10 Alasan Perusahaan Gagal Dalam Layanan Prima

| dilihat 3145

Catatan Aghnina

TERBANG dari Bandar Udara Husein Sastranegara – Bandung ke Bandar Udara Adisoetjipto – Yogyakarta, memang tak memakan waktu lama. Tak kurang dari satu jam. Tapi, siang itu (Minggu, 15 April 2018) penerbangan terasa lama.

Pasalnya? Pesawat ATR berbaling-baling, itu terasa pengap. Sejak take off hingga landing, mesin pengatur udara alias air conditioning (AC) tak berfungsi. Beberapa penumpang, termasuk saya tak henti terbatuk-batuk.

Satu-satunya yang bisa dilakukan untuk mendapatkan udara, adalah menggunakan kartu petunjuk keselamatan yang dilaminating, menjadi kipas.

Sampai pesawat parkir di area penerbangan, tak ada penjelasan dari pilot dan awak kabin. Awak kabin yang saya tanya hanya bisa menggeleng. Dia hanya tersenyum meminta maaf.

Sampai kini, ketika berbagai maskapai penerbangan di berbagai negara sedang berlomba-lomba meningkatkan kualitas pelayanan, tak sedikit maskapai penerbangan Indonesia yang belum juga pandai melayani pengguna jasa penerbangannya.

Ketidaknyamanan dan ketidakmampuan melayani pelanggan, pengguna jasa, semacam itu belakangan dianggap biasa saja. Terutama karena dua faktor yang mempengaruhinya. Yakni: iklim ekonomi yang membuat pelanggan, pengguna jasa amat berhemat dan memburu harga promosi (untuk meningkatkan jumlah pelanggan).

Dalam situasi demikian, staf layanan, termasuk awak kabin pesawat yang saya tumpangi, memang tak bisa berbuat banyak. Seperti pernah diungkap Jochen Wirtz (Think Bussiness, 8/3/12), dalam iklim bisnis dengan konsumen yang mengencangkan ikat pinggang dan penyedia layanan meningkatkan promosi untuk meningkatkan penjualan, staf layanan yang akan terlihat sibuk dan bingung menghadapi situasi.

Mereka dihadapkan oleh suatu situasi kebijakan perusahaan yang berusaha mempertahankan turnover, dan menggenjot kinerja bisnisnya. Perusahaan penyedia jasa profesional, akan bekerja ekstra keras mempertahankan kualitas layanan dan mencegah kegagalan layanan. Sebagian besar, abai dan cuek dengan situasi itu.

Setarikan nafas, situasi itu juga membuat pelanggan tak mempersoalkan kualitas layanan yang buruk, terutama karena yang ada di benak mereka hanyalah terpenuhinya kepentingan singkat. Dalam konteks layanan jasa penerbangan, adalah sampai di tujuan dengan selamat, meski seringkali tidak tepat waktu.

Situasi ini membuat pelanggan kehilangan haknya dan pemberi layanan kehilangan integritasnya. Hanya satu dua pelanggan saja yang akan bersikap lain, memilih maskapai penerbangan lain, kendati ongkosnya lebih mahal.

Melihat situasi demikian, pelanggan dan pemberi layanan sama-sama menjadi oportunis. Keduanya terjebak pada jebakan situasional yang secara keseluruhan – dalam waktu tertentu – merugikan pelanggan sekaligus merugikan penyedia jasa layanan. Akhirnya memberikan stigma kepada layanan jasa penerbangan yang tidak profesional dan mengabaikan kenyamanan.

Sebaliknya dalam konteks lain, khas hubungan pelanggan dan pemberi jasa layanan yang normal, akan terjadi friksi tak terhindarkan. Khasnya, karena pelanggan akan bertubi-tubi menyampaikan klaim, dan perusahaan pemberi jasa layanan akan kewalahan menghadapi klaim yang bertubi-tubi itu.

Situasi semacam ini -- dengan perbedaaan kasus secara spesifik – seperti layanan jasa lain: listrik, jasa perbankan, hotel, dan lain-lain yang cenderung gagal (akibat dari ketidakmampuan) dalam melayani.

Wirtz mencatat, klaim sebagai reaksi pelanggan atas jasa layanan normal, disebabkan oleh tiga faktor. Yakni : ketidakadilan atas kompensasi yang diberikan ketika terjadi klaim, kesulitan dan ketidaknyamanan dalam prosedur klaim, dan ketidakmampuan perusahaan pemberi jasa layanan memulihkan kepercayaan konsumen kepadanya.

