
Catatan Lepas Bang Sèm
Majelis Ulama Indonesia (MUI) menggelar Konferensi Internasional Agama, Perdamaian, dan Perdamaian di Jakarta (21-23 Mei 2023). Konferensi tersebut dimaksudkan untuk mengkaji model-model keberagamaan transformatif; mengkaji dimensi peradaban dalam agama; mengkaji strategi membangun perdamaian dunia berbasis agama; mengembangkan teologi kerukunan; dan merumuskan model moderasi beragama sebagai sarana pengembangan perdamaian dan peradaban dunia.
Kita apresiasi ikhtiar yang dilakukan ini, meski secara substantif tak ada hal baru. Tema dan topik dalam konferensi ini, terkesan dan terasa masih mengulang-ulang tema dan topik yang sama dalam berbagai konferensi internasional di berbagai belahan dunia.
Keberagamaan transformatif, moderasi beragama sebagai solusi, dan model-model teologi kerukunan, sudah berbilang dasawarsa menjadi wacana. Tapi, belum juga termanifestasi dan teraktualisasi sebagaimana nilai yang mengemuka dalam wacana konferensi.
Islamphobia, misalnya, masih menjalar di berbagai negara, sampai akhirnya Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mendekalarasikan International Combating Islamphobia (Hari untuk Memerangi Islamfobia secara Internasional), 15 Maret 2021.
Penetapan itu diputuskan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi sebuah resolusi yang disponsori oleh 60 negara anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI). Pada dokumen deklarasi tersebut jelas dinyatakan, bahwa terorisme dan ekstremisme kekerasan tidak dapat dan tidak boleh dikaitkan dengan agama, kebangsaan, peradaban, atau kelompok etnis apa pun.
Dokumen ini menyerukan dialog global untuk mempromosikan budaya toleransi dan perdamaian, berdasarkan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan keragaman agama dan kepercayaan.
Kala itu, Sekretaris Jenderal PBB António Guterres menunjukkan bahwa kefanatikan anti-Muslim merupakan bagian dari tren yang lebih besar dari kebangkitan etno-nasionalisme, neo-Nazisme, stigma, dan ujaran kebencian yang menargetkan populasi yang rentan, termasuk Muslim, Yahudi, beberapa komunitas Kristen minoritas, serta yang lainnya.
Islam melalui firman Allah dalam Al-Quran sudah berabad lalu menegaskan, bahwa manusia diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal. Merujuk pada firman Allah tersebut, Guterres mengemukakan keberagaman adalah kekayaan, bukan ancaman.
Sejarah peradaban Islam (setidaknya fase Mardova : Madinah al Munawwarah - Cordova) menyimpan bagaimana Islam menerapkan prinsip-prinsip dasar dan aktual tentang inkluivisme, toleransi, bahkan tanggung jawab perlindungan atas esensi dan hak-hak dasar manusia secara adil dan beradab.

Islamfobia Masih Terjadi
Banyak pemerintah telah mengambil langkah-langkah untuk memerangi Islamofobia dengan membuat undang-undang anti-kejahatan kebencian dan langkah-langkah untuk mencegah dan mengadili kejahatan kebencian dan dengan melakukan kampanye kesadaran publik tentang Muslim dan Islam yang dirancang untuk menghilangkan mitos dan kesalahpahaman negatif.
Namun, faktanya, Islamfobia masih terus saja terjadi. Mulai dari ujaran kebencian yang mengkhawatirkan di seluruh dunia, infiltrasi dan bahkan genosida atas umat Islam.
Ironisnya, di berbagai negara berpenduduk mayoritas Islam, presumsi buruk tentang terorisma, ekstrimisma, dan fundamentalisma, bahkan menjadi mainan politik. Stigma tentang intoleransi, kerap dialamatkan kepada umat Islam.
Belakangan (5 April 2023), bahkan seruan dan aksi genosida muslim berlaku di India. Yati Narsinghanand, pemimpin militan Hindu terkemuka dan pembenci Islam, membuat pernyataan ofensif dengan menyebut Kabah di Mekkah sebagai "kuil" yang harus direbut oleh umat Hindu untuk mengalahkan Islam dan Muslim. Bahkan secara gegabah dia memprvokasi umat Hindu India, "Jika Anda tidak merebut Makkeshwar Mandir (Bait Suci Makkah), tidak ada kekuatan di dunia ini yang dapat mengalahkan Islam."
