mengabarkan kepada kita, betapa di negeri berlambang burung garuda melengos, ini belum ada perubahan arus pemikiran pembangunan yang lebih komprehensip dan jitu.

Pola migrasi desa – kota, daerah – ibukota masih menjadi pola utama yang menandakan belum meratanya pembangunan di seluruh pelosok negeri, sejak Republik Indonesia diproklamasikan, 17 Agustus 1945 oleh Soekarno – Hatta.

Orientasi pembangunan ekonomi yang digenjot selama tiga dasawarsa (1966-1998) dengan fundamental ekonomi yang rapuh, tak sungguh mengatasi ketimpangan itu. Walaupun kita sudah memasuki era peradaban konseptual dan melampaui era peradaban informasi yang disigi oleh John Naisbitt dan Alvin Toffler, terbukti, secara kultural kita masih merupakan bangsa dengan peradaban ambivalen.

Meski secara fisik kita sudah berada di era konseptual, perilaku dan gaya hidup kita masih berada di era agraris. Dan ketika ketika memasuki era industri, orientasi pemikiran dan budaya kita, tak ikut serta. Karenanya, sebagian terbesar warga bangsa ini tetap saja menjadi kuli dan sekaligus konsumen di negerinya sendiri.

Kini, terasa lebih parah. Tak hanya karena pemerintah tidak mampu mewujudkan janji Presiden Jokowi – Wakil Presiden Jusuf Kalla – yang paling sederhana, menurunkan harga daging sapi – dan pembangunan infrastruktur yang menyejahterakan. Juga karena watak pemerintahannya masih sangat kekanak-kanakan. Antara lain, ditandai dengan kebiasaan ‘lempar kambing’ – menyalahkan masa lalu ketika menghadapi persoalan pelik.

Karenanya, sangat wajar bila Prof. Richard Robinson dalam kuliah umum di Universitas Melbourne (Selasa, 5/7/16) malam, menyatakan, Indonesia tidak akan menjadi kekuatan baru di kawasan regional, apalagi pentas global.

Penulis buku bertajuk, “Indonesia: The Rise of Capital,” itu mengemukakan, kekuatan ekonomi dan sosial di Indonesia dibangun dengan cara yang tidak mensyaratkan proyeksi eksternal kekuatan negara. Konstelasi domestik kepentingan-kepentingan sosial yang ada dan berkembang di Indonesia, menunjukkan bagaimana beratnya bangsa ini untuk bangkit.

Peristiwa mudik lebaran (dan kelak Natal – Tahun Baru) menjelaskan, bagaimana secara sosial, modal sosial yang luar biasa besar berupa silaturahmi (yang mewarnai budaya mudik), tidak tumbuh sebagai jejaring yang menguatkan dan menyatukan.

Peristiwa mudik juga menjelaskan dengan telanjang, bagaimana simbol-simbol sukses yang dibawa pulang ke kampung, bukanlah realitas sukses itu sendiri. Terutama karena performa sukses migrasi para pemudik sesungguhnya bersifat semu.

Apa yang nampak dengan kasad mata, hanyalah ‘silap mata’ atas jebakan persoalan ekonomi yang sesungguhnya – antara lain karena dominannya kredit konsumsi yang menyertai segala pesona performa yang dihadirkan – mulai dari kendaraan sampai busana.

Hal ini bisa dilihat dengan sangat jeli pada sebagian besar pemudik, yang di penghujung bulan ini diburu beragam kewajiban membayar cicilan kredit kendaraan bermotor dan kartu kredit.

Ironisnya, performa kesuksesan palsu tersebut, begitu sakti memengaruhi pikiran dan perasaan sejumlah kerabat untuk ikut arus balik ke ibukota dan kota-kota besar dan menjadi beban baru. Terutama karena akan terjadinya perubahan gaya hidup beberapa bulan kemudian.

Arus mudik dan arus balik mudik yang sedemikian besar dan memacetkan seluruh sarana transportasi – terutama darat – memberi isyarat terang benderang, betapa pemerintah sungguh tak kuasa mengelola amanah yang mereka perebutkan dari rakyat sekali lima tahun.

