Bak koboi mabuk di atas pelana kuda, Presiden Amerika Serikat (AS) melontar bom ke segala penjuru dunia, lewat tarif politik timbal balik impor.
Di hadapan pendukungnya, di Taman Mawar - laman Gedung Putih - Washington DC, Rabu (2/4/25 - waku tempatan), dengan gayanya, Trump menghebah (mengumumkan kebijakan politik dagangnya: serangkaian tarif bea masuk, sebagai bagian dari strategi ekonomi "Hari Kemerdekaan."
Semua negara di dunia bakal dikenakan tarif ke depan, setidaknya 10 persen. Kanada dan Mexico sudah dikenakan tarif beberapa waktu sebelumnya.
Puluhan negara yang diidentifikasi sebagai negara yang memiliki hambatan tinggi terhadap barang-barang AS bakal dikenakan tarif "timbal balik" yang lebih tinggi.
Pungutan baru tersebut, pada ghalibnya merupakan tambahan dari tarif yang sudah ada, seperti pajak terkait fentanil sebesar 20 persen, yang sebelumnya dikenakan atas barang-barang China. Trump, sebelumnya juga menutup barang-barang jangka pendek.
Pada kesempatan menghebah kebijakan politik ekonominya tersebut, Trump mengemukakan, bahwa tarif tersebut akan meningkatkan lapangan kerja manufaktur di dalam negeri.
Secara sarkastik Trump menyatakan, "Selama beberapa dekade, negara kita telah dijarah, dirampok, diperkosa, dan dijarah oleh negara-negara di dekat maupun jauh, baik kawan maupun lawan."
Kebijakan Trump tersebut, juga mengecualikan barang-barang tertentu dari industri utama, tanpa kecuali: baja, aluminium, mobil, tembaga, farmasi, semikonduktor, dan kayu — juga dikecualikan dari tarif ini. Barang-barang tersebut akan dikenakan tarif yang sudah ditentukan atau akan segera ditentukan oleh presiden Trump.
Menekan dan Memengaruhi Ekonomi ASEAN
Negara-negara di rantau ASEAN (khasnya yang nampak hubungan erat dengan China) dikenakan tarif jauh di atas 10 persen. Vietnam terkena tarif impor sebesar 46 persen; Kamboja 49 persen; Thailand 36 persen; Indonesia 32 persen; Malaysia 24 persen; Brunei 24 persen; Pilipina 17 persen, Laos 48 persen. Hanya Timor Leste yang dikenakan tarif 10 persen.
Menurut Phar Kim Beng, guru besar studi ASEAN di Universitas Islam Antarabangsa Malaysia dalam tulisannya yang dipublis Bernama, kebijakan tersebut (terkesan) menekan ASEAN, sekaligus berisiko memicu tekanan inflasi di AS sendiri dan rantau sekitarnya.
Beng menambahkan, tarif ini secara signifikan memengaruhi ekonomi ASEAN, khususnya yang bergantung pada ekspor ke AS.
Tarif-tarif tersebut menghadirkan tantangan ekonomi, namun tidak akan menyebabkan keruntuhan ASEAN. Kekuatiran sebenarnya terletak pada kemampuan daya pengaruh kebijakan tarif ini untuk mengganggu persatuan ASEAN dan menciptakan tekanan inflasi.
Beng yakin, ASEAN menghadapi tantangan berat, namun tidak akan runtuh. Negara-negara di rantau ASEAN punya sudah punya pengalaman khas melewati berbagai guncangan eksternal, mulai dari Krisis Keuangan Asia 1997 hingga perang dagang AS-China. Meskipun tarif-tarif ini memiliki dampak yang berbeda-beda, kerangka kelembagaan ASEAN — seperti Masyarakat Ekonomi ASEAN (AEC) — membantu menjaga ketahanan regional.
Namun, menurut Beng, persatuan ASEAN akan teruji, karena negara-negara anggota dengan tarif yang lebih tinggi, seperti Vietnam dan Kamboja, mungkin akan mencari negosiasi terpisah dengan AS, yang mengarah pada potensi perpecahan dalam blok tersebut.
Secara khas, Malaysia misalnya, terbukti tangguh dalam menghadapi krisis 1997, kendati memantik instabilitas politik yang berkepanjangan dalam menghadapi krisis.
Beban Biaya pada Konsumen
Akan halnya Indonesia, krisis ekonomi (yang dimulai dengan krisis moneter) tahun 1997 justru mempercepat gerakan politik reformasi yang menumbangkan kekuasaan Presiden Soeharto (Orde Baru) justru ketika sedang kokoh. Pasalnya, karena fundamental ekonomi yang rapuh dan ditutupi oleh cindai politik berbalur retorika.
Fredy Latuhihin pada dialog Metro TV (Kamis, 3/4/25) mengingatkan Bank Indonesia sebagai bank sentral untuk menguatkan independensinya sehingga bisa mengambil kebijakan-kebijakan tepat di bidang moneter. Khasnya dalam pengendalian kurensi. Terutama, karena benih-benih krisis, seperti akan bertambahnya bilangan pengangguran, daya beli masyarakat yang menurun, mulai terasa dalam dinamika sosial.
Beng mewanti-wanti, dampak paling langsung dari tarif Trump adalah inflasi, baik di AS maupun di seluruh dunia. Ketika biaya impor meningkat, bisnis akan membebankan biaya-biaya ini kepada konsumen, dengan menaikkan harga.
