Sindroma Ambivalensia

| dilihat 912

Bang Sém

SEORANG sahabat, CEO (chief executive officer) sebuah perusahaan, curhat. Dia sedang jengkel melihat buruknya koordinasi di perusahaan itu.

Sudah lebih setahun memimpin, ia masih sering mendengar celoteh tak sedap, ihwal mahalnya ongkos untuk koordinasi. Bahkan dari mulut direkturnya sendiri. Ia nyaris marah, menyaksikan bujet aneka rapat koordinasi, termasuk rapat kerja nasional membengkak sedemikian rupa.

Dia nampak tak senang hati, ketika saya bilang, semua soal bermula dari dirinya. Membiarkan keadaan manajemen, sehingga menyebabkan koordinasi menjadi sangat mahal.

Dari berbagai informasi yang dia sampaikan, saya mendapatkan kenyataan faktual. Perusahaan itu masih mengidap ‘ambivalentia syndroma.'

Sindroma keterbelahan semacam itu disebut, “takut hantu, terpeluk ke bangkai” (to get into trouble because of anticipating non existent difficulties). Ketika lapisan atas dan bawah manajemen bergairah dengan spirit perubahan, lapisan tengah sibuk dengan kebingungannya sendiri.

Mereka yang berada di level tengah, sangat sering mengidap sindroma ini. Berharap jadi direksi atau komisaris, tapi terlalu sering komisaris dan direksi datang ‘ujug-ujug’ bagai ghost yang menjelma. Akibatnya, mereka sering was-was  kehilangan posisi, lantaran potensi di bawahnya lebih hebat.

Mereka inilah para kerani, yang -- meski berada di tengah modernisma manajemen -- akal dan hatinya tertinggal di kubangan manajemen strukturalis. Karenanya, seringkali, ada satu dua direksi senang sekali melindungi ‘kaum tengah’. Begitu hal ini terjadi, percayalah, proses komunikasi komunikasi vertikal menjadi miskin.

Akibatnya? Seluruh potensi di dalam manajemen “have no clue of the big picture and do not feel that their contributions are important.” Seluruh pemegang fungsi manajemen tidak pernah tahu apa yang dipikirkan dan direncanakan para pimpinan (maksudnya leaders). Too much uncertainly.

Fungsi Tanpa Daya

Kolaborasi antar fungsi tak pernah terjadi. Minda fungsi alias functional mindset, terhambat perkembangannya. Kekuatan fungsi berubah menjadi kekuatan struktur. Dan, koordinasi antar fungsi, dalam mencapai goal perusahaan, menjelma sebagai masalah dan menyedot bujet. Koordinasi otomatis akan sangat mahal.

Sesuatu yang bisa diselesaikan lewat saluran komunikasi internal (misalnya, intranet dan grup whatsapp) yang sangat efisien, efektif, dan murah, menjadi tak ada artinya. Karena yang ada dalam benak adalah adalah bagaimana menyelenggarakan rapat koordinasi berbujet tinggi. Tentu dengan segala upacara dan suasana yang tak efisien, tak efektif, dan mubazir. Apalagi, bila mereka yang berada di lapisan tengah tak mampu memainkan peran fungsionalnya masing-masing.

Untuk membuat murah koordinasi manajemen, para direktur sering memilih jalan pintas: membentuk cross functional management committees. Boleh saja. Dalam imagineering, tim ini disebut estuary minds, alias kualaminda. Wadah untuk mempertemukan alternatif pemikiran, untuk menyiapkan policy design dan rekomendasi solusi untuk para pemimpin. Tim untuk mengatasi terjadinya lack of or powerless cross functional. Tim ini, untuk mengembangkan pemikiran kreatif dalam mengatasi masalah yang disebabkan buruknya kordinasi antar fungsi manajemen.

Pemikiran kreatif mendorong setiap orang dan unit kerja, menghasilkan kerja kompetitif terbaik, dan terbentuknya teamwork secara alamiah. Ada atau tidak ada tim yang mengurusi budaya kerja membangun komitmen kolektif, perusahaan akan terbantu oleh kuatnya kompetisi kreatif.

Kreatifitas memandu siapa saja yang berjiwa sehat, karena otaknya sehat. Mempertemukan gagasan-gagasan kreatif, dan merumuskan aturan main yang toleran terhadap keunggulan setiap fungsi dan unit kerja. Sesuatu yang akan menciptakan kondisi terbaik untuk berbagi penghargaan dan kemuliaan.

Ada adagium, "siapa saja bisa menghancurkan perusahaan tempatnya bekerja, bila setiap unit kerja memuliakan egoisme sektoralnya." Membunuh kreatifitas. Memusuhi pemikiran tak biasa (sebenarnya unik, tapi sering dianggap pemikiran aneh), dan secara sadar, memiskinkan gagasan dan menutup mata dan telinga manajemen dari pengetahuan dan pengalaman baru karyawannya.

Bila hal itu yang terjadi, koordinasi sangat mahal harganya, manajemen tak akan lagi memfasilitasi krospolinasi gagasan (memadukan seluruh gagasan menjadi satu gagasan kreatif perusahaan).

Perusahaan boleh miskin dana, tapi haram miskin gagasan. Miskinnya gagasan, membuat perusahaan menghadapi kondisi sangat buruk. Dan, mendorong berkecambahnya aneka virus. “No idea management and knowledge management strategies and systems.

Dan, direksi dan para manajer tak mampu mengenali perangai seluruh modal insan yang dimilikinya. Koordinasi menjadi amat mahal, karena semua orang terjangkit sindroma, takut memberikan saran dan gagasan.

Sebaliknya, setiap orang berpotensi memuliakan dan memajukan perusahaan, bila mereka melakukan segala hal positif, yang mendorong kreatifitas, serta komunikasi yang berkualitas.|

Editor : Web Administrator
 
Sainstek
01 Nov 23, 11:46 WIB | Dilihat : 823
Pemanfaatan Teknologi Blockchain
30 Jun 23, 09:40 WIB | Dilihat : 1089
Menyemai Cerdas Digital di Tengah Tsunami Informasi
17 Apr 23, 18:24 WIB | Dilihat : 1342
Tokyo Tantang Beijing sebagai Pusat Data Asia
12 Jan 23, 10:02 WIB | Dilihat : 1483
Komet Baru Muncul Pertama Kali 12 Januari 2023
Selanjutnya
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1096
Rumput Tetangga
Selanjutnya