Bang Sém
HASRAT menyaksikan pameran karya seni rupa Butet Kartaredjasa 'Melik Nggendong Lali' yang tertunda beberapa kali akhirnya kesampaian, Ahad (19/5/24) petang.
Tiba di lokasi pameran, Gedung A, Galeri Nasional Indonesia, Jalan Merdeka Timur, Jakarta Pusat banyak anak muda antre registrasi. "Silakan bapak duluan," cetus salah seorang di antara mereka.
Menarik. Animo anak-anak muda, generasi Z menyaksikan pameran itu terbilang besar. Di ruang pamer, sebagian besar pengunjung dari kalangan mereka.
Sebuah patung lelaki tinggi dua meteran berdiri tegak di ruang pertama, berlatar dinding warna merah. Tiga potongan lukisan vertikal bertuliskan 'Melik Nggendong Lali' dengan latar merah putih melatari.
Patung warna hitam berkecak pinggang, itu berbalut warna hitam dengan model pakaian (lengkap dengan topi kebesaran) bak Amangkurat. Segaknya pongah, angkuh dan jumawa. Wajahnya dicat dengan warna kuning ke emasan. Hidungnya panjang, bagai hidung boneka kayu, pinokio.
Patung itu menghadap ke dinding lain, tepat karya sketsa Butet yang mirip wafak dan rajah berukuran A 3, hitam putih. Dilihat dari posisi patung, setiap helai sketsa itu menghadirkan beragam gambar: binatang, manusia, pohon, dan lain-lain.
Begitu didekati, pada setiap bentuk sketsa itu, bertuliskan nama asli Butet: "Bambang Ekolojo Butet Kartaredjasa." Sekilas saya menangkap kesan, Butet memang disiapkan oleh ayahnya, Bagong Kussudiardiardja -- maestro tari yang pernah dimiki bangsa ini -- sebagai manusia yang mengalami tempaan hidup yang tidak ringan.
Saya pernah dengar, lelaki yang diberi nama Bambang dan perempuan yang diberi nama Endang, dalam tradisi Jawa, sering dimaknai sebagai pribadi-pribadi tempaan untuk mencapai kualitas integritas tertentu. Karenanya, tak dapat menerima siapa saja yang méncla-ménclé. Apalagi mereka yang dipandangnya berkhianat pada nilai-nilai dan norma-norma kebernaran yang lazim.
Wirid Visual
Saya menduga-duga, patung pongah gaya Amangkurat yang buruk laku, termasuk mengabaikan nasihat dan kritik kaum ruhaniawan, dan mencerminkan kemunafikan itu sengaja dihadapkan ke dinding yang berisi sketsa 'wirid visual' perenungan Butet itu.
Dua belia dekat saya menyaksikan patung itu, menyebutnya sebagai sosok penguasa pendusta. Tapi, untuk memahami sketsa 'wridi visual' Butet, dia perlu balik ke lobi. Membaca pengantar singkat dari kurator, Asmudjo J. Irianto.
Saya keliling melihat beragam lukisan, sketsa, mini sculpture, dan medium ungkap sketsa dalam bentuk logam dan keramik, termasuk puluhan keramik kecil berbentuk kepala manusia 'badut-badut' bertajuk Koalisi Indonesia Mundur. Saya mendapat kesan Butet sungguh sedang menyampaikan pesan ihwal spiritualitas dan minda kritisnya, seperti ditulis Irianto.
Berbagai karya rupa yang menghadirkan obyek dengan karakter banteng, harimau, anjing, kelinci, badut, ular, dan lainnya, termasuk karakter kata 'Nusantara' memperlihatkan suasana batin Butet.
Spiritualitas Butet sangat terasa pada karya-karyanya yang utuh berupa sketsa wafak - rajah. Penulisan nama aslinya dalam karya-karya sketsa ini seolah sedang menegaskan penyerahan diri, iklas lila legawa atas realitas hidup yang dijalani. Bagian dari jejak sejarah perjalanan hidup, seperti potongan wesel honor menulis yang 'ditanam' di tangga rumahnya.
Akan halnya karya-karya yang menghadirkan berbagai watak hewan menghadirkan ekspresi minda kritis terhadap situasi dan realitas hidup. Tanpa kecuali sosial politik.
Ketika ngobrol dengan pengunjung dari kalangan anak-anak muda, termasuk generasi Z di ruang pamer, saya mendapat kesan, karya-karya tersebut juga hadir sebagai medium komunikasi visual tanpa suara.
Eling lan Waspada
Selepas itu saya menjumpai Butet di ruang gigiran lobi. Seperti biasanya: gayeng ! Sudah lama kami tak bertemu. Dugaan saya tak keliru-keliru amat. Berbagai hal tentang spiritualitas (dari pengalaman empiris) dan ekspresi kemarahan yang diekspresikan dengan medium seni (artistik, estetik dan etik) terkonfirmasi.
Saya menyimak ketika Butet menjelaskan, selama 90 hari setiap malam, secara konsisten dan sabar melakukan laku spiritual untuk menghasilkan apa yang dia sebut sebagai 'wirid visual' itu.
Dia konsisten melakukannya sebagai manifestasi rasa syukur, memaknai hidup, setelah mengalami ujian yang beragam. Baik kegembiraan dalam hidup atau derita kala mengalami sakit, lalu sembuh.
Minda dan sikap kritis yang diluahkan dalam bentuk karya, juga bagian dari proses lanjut laku spiritualnya, mengaktualisasi pikiran dan rasa. Termasuk mempertahankan minda dan sikap kritis ketika mendapatkan 'represi' ketika berekspresi dengan medium seni lain : teater.
Sebagian karya yang dipamerkan, termasuk patung a la Amangkurat dan berbagai lukisan dengan meminjam karakter hewan buas sebagai potret kekuasaan tak terpisahkan dengan kesungguhan untuk konsisten menempatkan diri di tengah konstelasi sosio-politik.
Dari percakapan dengan Butet, saya mendapat kesan, dia bersikap sangat proporsional terkait tanggung jawab seniman terhadap masyarakat, negara dan bangsanya. Dia berimpresi atas situasi dan mengekspresikan dalam karya. Selepas itu, dia serahkan kepada khalayak -- khasnya pengunjung pameran -- menafsirkannya.
Butet tak memikirkan lagi, bagaimana khalayak mempersonifikasi patung dan karya-karyanya dengan penguasa siapapun. Termasuk kepada anak-anak muda, generasi Z yang banyak menyaksikan pameran karyanya.
Dia memilih tajuk pameran 'Melik nggendong lali,' sebagai tema utama untuk mengingatkan siapa saja yang ambisius memiliki sesuatu secara berlebihan akan memikul kealpaan pada jati diri. Di situ konsistensi terhadap sesuatu yang baik dan positif kudu dirawat baik pula.
Setiap penguasa atau yang menerima amanat untuk berkuasa, kudu eling lan waspada terhadap dirinya dan lingkungannya. Apalagi, ketika lingkungan sekitar lebih banyak badut-badut yang hanya memberikan penghiburan dan bukan peringatan.
Menyimak buncah spiritualitas dan minda kritis Butet yang tersimpan dalam setiap karyanya, bagi saya bagian dari sajian nalar dan nurani yang segar. |