Contoh historis, dikemukakan Beng, seperti Undang-Undang Jagung di Inggris abad ke-19, yang menunjukkan, kebijakan proteksionis seringkali menyebabkan inefisiensi ekonomi dan peningkatan biaya.
Akan halnya Deborah Elms, direktur eksekutif Asian Trade Centre -- seperti dikutip Beng -- berpendapat, bahwa gangguan rantai pasokan akibat tarif menciptakan tekanan inflasi jangka panjang, khususnya dalam industri yang bergantung pada perdagangan global.
Sedangkan Jeff Friedman pakar kebijakan perdagangan dari Universitas Harvard, memperingatkan bahwa tarif pembalasan dari ASEAN dapat memperdalam spiral inflasi.
Eskalasi Perang Dagang
Berbagai pandangan yang mengemuka dari berbagai media internasional mengisyaratkan, kebijakan tarif Trump tersebut, serta pungutan yang jauh lebih tinggi pada puluhan pesaing dan sekutu telah mengintensifkan perang dagang global yang akan memicu inflasi dan menghambat pertumbuhan ekonomi.
Kebijakan tarif Trump tersebut, diandaikan bakal segera memicu gejolak di seluruh pasar dunia dan menuai kecaman dari para pemimpin lain yang kini menghadapi akhir dari liberalisasi perdagangan selama beberapa dekade yang telah membentuk tatanan global.
Merosotnya indeks harga saham Nikkei Jepang (Kamis, 3/4/25) sampai ke level terendah dalam delapan bulan, parslel dengan anjloknya saham berjangka AS dan Eropa, karena investor berebut mencari keamanan via obligasi dan emas.
China, ekonomi nomor satu di dunia, yang menghadapi tarif baru sebesar 34% di atas tarif 20% yang sebelumnya diberlakukan Trump, bersumpah untuk mengambil tindakan balasan.
Demikian pula halnya Komisi Eropa - Uni Eropa sebagaimana dikemukakan Ursula von der Leyen - Presiden Komisi Eropa. Politisi Jerman ini mengemukakan, kebijakan tarif Trump merupakan pukulan besar bagi ekonomi dunia. Leyen menyatakan, UE yang beranggotakan 27 negara, itu siap melakukan tindakan balasan jika pembicaraan dengan Washington gagal.
China dan UE, agaknya, tidak akan mengindahkan peringatan dari Kepala Keuangan AS Scott Bessent bahwa tindakan tersebut akan menyebabkan eskalasi perang dagang.
Konsekuensi pembalasan tersebut, menurut Leyen akan mengerikan bagi jutaan orang di seluruh dunia.
Kemitraan Ekonomi Komprehensif
Bagaimana ASEAN menghadapi situasi dan menangkal tantangan global yang besar ini? Menurut Beng, negara-negara ASEAN (dalam kepemimpinan Malaysia kini) harus memperkuat kemitraan strategis perdagangan melalui Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP), Perjanjian Komprehensif dan Progresif untuk Kemitraan Trans-Pasifik (CPTPP), dan kerja sama Selatan-Selatan, serta memperluas perdagangan dengan Uni Eropa (UE) dan Dewan Kerja Sama Teluk (GCC).
Tindakan demikian diperlukan. Deborah Elms menekankan, perjanjian seperti RCEP dan CPTPP menyediakan pasar alternatif bagi ASEAN, mengurangi ketergantungan pada AS, dan melindungi ekonomi dari gangguan perdagangan. Perjanjian tersebut memungkinkan negara-negara ASEAN memperdalam perdagangan intra-regional dan menarik investasi.
Aksi memperkuat hubungan ekonomi dengan pasar-pasar berkembang di Afrika, Amerika Latin, dan Timur Tengah mesti dilakukan oleh ASEAN. Menurut Rajah Rasiah, guru besar ekonomi di Asia Europe Institute, Universitas Malaya, peningkatan perdagangan dengan kawasan-kawasan ini memungkinkan ASEAN menghindari ketergantungan ekonomi yang berpusat pada Barat.
Beng mengemukakan, Malaysia - termasuk dalam kapasitasnya sebagai pemimpin ASEAN - perlu menegaskan dan melanjutkan negosiasi untuk Perjanjian Perdagangan Bebas UE - Malaysia setelah 12 tahun. Negosiasi yang menunjukkan komitmen terhadap diversifikasi ekonomi. Memperkuat hubungan dengan GCC menyediakan akses ke pasar bernilai tinggi dan kerja sama sektor energi.
Hal tersebut merupakan bagian dari respons ekonomi yang terpadu dan strategis dalam menghadapai tantangan signifikan yang ditimbulkan oleh perang dagang yang dipicu kebijakan tarif Trump.
Dengan memprioritaskan RCEP, CPTPP, perdagangan Selatan-Selatan, dan kemitraan dengan UE dan GCC, menurut Beng, ASEAN dapat menahan tekanan ini dan bangkit lebih kuat.
Ia mengemukakan, ketakutan yang sebenarnya bukan terletak pada keruntuhan ASEAN, tetapi pada spiral inflasi yang akan memengaruhi ekonomi global — termasuk AS sendiri.
Apalagi, menurut anggota parlemen AS dari Partai Demokrat, Gregory Meeks, "Trump baru saja memukul rakyat Amerika dengan kenaikan pajak regresif terbesar dalam sejarah modern. Kebijakannya yang gegabah tidak hanya menghancurkan pasar, tetapi juga akan sangat merugikan keluarga pekerja," kata Meeks. | sharia, haedar