JAKARTA | Komunitas Lima Gunung yang berkedudukan di Magelang, Jawa Tengah menerima Penghargaan Akademi Jakarta, Senin (23/9/24) petang di Teater Wahyu Sihombing, Taman Ismail Marzuki Jakarta.
Komunitas seni dengan keanggotaan dari lima gunung sekitar Magelang yaitu Gunung Merapi, Merbabu, Sumbing, Andong dan perbukitan Menoreh, ini menerima Piagam, natura, dan piala berbentuk patung karya maestro pematung perempuan Dolorosa Sinaga, purna anggota Akademi Jakarta (AJ).
Ketua AJ, Seno Gumira Adjidarma mengemukakan (secara tertulis), "Apabila sejak tahun 2021 penghargaan dari Akademi Jakarta tidak hanya diberikan kepada pencapaian pribadi seorang seniman, melainkan juga kerja kolektif yang diberlangsungkan komunitas, hal itu menunjukkan perkembangan dalam cara memandang kesenian sebagai bagian dari kebudayaan."
Seno menegaskan, penghargaan terhadap pencapaian memang merujuk kualitas seni, pembaruan budaya, dan daya pencerahan bersejarah dari gubahan pribadi seniman. Namun adalah keberdayaan komunitas, langsung maupun tak langsung, membangun khalayak yang melahirkan pribadi-pribadi itu.
"Bukan sekadar penggubah seni tercanggih, melainkan khalayak yang menghargai makna dalam bidang apapun, seberapapun kecil dan tidak pentingnya, yang berkait-kelindan memberlangsungkan kebudayaan," ungkapnya.
Komunitas yang hidup dan bekerja dengan semangat penyadaran, menurut Seno, selalu hadir dari zaman ke zaman, dalam perlawanan terhadap kuasa penyeragaman pikiran, kemapanan aturan, maupun penetapan tinggi rendahnya kebudayaan, yang hanya berpihak kepada kelas, kelompok, dan golongan teruntungkan.
Komunitas Langka dan Konsisten
Anggota Akademi Jakarta (AJ), Jeffry Alkatiri -- mewakili seluruh anggota AJ -- dalam pidato pengantar penghargaan mengemukakan, penghargaan tahun ini berbeda dengan tahun sebelumnya, yang selalu memberikan dua penghargaan, yakni kepada perseorangan dan kelompok atau komunitas.
Tetapi untuk tahun 2024 ini Akademi Jakarta hanya memberikan satu penghargaan kepada satu komunitas. "Alasannya sangat klise dan klasik, karena keterbatasan dana dan masih ketergantungan dana dari pihak Pemerinta Provinsi Jakarta. Dalam kesempatan ini, masalah itu juga harus kami sampaikan," ungkapnya.
Terlepas dari itu semua, jelas Jeffry, AJ sangat gembira menemukan suatu komunitas langka yang secara konsisten, terus menerus melestarikan, memelihara, dan mengembangkan tradisi berkeseniannya nun jauh di dusun atas gunung.
Mereka dikenal sebagai Komunitas Lima Gunung yang setiap tahun menyelenggarakan festival tanpa jeda, meski pada masa pandemi Covid -19 sekalipun. Tahun ini dan tepatnya besok tanggal 25 September 2024, mereka akan merayakan Festival yang ke 23. Suatu prestasi melebihi banyak komunitas yang bergelut dalam kesenian.
Di luar ajang festival tahunan itu, mereka acap kali menyelenggarakan acara sisipan. Tercatat pada bulan Mei 2024, mereka menyelenggarakan Hari Peradaban Desa 2024 dengan mengusung tema “Indonesia Bagian dari Desaku.” Beberapa kali juga acara serupa diselenggarakan dengan tema berbeda yang dilakukan di tahun-tahun sebelumnya.
Fenomena ini memperlihatkan bagaimana repot dan sibuknya mereka merancang, menata, dan mementaskan acara mencapai hampir dua sampai tiga kali setiap tahunnya.
Seabreg Pencapaian
Energi dan semangat itu tidak mungkin direalisasikan jika tidak ada keinginan dan kerja sama antarmereka yang menghasilkan suatu kegiatan yang unik, yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya mampu diwujudkan bahkan sampai mencapai hitungan 24 tahun.
AJ memperhatikan fenomena itu dengan memilih setiap tahun siapa, baik perseorangan ataupun komunitas yang mempunyai keunikan dan kelebihan untuk diberi penghargaan, sesuai kriteria AJ.
Dari sejumlah jejeran komunitas seni budaya, akhirnya AJ memilih Komunitas Lima Gunung untuk diberi penghargaan AJ di tahun 2024 ini. Komunitas Lima Gunung sudah dibicarakan sejak 20 Mei 24 dalam rapat pleno. Berdasarkan kajian mendalam serta berdasarkan sejumlah kriteria, disepakati untuk memberikan penghargaan AJ kepada Komunitas Lima Gunung.
