Digitalisasi Arsip Masa Lalu Untuk Masa Depan

| dilihat 2054

AKARPADINEWS.COM | Membicarakan arsip, yang terbayang di benak sebagian kalangan adalah dokumen yang menumpuk, di mana kertasnya yang melapuk karena dimakan rayap, warnanya memudar dan lusuh karena disimpan di ruang yang pengap.

Lama kelamaan, arsip yang tak terurus itu pun seperti sampah lantaran tak lagi bisa digunakan. Padahal, keberadaan arsip sangat penting. Arsip yang merupakan rekaman peristiwa sejarah mengenai banyak hal, tak sekadar untuk dilihat guna mengingat-ingat masa lalu. Namun, arsip juga untuk menjadi referensi terkait penyusunan kebijakan, perencanaan, maupun program bagi institusi atau organisasi. Karena, penting untuk menjaga arsip. Agar arsip awet, tak lapuk dimakan rayap, maka di era digital saat ini, arsip masa lalu diabadikan dalam bentuk elektronik.

Dalam diskusi bertema: Masa Depan Arsip: Teknologi dan Akses Pengetahuan, Selasa, 1 Desember 2015 lalu, di lobi Teater Kecil, Taman Ismail, Jakarta, Endo Suanda, etnomusikolog, peneliti dan pengarsip seni dan budaya menjelaskan tentang perbandingan cara penyimpanan arsip di Indonesia dengan negara lain.

Menurut dia, pengarsipan di Indonesia lebih pada dokumentasi kertas. Sementara dalam bentuk digital belum berkembang. Sedangkan di negara lain seperti Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa, pengarsipan sudah berbentuk audio visual sejak tahun 1800-an. “Materi arsip dalam bentuk audio visual berfungsi sebagai dokumen historis, media komunikasi dan mengandung kekuatan arsip tersendiri,” tutur Endo.

Dia mencontohkan Frances Densmore (1867-1957), peneliti asal Amerika Serikat yang juga dikenal sebagai etnografer, antorpolog, dan etnomusikolog yang telah merintis pengarsipan dengan cara merekam musik India sejak tahun 1904.

Hasil penelitian dan pengarsipan yang dilakukan Frances dalam bentuk audio visual mendapatkan apresiasi luas dari publik di tahun 1920-an. “Frances, selain merekam, juga mendata dan mentranskrip sebagai bentuk kekayaan budaya,” jelas Endo.

Dalam kesempatan itu, Endo juga menjelaskan pola penyimpanan arsip dalam bentuk audio visual dan digitalisasi pada tari, teater, serta musik. Salah satunya, iringan lagu yang mengiringi Tari Langendrian, pada masa penjajahan yang didapatkannya dari lembaga asing.

Dia juga menemukan arsip tentang ritual tanam padi di Lombok, wayang hingga alat musik. Arsip ini tentu sangat langka dan penting untuk diselamatkan.   “Arsip adalah bagian dari pengetahuan yang bisa dideskripsikan. Dengan cara digital memang murah, tapi tidak mudah, arsip digital tetap membutuhkan komitmen dan tenaga manusia,” ungkapnya.

Dari aspek budaya, Endo memandang, arsip dapat menjadi bahan untuk merefleksikan kekayaan budaya sehingga tidak hanya dipandang sebagai benda bersejarah yang hanya disimpan, lantas diperlihatkan saat ada pameran atau dikaji saat penelitian.

"Ketika kita membuka arsip, kita tidak sekedar membaca sejarah atau masa yang telah dilewati, namun dengan arsip, kita melakukan upaya untuk meraba dan merefleksikan masa depan," ucapnya. Arsip juga dapat menjadi rujukan untuk melakukan penelitian yang mendalam tentang suku bangsa, kebudayaan, adat istiadat, dan sebagainya.

Sehubungan dengan Festival Teater Jakarta (FTJ), diluncurkan pula website FTJ (www.ftj.or.id). Website itu diluncurkan setelah 43 tahun penyelenggaraan FTJ digelar tahun 1973 lalu. Komite Teater, Dewan Kesenian Jakarta pun untuk pertama kalinya memproses pengarsipan berbagai ribuan ragam dokumen tentang kegiatan FTJ selama empat dekade. 

Dalam diskusi itu, hadir pula pembicara lain, Ugeng T Moetidjo, pekerja seni visual. 

Ugeng kerap menulis dan melakukan penelitian tentang sinema dan seni rupa. Dia bersama tim riset memimpin penggarapan website arsip itu. Menurut Ugeng, website itu tidak hanya sekedar menjadi ruang masa lalu, namun juga berpijak pada masa kini.

Seluruh materi-materi yang disuguhkan di laman itu, diharapkan daat menginspirasi dalam menafsirkan masa depan FTJ, dan tentunya teater di Indonesia. “Sifat arsip ini penting dan dicari saat kita membutuhkan. Salah satunya, kalian tentu tidak menyangka bahwa pada tahun 1978, seorang Afrizal Malna (penyair dan kritikus seni) pernah menjadi aktor dengan peran kondektur di Teater Tega,” tutur Ugeng.

Dengan melihat arsip, lanjutnya, akan ditemukan kejutan mengenai masa lalu yang tidak terbayangkan sebelumnya. Dengan melakukan pengarsipan lewat digitalisasi FTJ selama setahun, maka diharapkan dapat merefleksikan perjalanan 40 tahun sehingga muncul gagasan pandangan mengenai konfigurasi berbagai ungkapan seni yang saling terelasi dengan situasi sosial dan politik, atau merepresentasikan situasi dan zamannya.

Selain menjadi referensi pengetahuan tentang sejarah, arsip dalam bentuk digital dapat menjadi inspirasi dalam merancang masa depan, khususnya menyangkut masa depan kebudayaan bangsa.

Ratu Selvi Agnesia

Editor : M. Yamin Panca Setia
 
Polhukam
05 Mar 24, 04:23 WIB | Dilihat : 246
Tak Perlu Risau dengan Penggunaan Hak Angket DPR
05 Mar 24, 08:18 WIB | Dilihat : 425
Anak Anak Abah Menghalau AI Generatif
22 Feb 24, 11:50 WIB | Dilihat : 318
Jalan Terjal Perubahan
18 Feb 24, 05:52 WIB | Dilihat : 274
Melayari Dinamika Kebangsaan dan Demokrasi
Selanjutnya
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 168
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 340
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 365
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 335
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya