Penghentian Reklamasi dan IMB Pantai Maju Dua Hal Berbeda

Gubernur DKI Anies : Negara Tidak Boleh Loyo Tegakkan Hukum

| dilihat 3099

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan konsisten setop reklamasi di teluk Jakarta. Terkait dengan isu diterbitkannya IMB (Izin Mendirikan Bangunan) Pantai Maju, Anies menjelaskan, ada dua hal yang berbeda: Pertama reklamasi; dan, Kedua pemanfataan lahan hasil reklamasi.

Penegasan itu dikemukakan Anies dalam keterangan dialogia tertulis, Kamis (13/6/19) di Jakarta.

"Reklamasi adalah kegiatan membangun daratan di atas perairan. Jadi yang dimaksud dengan reklamasi adalah pembuatan lahan baru," jelas Anies.

Ada 17 pantai/pulau yang akan dibangun di teluk Jakarta. Kini Kegiatan reklamasi itu telah dihentikan. "Semua ijin reklamasi telah dicabut," tegasnya. "Ada 13 pulau tidak bisa diteruskan dan dibangun," sambungnya.

Menurut Anies, ada 4 kawasan pantai yang sudah terbentuk sebagai hasil reklamasi di masa lalu. "Faktanya itu sudah jadi daratan," ungkapnya. 4 (empat) kawasan pantai tersebut akan dimanfaatkan sesuai dengan ketentuan hukum, untuk sebanyak-banyaknya kepentingan publik.

Anies mengemuakakan, "IMB ini bukan soal reklamasi jalan atau berhenti, tapi IMB adalah soal ijin pemanfaatan lahan hasil reklamasi dengan cara mendirikan bangunan."

Artinya, dikeluarkan atau tidak IMB, kegiatan reklamasi telah dihentikan. "Jadi, IMB dan Reklamasi adalah dua hal yang berbeda. Itulah janji kami sejak masa kampanye. Pertama, menghentikan reklamasi; dan Kedua, memanfaatkan untuk kepentingan publik atas lahan atau daratan hasil reklamasi di masa lalu. Dan kami tetap konsisten melaksanakan janji itu," tegasnya.

ihwal reklamasi program siapa, Anies mengemukakan : "Ya, ini memang sering jadi pertanyaan: Reklamasi itu program pemerintah atau program swasta? Reklamasi adalah program pemerintah yang dituangkan dalam Kepres no 52 tahun 1995 dan dalam Perda no 8 tahun 1995. Pemerintah saat itu menugaskan pihak swasta untuk melaksanakan reklamasi dan dibuat Perjanjian Kerja Sama antara Pemerintah DKI dengan swasta di tahun 1997. Perjanjian ini mengharuskan pihak swasta melakukan reklamasi dengan imbalan mendapat hak memanfaatkan lahan seluas 35 persen."

Didesak dengan pertanyaan ihwal mengapa selama ini kesannya lahan reklamasi milik swasta dan pengembang, dan pulau-pulau reklamasi itu dijaga ketat dan tidak bisa dimasuki,  Anies menjelaskan gamblang.

Dahulu ini semua fakta dan pengertian dasar seperti yang disebut tadi seakan terkubur. Efeknya Lahan hasil reklamasi, itu dahulu 100 persen dikuasai oleh swasta. Bahkan dahulu pulau itu jadi areal tertutup, dimana publik dan media sekalipun tidak bisa masuk. Seakan itu wilayah tersendiri dan terpisah dari publik Jakarta. "Sejak kita bertugas di Pemprov DKI Jakarta, kita luruskan semua itu sesuai dengan aturan hukumnya," tegas Anies.

Dijelaskannya, seluruh daratan itu adalah milik pemprov DKI, dan swasta hanya berhak menggunakan 35 persen lahan hasil reklamasi, sesuai dengan ketentuan yang ada. "Lalu kami buka seluruh kawasan pulau itu untuk publik," ungkapnya, lalu menegaskan, "Kedaulatan kita tegakkan, ketentuan hukum kita jadikan pedoman. Tidak ada lagi pantai ekslusif, tertutup dan terlarang untuk dimasuki publik. Semua dibuat terang benderang dan kami menugaskan BUMD milik Pemprov DKI yaitu Jakpro untuk mengelola dan memanfaatkan lahan hasil reklamasi tersebut."

