Perketat Akreditasi Lembaga Pemeriksa Halal

| dilihat 413

Wakil Ketua Komite III DPD (Dewan Perwakilan Daerah) Republik Indonesia, Dailami Firdaus yang lebih populer dipanggil Bang Dai mendesak Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem jaminan halal nasional.

Senin (21/4/25) BPJPH mengemukakan, telah berkoordinasi dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melakukan pengawasan peredaran Obat dan Makanan terkait klaim kehalalan produk.

Hasil pengawasan kedua badan ini menemukan 11 (sebelas) batch produk dari 9 (sembilan) produk pangan olahan yang mengandung unsur babi (porcine) yang dibuktikan melalui pengujian laboratorium untuk parameter uji DNA dan atau peptida spesifik porcine.

Dari sembilan produk tersebut, terdapat 9 (sembilan) batch produk dari 7 (tujuh) produk yang sudah bersertifikat halal, dan 2 (dua) batch produk dari 2 (dua) produk yang tidak bersertifikat halal.

Bang Dai menyatakan, insiden ini merupakan alarm keras atas lemahnya pengawasan dalam proses sertifikasi dan distribusi produk halal.

Dia menegaskan, sertifikat halal seharusnya menjamin rasa aman bagi konsumen muslim. Jika sampai mengandung unsur haram, menurutnya merupakan bentuk pengkhianatan terhadap kepercayaan publik.

Anggota DPD RI daerah pemilihan DKi Jakarta yang juga guru besar ilmu hukum dan Ketua Yayasan Pendidikan Islam As-Syafi'iyah tersebut mendesak BPJPH memperketat akreditasi Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), serta membuka hasil investigasi secara transparan.

Pegangan Bagi Konsumen Muslim

Konsumen muslim memerlukan ketegasan hukum dan keterbukaan agar kasus serupa tak terulang, seraya mendorong keterlibatan lebih aktif dari masyarakat dan ormas Islam dalam pengawasan independen atas produk halal yang beredar.

Pandangan dan sikap Bang Dai sejalan dengan realitas, hasil sertifikasi halal yang dikeluarkan BPJPH selain menjadi pegangan bagi konsumen muslim di Indonesia, juga menjadi rujukan bagi lembaga lain di luar negeri untuk melindungi konsumen muslim di negaranya. (Baca: BPJPH Tarik Produk Pangan Olahan Berlabel Halal Mengandung Unsur Babi)

Jabatan (kantor) Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM) misalnya, melalui siaran media pada Selasa (22/4/25) merujuk siaran pers BPJHP untuk melakukan koordinasi dengan Majelis Agama Islam Negeri (MAIN) dan Jabatan Agama Islam Negeri (JAIN) untuk melakukan pengawasan, agar produk yang ditemukan BPJHP tersebut tidak beredar di pasar Malaysia.

Ketua Pengarah JAKIM, Dato' Sirajuddin bin Suhaimee mengemukakan pengawasan atas produk yang bersertifikat halal dari BPJPH namun kemudian ditemukan masih mengandung unsur - DNA babi, selaras dengan prinsip utama dalam pemeliharaan hak konsumen muslim. Sekaligus memastikan integritas sistem pensertifikatan halal negara yang senantiasa terjaga dan terpercaya.

Majelis Ulama Indonesia (MUI), pada Agustus 2020, melalui LPPOM (Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan kosmetika) MUI, telah menetapkan tiga prinsip dalam sertifikasi halal produk.

Pertama, sertifikasi halal memastikan semua bahan yang digunakan dalam proses produksi memenuhi syarat halal. Kedua, sertifikasi halal memastikan produk tidak terkontaminasi bahan haram atau najis, baik yang berasal dari peralatan produksi, pekerja, maupun lingkungan produksi.

Ketiga, sertifikasi halal memastikan proses produksi halal dapat berjalan terus-menerus. Untuk mewujudkannya, LPPOM MUI memiliki Sistem Jaminan Halal (SJH) untuk mengatur bahan, proses produksi, produk, sumber daya manusia, dan prosedur sesuai dengan ketentuan LPPOM MUI.

Menjaga Proses Sertifikasi Halal

Dalam hal prinsip yang kedua, lembaga pemeriksa halal pertama di Indonesia dan berpengalaman lebih tiga dekade tersebut memandang penting kepastian tidak adanya kontaminasi. Karena, meskipun semua bahannya halal, namun ternyata menggunakan peralatan yang dipakai bersama-sama dengan produk nonhalal, ada kemungkinan bahan tersebut terkontaminasi bahan najis atau nonhalal, walaupun tidak kasat mata.

Kontaminasi bisa saja berasal dari karyawan, khasnya jika pelaku usaha mempekerjakan nonmuslim. Penegasan tiga prinsip tersebut penting agar jangan sampai produk halal hanya saat diaudit saja baru dapat sertifikat halal. Perusahaan dituntut untuk menerapkan SJH dengan baik agar kehalalan produknya tetap terjaga. Setelah mendapatkan sertifikat halal, pelaku usaha punya kewajiban untuk menjaga proses sertifikasi halalnya.

Lembaga Halal Amerika (American Halal Foundation - AHF) secara terperinci mengatur persyaratan sertifikasi makanan halal. Menurut lembaga ini, sertifikasi halal merupakan proses yang memastikan bahwa produk memenuhi pedoman makanan (termasuk menu) Islam yang ketat sesuai syariat.

Lembaga ini membagi tiga kategori dengan berbagai kriteria untuk makanan bersertifikat halal. Yakni, barang yang dapat dikonsumsi,  barang yang dilarang, dan pedoman penanganan.

