Catatan Bang Sem
Merujuk ihyaal mawat atau zona sumberdaya alam yang idle, atau tak termanfaatkan, politik sumberdaya alam dari perspektif Islam, menegaskan penyerahan hak pengelolaan dari pemerintah kepada masyarakat atau rakyat.
Beranjak dari pandangan demikian, HOS Tjokroaminoto melalui Syarikat Islam (1907) menegaskan hakekat kebangsaan dan kedaulatan rakyat. Termasuk penegakan kemandirian dalam pengelolaan sumberdaya alam. Pandangan ini dilanjutkan oleh murid-muridnya, termasuk Soekarno.
Dengan semangat kemandirian yang dikobarkan, kehendak untuk mengelola sumberdaya alam secara mandiri tumbuh dan berkembang, mulai dari 17 wilayah yang meliputi Jawa, Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera.
Inilah kemudian yang mendasari pemahaman tentang nasionalisme pengelolaan sumberdaya alam. Suatu dimensi pemikiran yang luas, meskipun sempat dipahami hanya dalam konteks nasionalisasi pada masa pemerintahan Soekarno.
Adalah benar, potensi sumberdaya alam Indonesia meruah. Tanah yang subur, telah memungkinkan kawasan hutan Indonesia terbilang paling luas di dunia. Rata-rata hasil hutan Indonesia mencapai 2,5 miliar dollar Amerika Serikat, setiap tahunnya. Potensi minyak dan gas bumi yang terkandung di bumi Indonesia.
Tapi ini tentu cerita lama. Cerita awal abad ke 21, sekitar 12 tahun lampau.
Belakangan, ketika Trisakti Bung Karno digembar-gemborkan lagi, sikap kita terhadap hutan dan sumberdaya alam lainnya malah mengalami penurunan drastis. Kita seolah membiarkan luas hutan kita terus berkurang bilangannya, karena banyak hutan yang digunduli melalui pembakaran hutan yang biadab untuk kepentingan komersial ekonomi. Tentu yang tidak menyejahterakan rakyat.
Diperkirakan, Indonesia mempunyai puluhan lagi ladang minyak, meskipun yang sudah dieksplorasi dan dieksploitasi baru sepertiganya, dengan cadangan sekitar 77 miliar barel minyak dan 332 triliun kaki kubik gas. Artinya, volume dan kapasitas bahan bakar minyak cukup besar. Belum lagi kandungan batubara dan berbagai mineral yang diperoleh dari lapisan berbatuan dan tanah yang mengandung emas, timah, perak, tembaga, dan nikel.
Semua cerita itu berubah di lapangan. Terutama akibat kebijakan pemerintah yang tidak jelas memainkan politik sumberdaya alam. Apalagi, pengelolaan bisnis berbasis sumberdaya alam, baik yang dilakukan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun swasta, tidak banyak melakukan perubahan tata minda bisnisnya.
Karenanya, berbagai aturan yang jernih dan regulasi yang konsisten, menjadi penting. Terkait dengan inilah, hukum dan peraturan bisnis berbasis sumberdaya alam, mesti selalu dilandasi oleh akhlak terhadap alam.
Secara sederhana dan praktis, akhlak terhadap alam dapat dipahami dengan sikap paling sederhana.
Misalnya: Jangan pernah menebang pohon di hutan, sebelum menanam sepuluh pohon. Jangan pernah melakukan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan, sebelum mempunyai rencana matang untuk melakukan reklamasi secara baik dan benar. Jangan pernah mengebor sumur minyak dan gas bumi, tanpa teknologi dan standard operating procedures yang benar. Begitulah seterusnya. Kesemuanya mesti tercermin di dalam bussines plan sebagai landasan asasi perjanjian kerja sama mengelola sumberdaya alam.