"Kami memperhatikan bahwa Komunitas Lima Gunung sebagai bentuk kesenian rakyat yang egaliter, ekspresif, kreatif, inovatif, dan inklusif pada keragaman, yang kesemuanya itu merupakan pembebasan dari batas-batas kriteria seni budaya aristokrat. Kesenian mereka sangat berkaitan dengan ekosistem alamnya, yakni dusun pegunungan dan daur kehidupannya," jelas Jeffry.
Disadari tidak mudah bagi pemrakarsanya, yakni Sutanto atau lebih dikenal dengan panggilan Mas Tanto Mendut melakukan cawe-cawe untuk bersinergi, bergotong royong dalam menyajikan bentuk kesenian itu. Dari awal hanya beberapa orang saja, hingga mencapai ratusan orang yang selalu berganti, bertambah, dan konsisten dari dusun sekitar bahkan dari lintas dusun di Indonesia.
Jeffry mengemukakan, praktek berkesenian ini mirip seperti invented tradition (Eric Hobsbawm) yang berhasil karena didukung oleh beberapa faktor dan dibentuk berdasarkan kesadaran akan ekspresi identitas bersama yang perlu untuk diperkenankan, dikembangkan, dan dilestarikan.
Menolak Sponsor Pihak Luar
Kehidupan mereka yang sangat dekat dan lekat dengan alam menumbuhkan sikap simbiosis mutualistis yang positif. Makna dari ritual mereka mirip dengan konsep pemberian resiprositas (Marcel Mauss), sebagai suatu etika penghargaan hidup berdampingan dengan alam semesta.
Sutanto, kata Jeffry, merupakan pemrakarsa yang membangun sebuah paradigma berkesenian yang menstimulasi dimensi untuk hidup bersama masyarakat dalam menyikapi keadaan yang cepat berkembang melalui tanda-tanda produksi industri teknologi, dengan membuka wacana baru dalam bereksplorasi di lokasi pedesaan. Festival yang digagasnya itu diselenggarakan tanpa sponsor atau donatur dari mana pun, sebaliknya dibiayai secara swadaya antarmereka.
Kegiatannya bersifat campur aduk, ada tari, musik, tradisi, kontemporer, kolaborasi, ritus-ritus desa, pemikiran, dialog sosial, dan lain-lain. Secara aktif menggerakkan masyarakat desa di seputar lima gunung untuk menjadikan nilai-nilai setempat mereka sebagai daya magisnya.
Jawa adalah kunci demikian adagium yang didengungkan oleh sebagian masyarakat dalam setiap Pemilu. Tetapi dalam konteks seni budaya, Komunitas Lima Gunung berperan sebagai juru kunci yang sanggup mengawetkan lingkungan alam dan tradisinya sehingga mampu bertahan dari kooptasi dan intervensi politik gimmick pihak yang ingin memanfaatkan keberadaanya untuk komoditi.
"Kriteria penghargaan pun diborong semua oleh mereka," ungkap Jeffry lagi, "bahkan melampui standar kriteria AJ sebab mereka mampu menunjukkan selama 24 tahun, integritas konsistensinya dalam berkreasi dan melakukan sejumlah inovasi liar dengan stamina yang terus terjaga, hingga menjadi suatu kegiatan yang berkelanjutan setiap tahun dalam melestarikan dan mengembangkan seni budayanya."
Bentuk berkesenian mereka bersifat akomodatif dan inklusif dengan mengajak kelompok lain untuk berkolaborasi dan berpartisipasi serta memengaruhi warga sekitar bahkan sampai di luar daerahnya dengan pelibatan lintas dusun, sanggar, padepokan, umur, gender, etnis, dan agama.
Titen Manusia Gunung
Secara tidak langsung komunitas ini telah menjadi wadah bagi praktisi seni amatir dan profesional. Mereka juga melakukan edukasi tentang perlunya melestarikan dan mengembangkan kearifan lokal, mampu bergerak secara mandiri dalam penggalangan dana dan mampu mereposisikan eksistensinya dalam konteks sosial politik Indonesia sehingga membentuk branding komunitasnya tersendiri yang terjaga sampai saat ini.
"Dan yang paling penting juga adalah sebagai entitas seni budaya yang organik bersahabat dengan lingkungan alam yang sangat paradok dengan entitas kapitalistik yang merusak alam. Dengan pertimbangan atas kriteria dan fakta-fakta realitas pencapaian dari Komunitas Lima Gunung itu, maka AJ memberikan penghargaan kepada komunitas ini," pungkas Jeffry.
