REFLEKSI AWAM

Di Sana Jokowi di Sini Rhoma Irama...

| dilihat 2040

Bang Sem

BELAKANGAN hari, saya senang ngobrol dengan khalayak ramai di berbagai tempat. Mulai dari kota Sabang sampai kota Kalabahi di Pulau Alor. Saya ngobrol di mana saja, mulai dari kedai kopi sampai ruang tunggu Bandara.

Mungkin karena hasil survey sejumlah lembaga survey tentang Presiden RI 2014-2019. Boleh juga karena gencarnya kurcaci maya memainkan peran memengaruhi media sosial, dan gemarnya wartawan media mainstream ‘menggoreng’ nama Jokowi (Joko Widodo), sehingga nama mantan Walikota Solo yang sedang mengemban jabatan sebagai Gubernur DKI Jakarta itu begitu populer. Hal lain, bisa juga karena popularitasnya di blantika musik dangdut, nama Rhoma Irama kontan mencuat.

Adalah fakta, di kalangan khalayak awam, ke manapun saya pergi dan bertanya: siapa kelak Presiden RI pengganti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)? Nyaris serempak, mereka menyebut dua nama itu: Jokowi dan Rhoma Irama. Ketika saya ajukan pertanyaan sederhana: ada yang lain? Mereka menggeleng.

Kenapa Jokowi? “Di mana-mana orang bilang Presiden nanti Jokowi,” ungkap Entol Mabrur di pojokan Pandeglang.

Koq Rhoma Irama? “Supaya kita bisa terhibur. Capek stres setiap hari menghadapi harga makanan yang melonjak,” sambar Faisal di pojokan Balikpapan.

“Masa’ sih Jokowi dan Rhoma Irama?”

“Ah.. tong naros kitu. Pokokna ma Jokowi sareng Rhoma. Supaya nanti, di Jawa ada jalan Siliwangi dan di Sunda ada jalan Hayam Wuruk,” cetus Dodoy di pedestrian Braga.

“Kenapa gak Megawati?”

“Pan udah dulu. Jadi Wapres dan jadi Presiden,” tukas Boim di pojokan Rawa Bebek – Cakung – Jawa Timur.

“Jadi, harus Jokowi?”

“Begitulah! Biasanya pemimpin kerempeng seperti Jokowi itu bisa lincah mengatasi masalah,” jawab Jono sembari makan nasi pecel di pojokan simpang lima Semarang.

“Rhoma kan belum berpengalaman di pemerintahan?”

“Ah.. dia kan cepet belajar. Dulu juga dia gak bisa dakwah. Sekarang, buktinya dia jago,” cetus Jaya, tukang ikan asin di seberang pasar permata Martapura – Kalimantan Selatan.

“Jadi Jokowi dan Rhoma Irama nikh?”

“E.. de de de.. tunggu dulu. Ada Pak JK de.. Pak JK Presiden nanti,” ujar Tekne di warung pojokan Jalan Bawakaraeng, Makassar.

Itulah satu-satunya nama lain yang disebut khalayak tak bernama dan tak berpartai yang saya temukan di banyak kota. Tak ada nama lain yang disebut mereka. Kecuali, Dindon, tukang koran di dekat pasar grosir Jembatan Merah – Surabaya. Dia menyebut nama Dahlan Iskan.

Alasannya? Dahlan itu orang hebat. “Dulu sering kelihatan di Kembang Jepun, bawa tas kresek. Sederhana dan baik hati,” cetus Dindon.

Penjual kue basah di depan pasar Kalabahi – Pulau Alor menyebut nama Jokowi, Rhoma Irama, dan Jusuf Kalla. Tentang Jokowi, perempuan bernama maria itu menyebut alasan sederhana: “Begitu tulis koran. Di televisi juga bilang dia Presiden.” Ihwal Rhoma Irama, dia bilang, tetangganya yang ngomong. “Tapi, suami saya bilang, Pak Jusuf Kalla."

Jokowi dan Rhoma Irama melesat namanya dalam percakapan khalayak awam. Mereka tak mempertimbangkan hal lain, kecuali apa yang mereka dengar dan lihat.

Dalam sistem demokrasi yang kita anut, one man one vote, harga suara masyarakat awam sama dengan harga suara seorang petinggi. Suara profesor sama dengan suara warga yang tak berpendidikan. Suara ulama sama dengan suara ustad biasa di kampung. Suara pastor dan pendeta sama dengan suara tukang parkir di gereja. Suara pengusaha besar di Jakarta sama dengan suara pedagang cabe di pasar Kalabahi. Suara bankir ngetop, sama dengan suara rentenir di gunung Kaipera.

Jadi, jangan heran dan bersedih, bila nanti, kompetisi Capres yang dominan, barangkali hanya Jokowi dan Rhoma Irama. Pasangan keduanya, kalo koalisi, kata seorang wartawati cerdas, jadi pasangan "ROMAWI." Meskipun begitu, katakanlah, bila gugatan Yusril Ihza Mahendra terhadap Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pilpres, dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, cerita akan menjadi lain.. |

Editor : Web Administrator
 
Lingkungan
03 Mar 24, 09:47 WIB | Dilihat : 168
Ketika Monyet Turun ke Kota
22 Jan 24, 08:18 WIB | Dilihat : 339
Urgensi Etika Lingkungan
18 Jan 24, 10:25 WIB | Dilihat : 365
Penyakit Walanda dan Kutukan Sumber Daya
06 Jan 24, 09:58 WIB | Dilihat : 335
Pagi Lara di Haurpugur
Selanjutnya
Sporta
07 Jul 23, 08:50 WIB | Dilihat : 1096
Rumput Tetangga
Selanjutnya