Prinsip utama makanan halal adalah semua makanan dianggap halal, kecuali mengandung : Alkohol dan zat memabukkan lainnya; Darah; Hewan karnivora (kecuali ikan); Daging mati (hewan yang tidak disembelih menurut tata cara Islam); Makanan yang disembelih; dan Babi, termasuk turunannya.

Pedoman ini juga berlaku untuk turunan hewan bersertifikat non-Halal dan etanol, yang menekankan perlunya sertifikasi halal bahkan dalam pemilihan bahan dan pengembangan produk.

Barang konsumsi layak mendapatkan sertifikat halal, setelah memenuhi beberapa persyaratan. Yakni: Makanan yang secara alami halal (makanan apa pun yang tidak termasuk dalam larangan tegas dalam Al-Quran atau Hadits dianggap Halal), termasuk buah-buahan, sayur-sayuran, biji-bijian, daging, ikan, dan lainnya, yang disiapkan tanpa mencampur bahan-bahan yang tidak halal di dalamnya.

Syarat Sertifikasi Halal

Sertifikasi halal juga wajib memperhatikan aspek kesejahteraan hewan. Hewan yang dimaksudkan untuk makanan halal harus diperlakukan dengan baik sepanjang hidup mereka, memiliki cukup ruang untuk berkeliaran, dan akses ke air bersih dan makanan.

Lantas memenuhi aspek zabiha, praktik penyembelihan, yang harus dilakukan oleh seorang Muslim dewasa dan waras. Hewan harus hidup dan sehat pada saat penyembelihan, dan saat penyembelihan, harus dengan nama.

Syarat lain adalah, tidak ada kontak dengan makanan Non-Halal. Artinya, makanan tidak boleh bersentuhan dengan apa pun yang dinyatakan tidak halal. Makanan harus disiapkan, diolah, atau diproduksi menggunakan peralatan yang terpisah dari yang digunakan untuk menyiapkan, mengolah, atau memproduksi makanan non-halal.

Dalam pemberian sertifikat halal, setelah produsen mengisi aplikasi - formulir, petugas AHF, melakukan inspeksi langsung dan menyeluruh terhadap proses fasilitas manufaktur dilakukan untuk memastikan kepatuhan terhadap standar Halal.

Pakar sertifikasi halal AHF akan meninjau semua dokumen yang diserahkan produsen untuk memastikan komponen produksi makanan utama yang diproduksi halal menurut hukum Islam.

Setelah melakukan penilaian awal, kemudian AHF menjadualkan audit di lokasi. Selama audit, perwakilan AHF memeriksa fasilitas produksi, dengan fokus pada bahan baku, prosedur produksi, protokol pembersihan, penanganan produk, dan praktik penyimpanan.

Pada tahap ini, HCCP (Halal Critical Control Point) juga diidentifikasi, yang sangat penting dalam mengurangi risiko terhadap integritas Halal. Ini termasuk penggunaan bahan-bahan haram, seperti zat memabukkan atau turunan hewani yang tidak sesuai dengan hukum Islam.

Dewan Profesional Halal

Langkah selanjutnya adalah pelatihan komprehensif Halal yang dilakukan oleh Account Executive AHF kepada semua karyawan yang terlibat dalam produksi makanan halal (penanganan, pemrosesan, dan penyimpanan produk Halal, dengan menyoroti pentingnya menjaga pemisahan, mencegah kontaminasi, dan mematuhi standar kebersihan).

Pelatihan halal juga mencakup kepekaan budaya untuk menyoroti pentingnya makanan Halal bagi mereka yang mengonsumsinya. Hal ini dipandang penting, karena terkait dengan upaya membangun kesadaran yang dapat mendorong rasa hormat terhadap proses halal dan meningkatkan kepatuhan dari karyawan.

Jika kepatuhan terhadap semua standar Halal yang diperlukan dipastikan, selanjutnya baru AHF menerbitkan sertifikat Halal untuk produk atau fasilitas tersebut. Sertifikat ini biasanya mencakup ruang lingkup persyaratan makanan halal, tanggal penerbitan, dan kedaluwarsa.

Untuk mempertahankan sertifikasi, AHF melakukan audit rutin untuk memastikan kepatuhan berkelanjutan terhadap standar Halal. Karenanya Account Executive AHF.

Di Malaysia, untuk menjadi Account Executive Halal, JAKIM mensyaratkan, harus beragama Islam, memiliki kualifikasi atau pengalaman yang relevan dalam manajemen Halal, dan berpotensi memperoleh sertifikasi Account Executive Halal. Secara khusus, JAKIM mengharuskan Account Executive Halal terdaftar di Dewan Profesional Halal (HPB).

Setiap individu Account Executive Halal wajib mempunyai pemahaman yang kuat tentang prinsip dan praktik Halal. Tanpa kecuali, juga bertanggung jawab dengan pekerjaannya. Terlibat dalam mengelola proses sertifikasi halal untuk bisnis, memastikan kepatuhan terhadap standar halal, dan memberikan panduan tentang praktik halal. | sharia, delanova

Editor : delanova | Sumber : berbagai sumber
 
Ekonomi & Bisnis
05 Apr 25, 17:48 WIB | Dilihat : 514
China Serang Balik Kebijakan Tarif Trump
05 Apr 25, 09:03 WIB | Dilihat : 559
Pemodal Asing Dunia Bakal Melawan Keputusan Tarif Trump
04 Apr 25, 09:54 WIB | Dilihat : 530
Tarif Trump Menekan Ekonomi ASEAN
27 Okt 24, 17:53 WIB | Dilihat : 1535
Pencapaian Industri Halal Malaysia
Selanjutnya
Energi & Tambang