AKARPADINEWS.COM | KALIJODO tak lagi ramai. Tak terdengar lagi suara manja kupu-kupu malam di sana. Tak ada lelaki hidung belang yang mencari mangsa. Perempuan-perempuan penghibur di Kalijodo beserta mucikari telah pergi. Entah kemana perginya.
Mereka terpaksa angkat kaki dari lahan miliki negara itu. Pasalnya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan menyulap kawasan prostitusi itu menjadi Ruang Terbuka Hijau (RTH). Bangunan, rumah, gubuk-gubuk reyot, tak lama lagi, akan diratakan. Warga sekitar pun diungsikan ke rumah susun yang dijanjikan pemerintah.
Senin, 29 Februari, eksekusi akan dilakukan. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, telah mengerahkan sejumlah alat berat (backhoe) yang siap mencaplokan semua bangunan di sana. Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menegaskan, eksekusi tak bisa ditunda. "Penertiban kawasan Kalijodo tetap berjalan," tegasnya.
Ahok berencana merelokasi warga Kalijodo ke rumah susun. Namun, relokasi tersebut hanya untuk warga yang memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) Jakarta. Bagaimana dengan perempuan-perempuan penghibur di Kalijodo yang datang ke ibukota tanpa mengantongi identitas Jakarta?
Dinas Sosial Provinsi DKI Jakarta memang bersedia menampung dan membina mereka selama enam bulan di Panti Sosial Bina Karya Wanita (PSBKW) Harapan Mulia, Kembangan, Jakarta Barat. Namun, tidak ada yang bersedia dengan tawaran itu. Percuma memang. Karena tak sedikit wanita penghibur yang sudah lulus dari panti, kembali melakoni praktik prostitusi. Mereka terbentur modal atau memang kelakuan mereka tak bisa berubah. Ingin dapat uang, tanpa sedia bekerja keras.
Kalijodo, menyimpan sejarah yang panjang. Kawasan itu dikenang sebagai tempat mencari jodoh. Dulu, Kalijodo kerap diramaikan oleh Festival Pesta Air (Peh Cun) yang diselenggarakan setiap momentum hari 100 penanggalan Imlek. Peh Cun merupakan bagian dari kebudayaan Tiongkok yang sudah ada lebih dari 2.300 tahun, sejak masa Dinasti Zhou.
Peh Cun adalah dialek Hokkian untuk kata pachuan yang dalam bahasa Indonesia berarti mendayung perahu. Festival ini dirayakan setiap tahun pada tanggal 5 bulan 5, penanggalan Imlek.
Di Kalijodo, tradisi itu diikuti laki-laki dan perempuan yang sama-sama menaiki perahu, melintasi Kali Angke yang airnya kala itu masih jernih. Namun, tradisi itu tenggalam karena pemerintah mengeluarkan aturan mengenai larangan terhadap penyelenggaraan tradisi Tiongkok. Wali Kota Jakarta Sudiro yang menjabat tahun 1953-1960 kala itu melarang penyelenggaraan Peh Cun di Kalijodo.
Jauh sebelumnya, di abad 18, istilah Ca Bau Kan menjadi ikon di Kalijodo. Ca Bau Kan adalah perempuan pribumi yang dinikahi laki-laki Tionghoa dalam kedudukan yang tidak selalu memperdulikan hukum Hindia Belanda.
Jika beruntung, para Ca Bau Kan dapat menjadi gundik (nyai) orang kaya Tionghoa dan peranakan. Kemudian, istilah tersebut berubah menjadi Ca Bo untuk menyebut "kupu-kupu malam" yang menghabiskan hari-harinya di atas perahu bersama pelangganya.
Dalam novel Ca Bau Kan, Hanya Sebuah Dosa, budayawan Remy Silado menulis, Kalijodo selama berabad telah menjadi tempat paling hiruk pikuk di Jakarta. Di sana, sejak dulu terlestari kebiasaan imigran Tionghoa menemukan jodoh, bukan untuk hidup bersama selamanya. Tetapi, sekadar menghibur diri sambil menikmati nyanyian klasik Tionghoa, dinyanyikan para Ca Bau Kan.
Para tauke (mucikari) yang mengurusi Ca Bau Kan memberi pakaian model opera berbahan sutera dengan warna yang mencolok, disertai bordir yang bermutu. Lalu, Mereka menaiki perahu-perahu yang dipasang lampion Tiongkok, bergerak pelan-pelan di kali.
Di perahu itu para Ca Bau Kan menawarkan jasanya dengan menyanyikan lagu-lagu bersyair asmara dalam bahasa Cia-im. Walaupun Ca Bau Kan ada yang perempuan Tionghoa totok, tetapi kebanyakan asli pribumi yang mahir menyanyikan lagu Tionghoa, walaupun tidak mengerti arti nyanyiannya.