Shep Hyken, seorang ahli layanan pelanggan berpengalaman, pembicara utama dan penulis buku laris dari grup New York Times dan Wall Street Journal, mengungkapkan (Leadership, 19/3/16), suatu perusahaan penyedia layanan jasa hebat, harus berproses untuk mencapai puncak kualitasnya.

Layanan prima memerlukan pemikiran, perencanaan, komunikasi, implementasi, dan orang yang tepat. Itu sebabnya di kancah bisnis global, perusahaan-perusahan pemberi layanan jasa dan lembaga layanan publik, berinvestasi lebih banyak untuk meningkatkan ‘pengalaman terbaik pelanggan.’

Menurut Hyken, setidaknya terdapat 10 alasan perusahaan gagal dalam melakukan layanan prima. Yaitu :

1. Mereka belum mendefinisikan visi atau inisiatif layanan perusahaan. Hal ini terjadi, karena pimpinan perusahaan tidak mampu membedakan antara visi dengan fantacy trap (jebakan fantasi). Akibatnya, karyawan atau petugas layanan sulit memahami apa yang dimaksudkan dengan visi layanan.

2. Mereka tidak mempekerjakan orang yang tepat untuk menyesuaikan budaya dan kepribadian perusahaan. Proses rekrutmen karyawan (sampai level manajer) untuk menjalankan pelayanan, tidak menjaring sampai ke socio habitus calon karyawan dalam kehidupan sehari-hari. Akibatnya, mereka yang ditempatkan dalam bidang dan fungsi pelayanan, justru mereka yang dalam kehidupan sehari-hari biasa dilayani dan cenderung tak mampu melayani.

3. Mereka tidak melatih keterampilan yang dibutuhkan untuk memberikan CX (costumers experience) yang lebih baik untuk pelanggan internal atau eksternal. Banyak perusahaan tidak serius melatih keterampilan karyawannya untuk melayani pelanggan atau nasabah.

4. Mereka berpikir pelatihan selama "onboarding" atau satu sesi besar adalah paket total. Padahal, pelatihan semacam itu baru permulaan. Pelatihan satu kali orientasi adalah permulaannya. Karyawan harus dilatih lebih intens dalam memperkuat pesan layanan pelanggan.

5. Mereka tidak memiliki kepemimpinan berbasis keteladanan dalam melayani. Terlalu banyak perusahaan, yang dipenuhi oleh petinggi dalam mengisi posisi dan fungsi kepemimpinan. Antara lain, mereka yang terbiasa mengatakan, “lakukan apa yang saya katakan, bukan seperti yang saya lakukan.” Pemimpin harus memberi contoh, menunjukkan stafnya cara yang tepat dalam melayani pelanggan.

6. Mereka tidak merayakan dan memberikan penghargaan kepada karyawan yang berhasil melakukan pelayanan prima kepada pelanggan. Mereka mengabaikan realitas, bahwa karyawan juga ingin tahu pencapaian mereka dalam bekerja, melayani.

7. Mereka tidak mengakui bahwa layanan pelanggan dan CX bukan sekadar strategi, melainkan ‘produk’ yang harus diberikan. Hal ini seringkali terjadi, karena petinggi perusahaan, mengabaikan filosofi perusahaan yang harus dipahami dan diyakini oleh setiap karyawan, mulai dari CEO hingga karyawan lapisan terdepan.

8. Mereka memperlakukan karyawan dengan hanya satu cara, dan mengharapkan karyawan memperlakukan pelanggan secara berbeda. Hal ini akan menimbullkan, tidak hanya demotivasi, melainkan demoralisasi karyawan. Di perusahaan yang gagal melayani, itu tidak berlaku prinsip: “Perlakukan karyawan Anda, atau orang-orang yang bekerja dengan Anda, dengan cara yang sama seperti Anda ingin diperlakukan dan dilayani lebih baik!

9. Mereka pikir, layanan pelanggan lebih baik dari yang dipikirkan pelanggan. Idealnya, perusahaan dan karyawannya bekerja melebihi harapan pelanggan.

10. Mereka lebih tertarik pada laba daripada mengambil pendekatan yang berfokus pada pelanggan dan membangun hubungan pelanggan. Artinya, mereka tak melihat kualitas layanan prima, justru akan berdampak ganda: keuntungan dan manfaat lebih luas. Mereka abai, pelanggan semestinya diposisikan lebih tinggi dari hanya sekadar pendapatan dan laba.

Tanpa perbaikan mendasar, yakinlah kualitas layanan pelanggan akan terus memburuk, dan ini akan berdampak pada citra bangsa secara lebih luas.. |

Editor : sem haesy | Sumber : berbagai sumber
 
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 634
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 784
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 751
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya
Energi & Tambang