N. Syamsuddin Ch. Haesy
BANJIR baru saja menghempas kita. Erupsi Gunung Sinabung baru saja menebar derita. Tragis, di antara kita, masih banyak orang saling tuding dan saling menyalahkan satu dengan lain. Terutama para petinggi. Tak terkesan ada kesadaran untuk merenung. Paling tidak untuk melakukan introspeksi, bagaimana kita sudah memperlakukan alam dengan baik?
Manusia diciptakan Tuhan untuk menjalankan tugas dan fungsinya sebagai rahmat atas alam. Dengan demikian, keberadaan manusia atas alam, semestinya berfungsi sebagai pemelihara. Bukan sebagai perusak alam.
Sesuai dengan tujuan penciptaan manusia untuk mengabdikan diri kepada-Nya, maka salah satu wujud nyata manusia di dunia adalah memberi perlindungan dan pemeliharaan atas alam, sehingga manusia memperoleh manfaat sebesar-besarnya dari alam. Karena itulah, tugas manusia di atas muka bumi adalah mengelola alam dengan sebaik-baiknya.
Secara filosofis, pengelolaan sumber daya alam, harus diperuntukan bagi kemakmuran rakyat seluas-luasnya secara berkeadilan. Tidak hanya untuk mencapai nilai keekonomian, melainkan juga untuk mencapai nilai yang jauh lebih besar: lingkungan hidup. Tidak hanya karena daya dukung sumber daya alam selalu mengalami perubahan, dan cenderung menurun. Juga, karena kualitas sumber daya alam amat bergantung kepada kepedulian dan sikap hidup manusia yang mengelolanya.
Untuk mewujudkan perilaku yang baik dalam mengelola alam, Tuhan memberikan akal dan fikiran, agar manusia mampu mempelajari ilmu pengetahuan dan menguasai teknologi, sehingga mampu mengeolola alam secara lebih efektif dan efisien. Tuhan memberikan naluri kepada manusia, agar manusia dapat berinteraksi dengan sebaik-baiknya dalam mengelola alam. Tuhan memberikan perasaan kepada manusia, agar manusia memperlakukan alam dengan kasih dan sayang dan tidak mencederainya. Tuhan memberikan indria kepada manusia, yang dengan indrianya, itu manusia memperlakukan alam secara proporsional.
Kesemua itu, memberikan kesempatan sangat luas kepada manusia, untuk mengelola alam secara lebih baik dan mempertimbangkan berbagai aspek dan dimensi. Termasuk di dalamnya, pertimbangan-pertimbangan transgenerasi. Pertimbangan asasi, bahwa alam yang diberikan Tuhan kepada manusia saat ini, tidak hanya diperuntukan kepadanya semata. Bahkan untuk generasi yang selanjutnya. Dalam konteks itulah, pengelolaan alam berlangsung terus menerus, berkelanjutan.
Beranjak dari pandangan demikian, secara sederhana manusia dihadapkan kepada situasi kepedulian untuk selalu memperbarui dan mengubah cara pandang, pola pikir, sikap, dan perlakuannya atas sumber daya alam. Yaitu, seluruh potensi alam, mulai dari air, minyak bumi, gas, api, angin, udara, hutan, materi tambang, dan lainnya.
Potensi sumber daya alam itu, merupakan bahan dasar yang dapat dikembangkan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya terhadap pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, dan bahkan gaya hidup. Oleh karena itu, kepedulian manusia terhadap sumber daya alam, berhubungan langsung dengan dimensi kedalaman iman manusia.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib karamahu wajhah, secara eksplisit menegaskan, Tuhan menciptakan alam dari non eksistensi. Karena itu, alam sebagai ciptaan bersifat orisinil. Alam tercipta tanpa proses berfikir, tanpa melalui eksperimen, tanpa merumuskan aksi dan program untuk mewujudkan kehendak, dan bukan karena adanya untuk mewujudkan kehendak. Juga bukan karena adanya kebutuhan untuk mendapatkan sesuatu. Karenanya, alam merupakan bukti kongkret bagi manusia untuk memahami eksistensi-Nya, dengan segala hukum yang menyertainya. |