Komunitas Lima Gunung dalam pantauan AJ, didirikan dengan membangun paradigma berkesenian yang menstimulasi dimensi untuk hidup bersama masyarakat seni dalam menyikapi keadaan dengan pelbagai fenomena yang berkembang dalam masyarakat kontemporer. Selain itu, juga mengedepankan unsur merdeka yang dapat menarik perhatian masyarakat dan pemerhati seni yaitu dengan membuka wacana baru dalam bereksplorasi.
Komunitas ini terdiri dari Padepokan Tjipta Boedaja, Studio Mendut, Sanggar Saujana, Sanggar Andong Jinawi, Sanggar Dhom Sunthil, Padepokan Wargo Budoyo, Sanggar Cahyo Budoyo Sumbing, Sanggar Wonolelo, Sanggar Seni Batara, Yak Siswo Budoyo, Sanggar Kawuryan, Sanggar Srikandi dan Padepokan Manunggal Budoyo. Mereka telah melangsungkan Festival Lima Gunung sebanyak 23 kali sampai dengan tahun ini.
Penyelenggaraan festival yang awalnya hanya sehari, pada tahun-tahun berikutnya didinamisasi menjadi beberapa hari, bahkan hingga sebulan. Komunitas Lima Gunung menentukan acara Festival Lima Gunung berdasarkan kearifan lokal dan penanggalan Jawa, yang secara khusus menjadi ajang pertemuan tahunan para seniman petani Lima Gunung, untuk bersilaturahmi dalam kemasan dan nuansa kebudayaan lokal mereka.
Penghargaan diserahkan oleh anggota AJ Jeffry Alkatiri, Melani Budianta, dan Bambang Harymurti kepada Endah Pratiwi dan Lyra, disaksikan anggota Dewan Kesenian Jakarta, Michellia dan anggota AJ, Sém Haésy yang sebelumnya membacakan esai anggota AJ, Afrizal Malna bertajuk "Komunitas Lima Gunung:?Titen, Energi Fluidum, dan Manusia Gunung."
Menegaskan Kedudukan Manusia
Patung Penghargaan Akademi Jakarta berupa sosok dengan tangan kanan menunjuk ke langit dan tangan kiri menunjuk ke bumi. Sosok mendekati sempurna mengungkap kesempurnaan penciptaan Sang Maha Pencipta; lingkaran tempat berpijak adalah bumi dan segala isinya, tempat kehidupan sesama manusia; tangan menunjuk ke bumi berarti pembumian kepedulian, gagasan, dan kreativitas yang bermanfaat bagi manusia; tangan menunjuk ke atas menegaskan kedudukan manusia sebagai bagian dari alam semesta.
Penghargaan Akademi Jakarta, menurut Sekretaris AJ, Abu Hasan Asy'ari, merupakan agenda tahunan yang diberikan kepada seniman, sastrawan, budayawan yang konsisten memperjuangkan visinya dan berkontribusi atas perkembangan seni dan kebudayaan.
Pertama kali penghargaan ini bernama “Hadiah Seni Akademi Jakarta,” yang pernah diberikan kepada WS Rendra (1975) dan Zaini (1977). Program ini kemudian vakum untuk sekian lama, dan mulai lagi dilakukan tahun 2003 dan diberikan kepada Gregorius Sidharta Soegijo (2003). Tahun 2004 diberikan kepada Nano S dan Gusmiati Suid.
Tahun 2005 AJ mengganti namanya dari “Hadiah Seni Akademi Jakarta” menjadi “Penghargaan Akademi Jakarta” yang digunakan hingga kini. Tahun itu juga penghargaan diberikan kepada Retno Maruti (200Lima), kemudian Amir Pasaribu (2006), Raden Pandji Soejono (2006), Tenas Effendy (2006), Sutardji Calzoum Bachri (2007), Slamet Rahardjo Djarot (2008), Putu Wijaya (2009), Taufik Ismail (2010), Rahayu Supanggah (2011), Sapardi Djoko Damono (2012), I Gusti Kompiang Raka (2013), Ratna Riantiarno & Nano Riantiarno (2014), Ali Audah (2015), Trisutji Kamal (2016), Sunaryo (2017), Jim Supangkat (2018), Umbu Landu Paranggi dan Yori Antar (2019).
Pada tahun 2021, program ini menambahkan satu kategori lagi, yaitu untuk lembaga, komunitas maupun kolektif yang tidak hanya bergerak di bidang seni budaya, melainkan juga lingkungan, pendidikan, gerakan untuk kehidupan yang demokratis dan setara, maupun penelitian dan bidang-bidang kajian.
Penghargaan untuk perseorangan diberikan kepada Remy Sylado dan komunitas kepada Masyarakat adat Laman Kinipan & Remy Sylado (2021), Didik Nini Thowok & Komunitas Dialita (2022), kemudian kepada Moelyono & Taring Padi (2023). | delanova