Walau demikian, pengunjung Kalijodo, bukan hanya etnis Tionghoa. Siapa saja bebas mencari hiburan di sana. Praktik prostitusi yang awalnya di atas perahu yang berlayar dari Kwitang ke Kalijodo, lama kelamaan merapat ke darat, dengan disediakan rumah-rumah bordir milik para tauke. Kalijodo pun makin terkenal. Selain menjadi tempat prostitusi, kawasan itu menjadi tempat mangkalnya preman yang datang dari luar Jakarta.
Dalam buku berjudul: Geger Kalijodo, Kisah Polisi dan Mediasi Politik, karya Komisaris Besar (Kombes) Polisi, Krishna Murti, ada lima kelompok yang menguasai Kalijodo. Tetapi, setelah pecahnya kerusuhan antar kelompok pada tahun 2002 lalu, kini hanya tersisa dua kelompok besar yaitu kelompok Daeng Azis (Bugis) dan Mandar, yang sempat menguasai perjudian dan mengamankan kawasan lokalisasi.
Kalijodo berada dalam genggaman sejumlah preman yang menyebut dirinya sebagai “tokoh” yang memberikan jasa keamanan bagi mereka yang beraktivitas di sana. Mirip dengan mafia. Dan, perempuan-perempuan yang bekerja di Kalijodo, kebanyakan adalah korban kejahatan perdagangan manusia (human trafficking).
Pada tahun 2001, Krishna dan timnya pernah membongkar praktik penjualan manusia. Sejumlah perempuan disekap di Bar Cempaka. Kasus itu berhasil dibongkar setelah seorang korban, Sari melaporkan aksi penyekapan terhadap dirinya dan 16 teman perempuannya yang lain di sebuah bar yang diketahui milik seseorang bernama Iskandar. Sari berhasil terbebas dari penyekapan setelah melakukan segala upaya. Dia berupaya menghindar dari tukang pukul yang selalu mengawasi gerak geriknya.
Dalam bukunya, Krishna mengungkap, perempuan-perempuan itu didatangkan dari berbagai daerah. Mereka dipaksa menjual diri. Padahal, mereka datang Jakarta tak berniat melacur. Mereka ingin bekerja sebagai pembantu rumah tangga.
Perempuan-perempuan di Kalijodo benar-benar diperlakukan layaknya "mesin pemuas syahwat" bagi lelaki hidung belang. Dalam sehari, ada yang harus melayani 10 pria dalam semalam. Hal itu terungkap setelah ditemukannya buku catatan seorang mucikari di Kafe Me 2.
Dalam buku itu, tertera deretan nama wanita penghibur. Di bagian paling kiri, tertulis nomor, kemudian diikuti nama, waktu, dan kerja. Penghasilan para wanita penghibur itu rata-rata Rp150 ribu, dipotong uang sewa kontrakan dan setoran kepada mucikari. Seorang PSK mendapatkan uang bersih hanya Rp50 ribu setiap kali kencan.
Keberadaan mereka di Kalijodo juga sangat terikat. Mucikari menerapkan peraturan yang disertai denda yang tidak sedikit jika ada yang melanggar. Peraturan yang ditempel di pintu sebuah penginapan itu menegaskan, PSK dilarang keluar atau membukakan pintu di luar jam kerja, dilarang berpacaran dengan sesama pekerja di kafe, dan dilarang membuat alasan macam-macam bila tidak mau melayani pelanggan. Selain denda denda hingga puluhan juta, peraturan itu juga disertai ancaman pemecatan.
Kejamnya kehidupan di Kalijodo membuat para wanita malam merasa tertekan. Di antara mereka ada yang ingin terbebas dari aktivitas yang berlumur dosa itu. Ungkapan itu diluapkan seorang PSK bernama Vivi lewat tulisan di buku harianya. Dia menulis, "Ya Allah, aku sudah nggak betah hidup yang ku jalani sekarang. Ya Allah, bimbinglah aku ke jalan yang benar. Ya Allah... Aku ingin jadi orang yang baik di mata semua orang terutama-Mu. Ya Allah... Kapan semua nich akan berakhir. Ya Allah, aku sudah capek dengan semua ini."
Perempuan-perempuan penghibur di Kalijodo kini bertebaran entah di mana. Setelah terjebak dalam kejahatan human trafficking, mereka kini hidup terlunta-lunta. Prostitusi Kalijodo, realitas perbudakan perempuan.
Ratu Selvi Agnesia/M. Yamin Panca Setia