N. Syamsuddin Ch. Haesy
ANGRY BIRDS salah satu computer games yang populer di kalangan anak-anak remaja, boleh jadi dapat menjadi model satire perpolitikan di banyak negeri, termasuk Indonesia. Permainan yang banyak menyita waktu, bahkan kalangan dewasa, itu ( dan bahkan telah diubah ke dalam format film dan kartun televisi) telah menjadi bentuk lain gambaran perilaku politisi.
Di India, aktivis Anna Hazare dan melakukan mogok makan untuk menggerakkan aksi keras melawan ketidak-jujuran politik, termasuk menggerakkan aksi anti korupsi secara keras, telah dijuluki sebagai ‘Angry Anna.’ Antara lain melalui kerja kreatif GameSalad, salah satu perusahaan produksi game. Angry Anna telah dimainkan lebih dari 267.000 kali.
Apa yang dilakukan Anna telah menginspirasi para kreator di Geek Mentor Studio untuk menghadirkan tokoh dengan karakternya dalam computer games ini. Suatu games khas yang dikreasikan sebagai katarsis sekaligus ‘ventilasi di ruang pengap politik’ untuk menyalurkan kemarahan dan rasa frustrasi melihat realitas politik yang berkembang.
Bagaimana dengan Indonesia? Meski belum satupun kreator yang menarik realitas pertama dunia politik praktis ke dalam computer games, apa yang dilihat khalayak sehari-hari, tak jauh beda dengan apa yang ditampilkan dalam game Angry Birds. Bahkan boleh dikata, perpolitikan praktis Indonesia sebagai ‘Angry Birds Politics.’
Para politisi laksana para tokoh di dalam games Angry Birds yang gemar berkicau dan menghancurkan apa yang sudah dibangun dengan ekspresi kemarahan multi level atau multi stages. Partai-partai politik menjadikan media massa (baik mainstream media maupun media social) sebagai ketapel untuk melontarkan kepentingan politik masing-masing. Dan, merasa terpuaskan ketika melihat apa yang sudah terbangun menjadi hancur berantakan, terdeformasi begitu rupa.
Secara historis bangsa ini tak pernah berhenti membangun, dan para politisi tak pernah usai mengklaim kontribusi mereka terhadap pembangunan politik dan pembangunan ekonomi. Kemudian secara periodical secara beramai-ramai menghancurkannya. Dan rakyat makin jauh terseret ke dalam fantacy trap yang mereka sebut sebagai visi.
Simak secara mendalam apa yang terjadi sejak Indonesia merdeka, atau paling tidak sejak Pemilu 1955 berlangsung. Lalu ikuti bagaimana proses politik terjadi setelahnya, sejak Dekrit Presiden Soekarno berlangsung pada 5 Juli 1959. Telusuri terus bagaimana akhirnya Bung Karno dengan sesanti Demokrasi Terpimpin kemudian memberangus lawan-lawan politiknya. Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia dibubarkan. Politik menjadi panglima dan kemudian membuat cita-cita dan upaya pembangunan berantakan di penghujung 1965.
Ketika Soeharto naik tampuk kekuasaan sebagai Presiden, beragam upaya untuk membangun sistem politik baru dengan tindakan yang lebih represif, pun dilakukan. Dengan jargon Demokrasi Pancasila diciptakan situasi budaya politik monoloyalitas yang seragam. Hasilnya? Selain mengalami social depression, rakyat juga terjerembab lebih dalam akibat hipnosa politik clientelisme. Fundamental ekonomi Indonesia berantakan, dan mengundang kemarahan di penghujung kepemimpinanya.
Aksi massa tergalang, mahasiswa bergerak lagi, gerakan Reformasi berlangsung. Presiden Soeharto tumbang. Era reformasi berlangsung, aksi antitesa gerakan politik berlangsung. Bandul politik bergerak ekstrim secara polaris. Apa yang pernah didekritkan Presiden Soekarno dengan tema sentral “Kembali ke UUD 45” dan pembangunan berbasis GBHN (Garis Besar Haluan Negara) di era kepemimpinan Soeharto, dibungkus dan dimasukkan ke dalam rak sejarah masa lalu. |