PUISI

Nyanyian Ombak

| dilihat 807

N. Syamsuddin Ch. Haesy

 

NYANYIAN OMBAK

kepada dia

 

rembulan mengantarkan waktu. diiringi bintang-bintang. maka menarilah seluruh gugusan bimasakti. menari di pentas semesta raya. menyambut tiba cahaya mata, perempuan elok rupa cantik budi. senyumnya laksana fajar menyambut pagi.

itulah kamu bidadari di altar sukmaku.

melintasi 768 purnama kamu melangkah. memaknai hakikat gerak, aksara, kata dan rahasia jagat raya

melesat bersama artistika, estetika dan etika. menebar keindahan Ilahi. mewujud dalam dirimu jadi pekerti.

perempuan cendekia. cantik rupa elok budi. cahaya mata. sinaran sukma. senyummu adalah kasih sayang. suaramu mengalun mengiringi cerita panjang di balik rahasia dan misteri ilahi.

aku melangkah, bergegas, lalu berlari menembus ruang dan waktu. menuju kamu. aku lintasi malam hingga fajar tiba. aku bergegas bersama matahari yang selalu ada dalam rindumu.

aku ada untuk menemanimu. melangkah ke pantai sukacita. memandang samodera luas tanpa batas, cakrawala jauh tanpa ujung. memandangi kaki langit kehidupan untuk mendapatkan hakikat cinta dan kasih sayang-Nya.

lihatlah... lihatlah gelombang samodera menari. lihatlah.. lihatlah lidah ombak mendekat mengantarkan rahasia pertemuan ruang dan waktu. rahasia Sang Mahadaya Cinta membuncahkan ribuan aksara yang jelma dalam puisi-puisi sepanjang 480 purnama.

puisi-puisi yang dihantarkan angin menderu, yang di dalamnya mengalir do'a-do'a, mengalir asa, mengalir cita.

membentangkan jalan menuju Dia. Sumber segala sumber cinta dan kasih sayang tak bertepi. Karena hanyalah Dia yang menyimpan rahasia cinta di ujung masa. Karena hanyalah Dia yang tak pernah bosan mendengar dan mengabulkan do'a insannya. Karena hanyalah Dia yang tak pernah henti mengalirkan rahmat Cinta. yang menghantarkan kembali bidadari senja. Pinangan matahari.

Maka biarkan senja membuka tirai waktu. Aku siaga tak lengah mengikuti isyarat semesta, hingga bidadari di altar sukmaku membuka seluruh pintu dan jendela batinnya.

Akan kuraih ujung-ujung jemarinya. Lalu kusentuh dengan aqid berbusana syari'at. Lalu melangkah bersamanya menapaki tariqat, melintasi hakikat, hingga tiba di gerbang ma'rifat menuju singgasana-Nya. Aku hantarkan untuknya, bahtera hikmah.

Ooo.. nyanyian ombak semesta.. Mendorong laju bahtera cinta kasih, menjangkau pulau bahagia duniawi dan ukhrawi yang terbebas petaka.

 

[Jakarta, 25 Desember 2020]

 

NASIHAT IBU

Ibu duduk di hadapanku, ketika malam berpeluk kelam. Hujan di luar rumah menderu suaranya. Sekali-sekala petir menyambar. Cahaya kilatnya terlihat dari tempat kami duduk. Mata ibu bagai rembulan. Menatapku tak berkedip.

"Nak.. Ibu bagitahu. Kezaliman paling purba adalah merampas hak Tuhan dan tugas malaikat maut. Memisahkan ruh dan jasad orang tak berdaya. Membunuh namanya."

Mata ibu masih menatap mataku. Suaranya perlahan.

"Nak.. Ibu bagitahu. Kezaliman paling pandir adalah menyiksa dan membunuh insan amah di titik nadir ketidakberdayaannya, sambil meminta tolong dan ampun dengan lirih."

"Kezaliman yang semacam itu, menghilangkan hakikat kemanusiaan."

Ibu menarik tubuhnya. Bersandar di kursi. Matanya masih menatap mataku. Kulihat geram di wajahnya. Dua tangannya memegang bibir meja.

"Nak.. Ibu bagitahu. Kezaliman paling nista adalah mengubah lidahmu jadi sembilu. Lantas sembilu itu mengubah kata jadi pedih dan luka."

" Lidah yang berubah jadi sembilu dan kata yang berubah jadi pedih dan luka, yang dilakukan kepada manusia lain siapa saja, adalah pembunuhan yang hanya dilakukan para pecundang."

"Ghibah mengiris kebenaran. Buhtan memanggang bara, apinya melumat hak insan untuk hidup dan ada. Fithnah menikam cinta, meninggalkan luka tak sudah hingga jauh melintasi ruang fana ke tepian pada mahsyar."

Ibu menarik nafas panjang. Matanya terpejam sesaat, sebelum memandang mataku lagi. Kusimak vibrasi suaranya menahan geram. Senyumnya pahit.

"Nak.. ibu bagi tahu. Kezaliman paling busuk, yang baunya tercium hingga ke alam barzah, adalah merampas, mencuri, dan mempermainkan hak orang-orang miskin dan anak-anak yatim di zaman yang sulit."