Dengan demikian sejak awal sudah direncanakan perkembangan seluruh mekanisme pengelolaan sumberdaya alam secara jelas dan gamblang. Termasuk proyeksi nilai kemanfaatannya dihubungkan dengan rencana pertumbuhan ekonomi bangsa untuk kurun waktu tertentu yang selaras dengan masa eksplorasi, eksploitasi, dan produksi.
Sepanjang masa itu, berbagai aspek yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam, selalu akan terkait dan dipengaruhi oleh berbagai faktor langsung dan tidak langsung. Misalnya, trend harga produksi, yang potensi keuntungannya baru akan dinikmati, minimal pada tahun 15 tahun atau 20 tahun ke depan.
Secara konsep, hal ini memang ideal. Praktiknya tidak begitu. Semua aturan diterabas oleh kepentingan yang beragam, terutama kepentingan sesat sesaat. Dampaknya? Pertumbuhan ekonomi kita bergerak bagai keong, terus melambat dari masa ke masa. Termasuk kini, yang berkisar hanya 4 persen – 4.5 persen.
Karenanya, proyeksi pertumbuhan ekonomi antara 10 persen sampai 15 persen pada tahun 2027, boleh jadi hanya akan menjadi fantacy trap belaka. Apalagi, pasa masa itu proyeksi daya dukung sumberdaya alam menurun.
Dari sektor perkebunan dan kehutanan, misalnya proyeksi pendapatan menurun rata-rata 15 persen per tahun hingga tahun 2027. Terutama karena deforestasi yang terjadi selama ini, memang telah merampas seluruh potensi keuntungan kini dan masa depan.
Selaras dengan itulah, pengelolaan sumberdaya alam memerlukan kebijakan-kebijakan sektoral yang spesifik. Misalnya, memberlakukan moratorium kehutanan bersamaan dengan berlakunya program reboisasi dan moratorium pertambangan.
Selama masa moratorium dan secara intensif mengembangkan riset dan pengembangan benih, sekaligus gencar melakukan proses pembenihan dan penanaman. Secara bersamaan mengembangkan berbagai kemampuan dan keandalan teknologi untuk mengganti (sementara waktu selama 15 tahun) kebutuhan terhadap kayu dengan sumberdayalain.
Menghadang berlangsungnya deforestasi dengan moratorium, tidak akan membuat manusia berhenti menjalani kehidupannya. Bahkan, merupakan masa bagi setiap manusia di belahan bumi manapun, mendorong dayacipta insani.
Moratorium juga perlu dilakukan untuk pertambangan batu bara, umpamanya, yang selama ini, dari sisi bisnis, mengalami booming, dan pada gilirannya akan mengalami penurunan produksi. Selama masa itu, dilakukan riset atau penelitian untuk menemukan alternatif penambangan lain untuk mengganti batubara.
Selaras dengan pandangan ini, semestinya kita memahami, luas daratan Indonesia (192 juta hektar) yang menyimpan kekayaan mineral, batu bara, minyak bumi, gas, dan energi lainnya harus sungguh berada di bawah penguasaan negara.
Tentu dengan memahami secara bersungguh-sungguh, realitas pengelolaannya yang tidak mudah. Memerlukan modal yang sangat besar, kurun waktu pencapaian hasil usaha yang lama, memerlukan teknologi pengolahan yang rumit, dan risiko yang sangat berpengaruh terhadap keadaan keuangan negara.
Dalam konteks itulah kita memahami kebijakan pemerintah tentang penanaman modal asing dan domestik dalam mengelola sumberdayaalam. Kita tidak bisa serta-merta memandang kebijakan tersebut hanya dari satu sudut pandang belaka. Kita perlu memandang lebih jernih: Sungguhkah Indonesia telah dijual kepada pemodal asing, hanya untuk kepentingan segelintir orang yang berkuasa dengan di pemerintahan dan parlemen? Atau, kita belum menyelami dengan seksama, mekanisme investasi di sektor sumberdayaalam?.
Untuk menjawab pertanyaan itu, lagi, akhlak dalam politik sumberdaya alam penting sebagai indikator. |