Dalam konteks demikian, antara lain, kita boleh bersepakat dengan pandangan MUI sebagai latar penyelenggaraan konferensi ini, bahwa peran agama dapat menjadi pedoman dalam menciptakan perdamaian dan tatanan dunia yang adil dan beradab. Termasuk dalam mempraktikan ajaran agama sebagai ruh transformasi sosial.
Tak hanya untuk mencegah konflik untuk memelihara kerukunan hidup manusia yang aman dan damai, karena agama, sejak ada dan dianut umat manusia sudah merupakan sumber nilai dalam prses menciptakan perdamaian dunia di seluruh aspek kehidupan.
Saya sependapat dengan pandangan Nazaruddin Umar, Imam Besar Masjid Istiqlal (Wakil Menteri Agama 2011-2014) - Pengasas Masyarakat Dialog Antar Umat Beragama. Ahad (21/5/23) dalam forum konferensi dia mengemukakan, peru pemikiran luar biasa (out of the box) dalam berikhtiar mewujudkan perdamaian baru. Termasuk dalam hal merancang peradaban baru dengan segala kompleksitasnya.

Pemikiran HOS Tjokroaminoto
HOS Tjokroaminoto - pemimpin Syarikat Islam - guru ssebagian besar tokoh pendiri negara Republik Indonesia -- sudah sejak awal abad ke XX mengembangkan gagasan tentang persatuan umat. Landasannya adalah 'sebersih-bersih tauhid, ilmu pengetahuan dan siasah (dalam makna strategi dan formula) keberagamaan, kebangsaan, dan tanggungjawab kerakyatan.
Guru bangsa ini pula yang pada masa itu secara asasi dan mendalam menerapkan prinsip relasi umat beragama - kaum beriman sesuai firman Allah (QS Al Hujurat: 10), "innamal mu'minuuna ikhwah, fashlihu baina akhawaikum.' Setiap insan beriman adalah bersaudara, karena itu damaikanlah saudaramu.
Formula yang dikemukakan HOS Tjokroaminoto dalam keseluruhan konteks agama, perdamaian, dan peradaban adalah kemauan untuk bersatu (dengan mengenali tantangan yang dihadapi dan peluang memerankan diri sebagai subyek), sehingga menjadi kekuatan yang prima dalam menebar kesadaran imani secara antusias dalam menghidupkan simpati, empati, apresiasi, respek, dan cinta.
Nilai asasi ajaran agama mesti menjadi kekuatan memenangkan kemanusiaan dengan segala hak dasar dan sosialnya yang memungkinkan kekuasaan (otoritas yang dilandasi keimanan) untuk menempa manusia sebagai investasi peradaban (dalam wujud masyarakat sehat, cerdas, mampu secara ekonomi, dan bertanggung jawab mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan duniawi - ukhrawi). Menempatkan diri sebagai manusia yang merdeka (berdaulat, mandiri, dan berkepribadian) di atas landasan keadilan, keberadaban, dan kemanusiaan.
Dalam konteks demikian, HOS Tjokroaminoto dan Haji Agus Salim merumuskan aksi manifestasi kesadaran beragama - daya imani dengan konsekuen dan konsisten menerapkan syariat dan ibadat dalam satu tarikan nafas dengan aqidah, muamalah, dan akhlak. Khasnya dalam mewujudkan eksistensi manusia dalam suatu relasi yang sederajat. Kaum yang beriman atau umat beragama mesti dibina dan dikembangkan bukan sebagai sumberdaya manusia, melainkan sebagai modal insan, subyek dalam keseluruhan konteks pembangunan di seluruh aspek kehidupan.
Kini, di abad ke XXI apa yang diajarkan HOS Tjokroaminoto (termasuk tentang perdamaian dan peradaban dunia melalui kesadaran universe prosperity dan global nationalism) kepada para pendiri bangsa tersebut, relevan dengan tantangan kini dan masa depan. Sekaligus terkoneksi dengan perdamaian dan peradaban dunia.
