Nasruddin Anshoriy CH
PAKU
Korupsi para menteri memaku lidahku
Langit memucat di cakrawala
Gempa dukacita melepuhkan panas hatiku
Apa yang kalian cari wahai para pendurhaka bangsa?
Saat pandemi sedang meracuni bangsa ini
Ketika pengangguran mencekik leher anak-anak bangsa
Manakala kemiskinan menjelma api neraka
Tega-teganya kalian gorok tenggorokan ini
Berita pagi ini memaku bola mataku
Kebiadaban korupsi yang menusuk-nusuk nurani
Sabotase ekonomi yang membunuh anak-cucu di negeri ini
Dengan diksi apalagi aku harus mengucap rasa malu ini?
Kosakata tak lagi mendedah sukma
Bait-bait makin menjerit di ulu hati
Korupsi di negeri ini telah memaku jantungku
Hidup tanpa detak
Pekat dalam detik
Hujan paku menjelma banjir besi berkarat dalam auman doaku
(Gus Nas Jogja, 6 Desember 2020)
TERIMA KASIH, GURU
Terima kasih, Guru, untuk pohon aksara yang telah kautanam dalam ladang kalbuku
Kini pohon-pohon aksara itu telah berdiri tegak pada lurus pena jiwaku
Aksara yang menjelma rimba belantara pada bait-bait puisi
Hutan raya kata-kata yang menyedekahkan udara segar pada keruh tutur kata dalam kusam negeriku
Engkaulah, Guru, yang menanam ilmu di ladang pikiranku
Agar otak tak beronak
Agar pengetahuan menyilaukan cahaya
Agar peta kecerdasan membentangkan jagat semesta
Kugali abjad-abjad rahasia yang terkubur dalam dzikir abadi
Mutiara hati yang bersemayam di jantung puisi
Engkaulah, Guru, yang meluruskan kiblat kalbu pada rakaat cintaku
Yang mengajarkan kefasihan dalam diksi dan intonasi pada lekuk lebam lidahku
Sesudah nabi dan ibu menjadi tongkat makrifatku
Engkaulah, Guru, bianglala kebajikan yang memperindah kemanusiaanku
Gus Nas Jogja, 25 Nov 2020
IBUKU, GURUKU
Saat tatap muka tak lagi sempurna
Dan ruang-ruang kelas hanya menyisakan debu semata
Ibuku adalah guru sejatiku
Kepada siapa anak-anak bangsa ini mencari ilmu
Saat sekolah menutup pintu karena wabah sedang jumawa
Ketika jarak dijaga agar pandemi tak menaburkan duri
Bukankah rumah adalah awal dan akhir tempat kita belajar
Pada ilmu dan buku-buku
Kita mendaki puncak tertinggi
Bumi dan alam semesta mengajarkan segalanya
Pada kamus dan rumus-rumus
Kita jelajahi rimba kata-kata dan hutan angka
Sebab tebing filsafat dan gunung makrifat wajib dipanjat
Ibulah asal-muasal aku mengenal aksara
Ibulah perpustakaan yang di hatinya bertumpuk kitab-kitab kebijaksanaan sejak di zaman purba
Berguru keteladanan hanya pada Ibu
Sebab dalam jiwanya terbentang luas cakrawala
Pada tutur kata dan gerak jiwanya bersemayam ketulusan cinta
Ibuku adalah guruku
Ibumu adalah gurumu
Disanalah tali plasenta merajut dan merangkai kasih-mesranya
Kepadamu Ibu kutanam benih rindu
Kasih dan ilmu yang tumbuh tanpa benalu
Cinta dan kemesraan yang memekar di putik kalbu
Gus Nas Jogja, 25 Nov 2020
MATINYA DEMOKRASI
Matinya demokrasi tak pernah dikafani
Ketika para wakil rakyat hanya sibuk merias diri
Dan kekuasaan penuh seremoni
Sejatinya demokrasi hanyalah gemerlap kepalsuan dan basa-basi
Memandang Indonesia seperti kura-kura dalam perahu
Maka jawabku sudah gaharu cendana pula
Dalam secangkir cinta
Ada setenggak nestapa
Saat elite penguasa dimabuk korupsi
Ternyata wakil rakyat setali tiga uang adanya
Bertanya pada Kusbini
Kepada siapa negeri ini mewakafkan diri?
Untuk apa demokrasi dirayakan manakala korupsi tak mati-mati?
Bukankah demokrasi sudah lama dibeli oleh kaum priyayi?
Lalu diobral dengan janji manis dalam iklan dan jutaan baliho di negeri ini?
Matinya demokrasi hanya menyisakan lebam di ulu hati
Gus Nas Jogja, 22 Nov 2020
FRAGMEN POHON DAN RIMBA
Pohon-pohon tua itu menuliskan sejarahnya
Pada getah dan galih
Tentang rimba yang perih
Bermula sebutir benih
Ia tumbuh dan berserah
Saat kemarau ia tak mengucap risau
Kala hujan ia tak galau
Pohon-pohon tua itu begitu perkasa menempa takdirnya
Ia serap saripati bumi dengan akar-akarnya
Ia sedekahkan udara segar pada manusia
Ada simponi dan harmoni di hutan semesta
Ada cinta dan orkestra di rimba raya
Pohon-pohon tua itu hanya bisa memberi
Tak pernah meminta
Menjadi teladan tentang kebaikan hati
Ia tak pernah pamrih pada buah yang dihasilkannya
Saat angin berkesiur dan menjatuhkan daunnya
Pohon-pohon tua itu mengerti apa makna rahmat dan karunia
Lalu gergaji mesin itu datang dan membelah batang tubuhnya
Pohon-pohon tua itu hanya bisa menahan luka tanpa berkata-kata
Ia rebah ke tanah tanpa karangan bunga
Dan tanpa ucapan duka cita atau belasungkawa
Ia diseret-seret oleh tangan-tangan kasar dan bengis
Ia tinggalkan hutan sebagai rumah rimbanya
Hari ini aku persembahkan puisi ini
Dengan bait-bait tanya dan air mata
Kenapa akal manusia begitu tumpul dan gagal menumbuhkan kemanusiaannya?
Gus Nas Jogja, 23 Nov 2020