Ihwal lahan yang dikelola oleh pengembang, Anies menjelaskan, "Nah, areal sebesar 35 persen itu memang hak penggunaannya ada pada pihak swasta. Mereka lalu melakukan kegiatan pembangunan dengan merujuk pada Peraturan Gubernur no 206 tahun 2016 tentang Panduan Rancang Kota (PRK). Pergub itu mengatur tentang rencana tata ruang di lahan hasil reklamasi tersebut."  

Apakah boleh membangun berdasarkan Pergub PRK? "Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 30 tahun 2005 Pasal 18 ayat 3, kawasan yang belum memiliki RTRW(Rencana Tata Ruang Wilayah) dan RDTR (Rencana Detil Tata Ruang), Pemerintah Daerah dapat memberikan persetujuan mendirikan bangunan gedung pada daerah tersebut untuk jangka waktu sementara," jelasnya.

Menurut Anies, Pulau C dan D sudah ada di RTRW DKI Jakarta, namun belum ada di RDTR DKI Jakarta. Oleh karenanya, Gubernur saat itu mengeluarkan Pergub 206 tahun 2016 dengan mendasarkan pada PP tersebut. Jika tidak ada pergub tersebut maka tidak bisa ada kegiatan pembangunan di lahan hasil reklamasi. Suka atau tidak suka atas isi pergub 206 tahun 2016, itu adalah fakta hukum yang berlaku dan mengikat. "Pemprov DKI saat ini sedang melakukan Revisi RDTR, sehingga pemanfaatan ruang akan diatur dengan lebih pasti di Revisi RDTR tersebut," jelasnya kemudian.

Ihwal pelanggaran pihak swasta, Anies menguraikan,  mereka melakukan pembangunan tanpa IMB. Di tahun 2015, 2016, 2017 Pemprov sebenarnya sudah melakukan penindakan. Diberi surat peringatan, bahkan pernah disegel. Tapi pihak swasta seakan tidak peduli. Kawasan itu tetap tertutup, pembangunan jalan terus walau tanpa ijin. Sebuah pelanggaran yang terang-terangan dan menggambarkan bahwa Pemprov tidak dihargai oleh pihak swasta.

Dengan kata lain, Pemprov tidak bisa menertibkan pelanggar hukum. "Begitu kami mulai bertugas di DKI, saya tegaskan bahwa sikap pihak swasta yang seperti itu tidak akan dibiarkan," jelas Anies lagi.

Anies menegaskan, "Negara tidak boleh loyo dalam menegakkan hukum, apalagi di hadapan yang besar, maka negara justru harus hadir lebih besar lagi !" Dikemukakannya, "Di tahun 2018, kami melakukan penyegelan. Saya khusus hadir menyaksikan penyegelan dan sekaligus membuka kawasan tersebut. Saya tegaskan yang memang sudah menjadi ketentuan hukum bahwa kawasan itu milik pemprov, terbuka untuk publik dan tidak boleh ada larangan memasuki kawasan hasil reklamasi."

Ketegasan itu berdampak jelas, yaitu pengembang patuh. Mereka berhenti berkegiatan. Tidak ada lagi kegiatan pembangunan tanpa ijin. Semua kegiatan di kawasan hasil reklamasi itu berhenti. Lahan itu terbuka untuk publik. "Jadi tanda segel itu kini ada wibawanya. Negara kini dihormati. Hukum ditaati. Itu yang berbeda dengan dulu, dimana segel diacuhkan, hukum disepelekan oleh pelanggar," urai Anies.

Lalu bagaimana sampai kemudian keluar IMB ? Menjawab pertanyaan ini, Anies mengemukakan, "Semua pihak yang bangunannya mengalami penyegelan harus diproses secara hukum oleh Penyidik kita. Lalu dibawa ke pengadilan. Hakim kemudian memutuskan denda sesuai dengan Perda yang berlaku. Itu juga yang terjadi pada pihak swasta yang melakukan pelanggaran IMB di kawasan hasil reklamasi."  

Mereka dihukum denda oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Setelah itu, mereka mengurus IMB sebagaimana pengurusan IMB kegiatan pembangunan lainnya di seluruh wilayah DKI. "Ada yang menyebut IMB dikeluarkan secara diam-diam," tambah Anies.

Dia menjelaskan lagi, "Semua dilakukan sesuai prosedur. Setiap proses pengajuan IMB untuk semua gedung memang tidak diumumkan. Kalau anda mengajukan permohonan IMB ya akan diproses dan bila permohonannya sesuai dengan ketentuan yang ada, maka diterbitkan IMB. Nama andapun tidak kemudian diumumkan dan lain-lain."

