N. SYAMSUDDIN CH. HAESY
23 JANUARI, adalah hari yang istimewa dua Mbak yang populer dan pernah populer di Indonesia. Tanggal itu adalah hari kelahiran Mbak Mega (Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDIP, mantan Wapres dan mantan Presiden Republik Indonesia, serta puteri mendiang Presiden Soekarno. Juga kelahiran Mbak Tutut (Siti Hardiyanti Rukmana, mantan pengurus DPP Golkar, mantan Menteri Sosial RI, puteri mendiang Presiden Soeharto).
Ada yang menarik pada keduanya. Dalam konteks ‘hubungan historis’ keduanya datang dari keluarga yang berbeda. Keduanya mengalami masa ketika ayah mereka masing-masing mengawali dan mengakhiri perannya di puncak kekuasaan Republik Indonesia.
Dalam konteks ‘hubungan politis’ (bila hendak dikatakan demikian), ada peristiwa menarik awal tahun 1990-an. Karena konflik yang terjadi di PDI (Partai Demokrasi Indonesia) kepemimpinan Mbak Mega sebagai Ketua Umum PDI digoyang dan diganggu terus oleh Suryadi (yang aktivis Angkatan 66) yang sebelumnya menjadi Ketua Umum PDI. Sejak masa konflik itu dan Mbak Mega mendirikan PDI Perjuangan, relatif tak ada satupun stasiun televisi (terutama TVRI, RCTI, dan SCTV) mau meliput aktivitas Mbak Mega.
Ketika itulah terjadi komunikasi politik yang menyebabkan, Mbak Tutut selaku Direktur Utama TPI (Televisi Pendidikan Indonesia) membuka layar televisi itu untuk meliput aktivitas Mbak Mega. Saluran liputan itu disampaikan Direktur Operasi TPI, Fahmi Alatas kepada saya.
Sejumlah orang yang tak populer dan kini sudah almarhum yang sangat bersimpati dengan perjuangan Mbak Mega (terutama Almarhum Safti yang karib dengan Almarhum Taufik Kiemas) melakukan komunikasi intensif dengan saya selaku General Manager Operasi TPI. Peran almarhum Taufik Kiemas yang berjiwa kenegarawanan itu, memang kuat. Paling tidak, itulah kesan saya ketika beberapa kali berbincang dengan beliau di Hotel Sabang, untuk memastikan terjadinya liputan terhadap aktivitas Mbak Mega. Termasuk dalam Kampanye Pemilu 1997.
Tak berapa lama, terjalin komunikasi politisi dari sejumlah kader di Partai Golkar dan kader lain di PDIP. Lantas terjadilah silaturahmi yang lumayan menghebohkan, pertemuan Mbak Tutut dengan Mbak Mega di kediaman Mbak Tutut di Jalan Yusuf Adwinata – Menteng Jakarta Pusat, di paruh 1996. Silaturahmi biasa antara dua puteri mendiang dua Presiden yang kebetulan lahir pada tanggal yang sama.
Usai pertemuan itu, Mbak Mega mengemukakan, pertemuannya dengan Mbak Tutut adalah silaturahim, bertukar pendapat dan pengalaman. Mbak Mega tak menyangkal, pertemuan itu merupakan silaturahmi antara mitra politik, dan itu wajar. Karena Mbak Tutut di Golkar dan Mbak Mega di DPIP. Bahkan Mbak Mega tegas menyatakan, antara keluarga Bung Karno dan keluarga Pak Harto tidak ada masalah.
Pertemuan itu oleh Rudini, Mantan KSAD yang menjadi Menteri Dalam Negeri sebagai contoh, keduanya merupakan ‘Generasi Baru Indonesia’ yang mampu menunjukkan persatuan dan kesatuan. Apalagi pertemuan itu berlangsung, menjelang kampanye Pemilu 1977. Keduanya merupakan symbol leader dari dua partai nasionalis yang berbeda pada pendalaman ideologis.
Saya melihat, keduanya memegang prinsip yang sama: teguh mendalami dan mengamalkan apa yang diajarkan dan diyakini ayahnya masing-masing. Mbak Mega kokoh sebagai anak biologis dan anak ideologis Bung Karno, Mbak Tutut pun begitu. Khasnya, dalam memanifestasikan ‘butir-butir budaya Jawa,’ yang dipegang Pak Harto.
Kamis, 23 januari 2014 lalu, kedua Mbak, itu jarig (alias ulang tahun). Keduanya, boleh jadi, mensyukuri di rumahnya masing-masing. Tentu dalam suasana berbeda. Mbak Tutut sedang berjuang mengakhiri persoalan tentang Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) yang dimatikan begitu saja oleh mantan mitranya, Hary Tanoe. Seluruh fasilitas dan aset penyiaran TPI dipergunakan oleh MNC TV. Akan halnya Mbak Mega, tak perlu mempunyai stasiun TV sendiri, karena begitu banyak stasiun TV berebut menjadikannya nara sumber. |