Arus mudik dan arus balik mudik menjelaskan, pemerintah tak mampu mengelola pemerintahan dan pembangunan (dari perencanaan sampai eksekusi). Paling tidak, arus mudik dan arus balik mudik menjelaskan, betapa otonomi daerah di Indonesia tak membawa perubahan baik bagi kualitas kesejahteraan rakyat.

Prinsip otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggungjawab, serta retorika tentang: membangun dari pinggiran,  hanyalah jargon politik yang semu dan tak mampu diwujudkan. Itulah sebabnya, ketimpangan (disparitas sosial ekonomi) antar wilayah kian melebar.

Padahal, otonomi daerah diberlakukan, untuk sepenuhnya mengubah sistem penyelenggaraan pemerintahan dari sentralisasi menjadi desentralisasi.

Akibat prinsip-prinsip demikian hanya berhenti menjadi jargon, maka desa tak pernah sungguh menjadi prioritas sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dan sosial. Akibatnya, rakyat desa yang miskin selalu terjerat masuk ke dalam jebakan fantasi, memburu nasib baik di kota.

Arus mudik dan arus balik mudik tak akan terjadi, bila otonomi daerah dan pembangunan desa sungguh diurus dengan baik dan benar oleh orang yang tepat. Terutama ketika otonomi daerah dan pembangunan desa sudah mampu membayar asa dan menyelesaikan mimpi pertama penduduk miskin desa.

Arus mudik hanya memindahkan secara sementara saja arus uang dari Ibu Kota Negara Jakarta dan Ibukota Provinsi ke wilayah kecamatan dan desa. Selepas itu, penduduk miskin desa dan perekonomian di wilayah kecamatan akan kembali ke kehidupan regulernya yang serba terbatas.

Bagi saya, yang prioritas dilakukan pemerintah bukan hanya membangun atau memperbaiki sarana transportasi yang harus diandalkan untuk mengatasi kesenjangan antar wilayah. Melainkan, bagaimana memindahkan sentra-sentra kemakmuran, asa, dan impian lebih dekat kepada rakyat, terutama di pedesaan.

Otonomi daerah yang dikelola secara benar dan sungguh berorientasi meningkat kesejahteraan rakyat, akan mampu menjadikan daerah-daerah provinsi – kabupaten – kota sebagai sentra pertumbuhan sosial – ekonomi.

Otonomi daerah akan sungguh sukses dan menunjukkan bukti nyata, bila arus mudik dan arus balik mudik ke ibukota negara tidak seperti yang terjadi sekarang ini. Bukan berkurang dan surut, malah meningkat bilangannya.

Karena itulah, Pilkada serentak, semestinya menghadirkan kader-kader bangsa yang mampu menjadikan wilayah provinsi, kabupaten, dan kota di daerah-daerah sebagai tumpuan hidup rakyat di wilayahnya. Dengan demikian, arus migrasi sosial menjadi terkendali dan tekelola dengan baik.

Tengoklah bagaimana Jepang mendistribusikan sentra-sentra pertumbuhan sosial ekonomi  di masing-masing wilayah prefektur dengan keunggulan wilayahnya masing-masing. Bahkan masing-masing wilayah berkompetisi dalam meningkatkan kemakmuran rakyat di wilayahnya masing-masing. Dengan begitu, arus migrasi sosial menjadi sangat produktif dan rakyat menikmatinya secara merata.

Kesemua itu bisa berlangsung dan terjadi, bila para petinggi negeri, penyelenggara negara sungguh mau dan mampu berfikir konkret tentang otonomi daerah. Bukan berfikir retoris dan politis. Dan, media massa memotret realitas nyata kondisi sosial ekonomi rakyat di pedesaan, ketika meliput arus mudik. Bukan sekadar memberitakan pengaturan arus lalu lintas belaka.. | 

Editor : sem haesy
 
Ekonomi & Bisnis
12 Mar 24, 10:56 WIB | Dilihat : 278
Nilai Bitcoin Capai Rekor Tertinggi
02 Mar 24, 07:41 WIB | Dilihat : 140
Elnusa Bukukan Laba 2023 Sebesar Rp503 Miliar
Selanjutnya
Energi & Tambang