Artinya? "Jadi ini bukan diam-diam, tapi memang prosedur administratif biasa. Justru anda yang sudah mendapatkan IMB lah yang diharuskan memasang papan nama proyek dan mencantumkan nomor IMB di rumah anda," tegas Anies.

Koq mereka diberi IMB? Mengapa tidak dibongkar saja?

"Begini," kata Anies, "ada sekitar seribu unit rumah yang telah mereka bangun tanpa IMB dan dibangun pada periode 2015-2017, sebelum kami bertugas di DKI." Jadi masalah yang ditemui dan harus diselesaikan Anies, terkait dengan beberapa fakta: 1) Ada Pergub 206/2016 tentang PRK; 2) Ada lahan kurang dari 5 (lima) persen yang telah dibuat bangunan rumah tinggal dengan berdasar pada Pergub tersebut; dan 3) Ada pelanggaran membangun tanpa IMB. Pergub 206/2016 itulah yang jadi landasan hukum bagi pengembang untuk membangun.

"Bila saya mencabut Pergub itu, agar bangunan rumah tersebut kehilangan dasar hukumnya, lalu membongkar bagunan tersebut, maka yang hilang bukan saja bangunannya, tapi kepastian atas hukum juga jadi hilang," jelas Anies.

"Bayangkan," katanya, "jika sebuah kegiatan usaha yang telah dikerjakan sesuai dengan peraturan yang berlaku pada saat itu bisa divonis jadi kesalahan, bahkan dikenai sanksi dan dibongkar karena perubahan kebijakan di masa berikutnya."

Bila itu dilakukan, masyarakat, khususnya dunia usaha, akan kehilangan kepercayaan pada Peraturan Gubernur dan hukum. Efeknya, Peraturan Gubernur yang dikeluarkan sekarang bisa tidak lagi dipercaya, karena pernah ada preseden seperti itu.

"Suka atau tidak terhadap Pergub 206/2016 ini, faktanya Pergub itu adalah sebuah dasar hukum," tambah Anies. Lahan yang terpakai untuk rumah-rumah itu kira-kira hanya sebesar kurang dari 5 persen dari lahan hasil reklamasi.

Menurut Anies, "Adanya bangunan rumah-rumah itu adalah konsekuensi dari menghargai aturan hukum yang berlaku, melaksanakan azas-azas umum pemerintahan yang baik, dan ketaatan pada prinsip good governance." Fakta berikutnya, urai Anies, masih ada 95 persen kawasan hasil reklamasi yang masih belum dimanfaatkan. "Itu yang kita akan tata kembali agar sesuai dengan visi kita untuk memberi manfaat sebesar-besarnya pada publik. Misalnya ,sekarang sedang dibangun jalur jogging, jalur untuk sepeda, lapangan untuk kegiatan olah raga termasuk akan dibangun pelabuhan dan lain-lain," tegas Anies.

Apakah Gubernur masih konsisten dengan janjinya untuk menghentikan reklamasi ?

Anies menjawab, "Semua kebijakan yang kita buat sesuai janji kami." Yaitu: menghentikan reklamasi; dan untuk lahan yang sudah terjadi dimanfaatkan untuk kepentingan publik. Itulah janji kami, dan kami konsisten memegang dan melaksanakan janji itu." Bayangkan, kata Anies, "bila kami tidak menghentikan reklamasi, maka kini sudah akan terbangun 17 Pulau, seluas Kabupaten Sukabumi, di Teluk Jakarta." (baca: Mereka Mencerca, Anies Berkarya)

Kawasan hasil reklamasi yang dahulu tertutup eksklusif, sepenuhnya dikuasai swasta dan tidak boleh dimasuki siapapun tanpa izin mereka, kini telah menjadi kawasan yang dikuasai oleh Pemprov DKI Jakarta dan menjadi kawasan terbuka yang bisa diakses oleh publik.

Bahkan sekarang, kata Anies, "Kita akan punya pantai yang terbuka untuk umum dan bisa dinikmati oleh semua warga. Saya menjunjung tinggi prinsip keadilan dan prinsip good governance, sehingga aturan hukum yang ada, suka ataupun tidak, dilaksanakan secara konsisten."

Dengan cara seperti ini, Anies percaya, bahwa janji bisa terlaksana dengan baik dan akan tercipta kepastian hukum bagi semua. "Kita ingin semua yang berkegiatan di Jakarta bisa belajar dari kasus ini untuk selalu mengikuti semua prosedur dengan benar dan tertib," pungkas Anies.| Sem Haesy

Editor : Web Administrator | Sumber : Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan
 
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 731
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 888
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 839
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya
Energi & Tambang