Mulai dari aktualisasi ajaran agama terhadap ekologi dalam konteks manusia sebagai rahmat bagi semesta, subyek dalam menempatkan manusia sebagai ahsanit taqwim (sesempurna makhluk) yang mesti mengembangkan diri sebagai insan kamil sebagai khalifah Allah di muka bumi. Manusia utama dengan ketrampilan Abad XXI (antara lain seperti yang ditawarkan James Martin - tokoh revolusioner Oxford University, prdiksi Jaard Diamond, dan lain-lain) yang bertanggung jawab: Menyelamatkan bumi; Membalik kemiskinan; Mengendalikan demografi; Mencapai gaya hidup berkelanjutan (Sustainable Life Style); Mencegah perang; Melindungi biosfer; Menolak terorisme; dan Menghadapi globalisme secara efektif.

Harapan untuk 'Kesepakatan Jakarta'
Lantas aktualisasi ajaran agama dalam konteks peran sentral manusia dalam: Mengembangkan kreativitas, inovasi dan invensi berbasis sains dan teknologi; Menaklukan penyakit (endemi dan pandemi); Memperluas potensi manusia; Mengendalikan singularitas; Menghadapi risiko eksistensial -- dengan mengambil alih artificial intelligent yang memungkinkan terjadinya artificial humanity); Menjelajahi transhumanitas - melalui pengembangan sains; Memodelkan sistem planet; Merencanakan peradaban lanjut; dan Menjembatani kesenjangan antara keterampilan dengan kearifan melalui pengembangan budaya (tempatan dan global).
Dalam keseluruhan konteks itu, kesepakatan para ulama dan juga para cendekiawan berbagai agama, untuk memusatkan kembali perhatian melayani umat (tidak lagi terjebak dalam urusan politik praktis mendapatkan posisi-posisi penyelenggaraan pemerintahan) menjadi penting.
Dengan demikian para ulama (cendekiawan dan pemuka agama) mesti merumuskan ulang definisi ihwal layanan-layanan penting dan fungsi sosial keumatan, termasuk layanan spiritual. Terutama, karena umat berada dalam situasi kegamangan, ketidak-pastian, keribetan, dan kemenduaan akibat digempur oleh beragam krisis. Tanpa kecuali merumuskan dukungan perlindungan sosial di tingkat komunitas, sekaligus mengatasi berbagai kesenjangan dan ketidak-adilan dan pencilan (outlier) kebebasan beragama.
Setarikan nafas, mengambil berbagai inisiatif melibatkan mitra agama untuk mencegah konflik dan juga menghempang konflik sebelum mencapai tingkat yang berbahaya. Selaras dengan hal ini, maka pemerintah dan majelis muzakarah dan musyawarah para pemimpin agama, dan pemimpin agama perlu bekerja sama, sehingga setiap kelompok memahami berbagai aspek kebebasan beragama. Sekaligus membangun kesehatan mental spiritual umat.
Merujuk dari pandangan demikian, serta berbagai pemikiran yang berkembang dalam forum konferensi ini (di berbagai sesi), kita berharap terumuskan rekomendasi dalam bentuk Kesepakatan Jakarta (yang dirancang) yang bersifat menyeluruh meliputi seluruh aspek keadilan, keadaban, dan kemanusiaan -- tak sekadar tentang implementasi moderasi beragama sebagai solusi membangun harmoni, mengatasi ektrimisme dan phobia -- bersifat implementatif. Tak lagi sekadar wacana.
Kepakatan Jakarta sebagai rekomendasi konferensi ini (dalam konteks Indonesia), kelak bisa ditindak-lanjuti oleh Majelis Ulama Indonesia dan organisasi sejenis di agama lain untuk melakukan Dialog Screnario Plan yang merupakan proses visioneering dan mandatori bagi pemimpin penerima amanah rakyat kelak. Khasnya dalam ikhtiar serius mewujudkan cita-cita perjuangan kemerdekaan bangsa ini, berbasis dasar-dasar negara yang tersurat dan tersirat dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 yang ditetap 18 Agustus 1945.
Kita memberi apresiasi pada inisiatif Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menjanjikan harapan ini. Tahniyah MUI !