"Kelak akan tiba masa Allah membiarkan seluruh kezaliman itu menimpa siapa saja."

"Derita dan pedihnya melebihi derita dan pedih yang pernah kita alami di hari-hari kemarin. Ketika kita dipisahkan orang tercinta, hanya karena memperjuangkan yang hak dan menunjukkan yang bathil."

"Kelak ketika kau tiba di masa itu. Jangan pernah lelah melawannya dengan ikhtiar menegakkan keadilan. Karena kau dan saudara-saudaramu lahir dari rahimku. Rahim kelembutan dan cinta. Rahim keindahan keadilan dan kebajikan."

Ibu menghela nafas. Matanya masih memandangi mataku.

"Ingat baik-baik bagaimana aba mendidik kalian dengan ketegasan dan kearifan yang menyatu dalam sepenuh keyakinan: agama kita mengajarkan keseimbangan keduanya melahirkan keadilan dan jiwa yang kokoh untuk tak henti melawan kezaliman."

"Ada masanya kamu mengalami apa yang dialami aba. Terasingkan dan diasingkan. Jadi buah hasutan. Dikunyah siapa saja. Tapi jangan gentar. Selalu ada teman seiring jalan."

Ibu beringsut. Melenggang ke kamarnya. Aku masih tertegun di tempatku. Mengeja hakikat cinta. Memilah keadilan dan kezaliman. Memaknai cara mengenali keadilan dan kezaliman di cermin waktu.

 

(Jakarta, 8 November 1976)

 

 

JEMPé

ikan-ikan di telaga sukmamu akan senantiasa berenang, kekasihku.

meski musim ganti berganti. aku kembali ke kangenku yang dulu. kangen masa belia, ketika beribu kata beterbangan bersama buku-buku teks yang kulemparkan ke udara.

aksara dan kata yang melayang di udara tak pernah jatuh ke dalam telaga hening batinmu. ikan-ikan terus berenangan. tak pernah melahapnya meski hanya satu aksara.

oh.. lima aksara mengambang di pendar air telaga, kala selembar daun kering tanggal dari ranting. diterbangkan angin melayang. jatuh di pendar air telaga.

kuhabiskan siangku. rerimbun pohon cinta bak tirai penghalang berkas cahaya mentari. aku berharap kau tiba sebelum petang. lantas menari di tepian telaga. mengikuti irama angin. ditingkah larik-larik puisiku.

tapi kau tak pernah datang. bahkan tak selarik kata pun terkirim 'tuk kabarkan dirimu.

aku pergi. jauh. jauh sekali. pun tanpa aksara dan kata.

kubiarkan hening tertinggal di tepian telaga sukmamu. jejak tapak kaki kutinggalkan di antara belukar. tak ada yang kubawa, kecuali bayang wajahmu dengan senyum dan kerling mata. pesonanya semayam di benakku. 

dari tempat yang jauh dan asing, kusunting aksara jadi kata. jelma kangen di larik puisi cintaku.

(Jakarta, Juli 1978)

 

SETETES GERAM

setetes geram netes di peraduan tua warisan aba dan ibu. kupadamkan nyala lampu. menangis aku dalam gelap. buah pikirku yang kutulis berbilang pekan dengan mesin tik hitam hadiah aba, raib tanpa bekas.

novelet pertama siap diterbitkan. lenyap.

"kenapa kau buang buah pikiranku. catatan kembaraku melintasi ilusi dan fantasi, catatan sunyiku tentang manusia dipermainkan gelombang asmara di samodera purbasangka. kenapa kau buang?"

matamu nyalang. bicaramu ketus. "yang kubuang adalah sampah bertumpuk di laci meja belajar. buah pikiranmu. aku ingin pakai mejanya."

kunyalakan lampu sebelum adzan subuh kumandang. mesin tik hitam hadiah aba teronggok di sudut kamar. di atas meja kecil. aku mengelusnya.

setetes geram netes di kolam mandi. mengalir di sekujur tubuhku.

kucium tangan ibu. kutengok aba yang khusyuk wirid di jelang fajar.

aku pergi. ngembara di pedestrian kota. di teras duduk halaman kampus. di sudut telempap ruang tidur rumah kos yang lusuh.

aku jadi pamberang. bersekutu dengan aneka teman menyemai geram. aku nyelinap di sela perkampungan kumuh. aku terhuyung dalam bis kota. aku terlempar ke tepian zaman.

aku rindu aba. aku kangen ibu. tapi di sini, di telempap kamar kos ini tempatku !

(Rawamangun, Juli 1975)

 

Editor : Sem Haesy
 
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1177
Rumput Tetangga
Selanjutnya
Budaya
09 Des 23, 08:03 WIB | Dilihat : 729
Memaknai Maklumat Keadaban Akademi Jakarta
02 Nov 23, 21:22 WIB | Dilihat : 885
Salawat Asyghil Menguatkan Optimisme
12 Okt 23, 13:55 WIB | Dilihat : 837
Museum Harus Bikin Bangga Generasi Muda
Selanjutnya