Eksistensi Kerajaan Gowa dan Tallo’ yang menguasai pelabuhan utama di Makassar, lebih dikenal sebagai salah satu suar utama entrepreneurship, melalui para saudagarnya. Dan karenanya, menjadi sasaran utama penjajah, khususnya Belanda untuk dihancurkan. Coolhas mencatat, fungsi pelabuhan Makassar, jauh lebih penting, strategis, dan menarik dibandingkan Malaka. Bahkan dibandingkan dengan pelabuhan-pelabuhan yang dikuasai Portugis dan Spanyol. Misalnya: Sao Tome, Negapatnam, Makao, Manila, Kalimantan, Jawa, Solor, Timor, dan Maluku. Pelabuhan Makassar menjadi penentu jalur perdagangan antar benua, dari Timur ke Barat dan sebaliknya.
Merosotnya pengaruh Portugis dan Spanyol, berbekal temuan Wallace, mengusik Belanda dan Inggris ikut memburu potensi sumberdaya alam di Sulawesi. Kedigjayaan kerajaan Gowa dan Tallo’, yang berada di garis depan -- dengan pelabuhan Makassar -- menjadi benteng pertahanan awal, bagi berbagai kerajaan lain. Seperti Kerajaan Bone, Kedatuan Luwu, dan lain-lain.
Belanda mengalihkan perhatian, dan mendirikan basis kekuasaannya di Buton, Banda, dan Ambon. Kondisi ini, menyebabkan mereka berhadapan secara diametral, dan pelaut-pelaut Mandar, Bugis, serta Makassar merambah ke utara Sulawesi. Sejak itu, terjadilah hubungan bisnis antara kerajaan dan kedatuan di Sulawesi Selatan, melalui Makassar, dengan kerajaan-kerajaan di Kalimantan dan Filipina. Baik dengan Sulu, Mangindano, di sebelah utara, maupun dengan Kutai di sebelah Timur. Dan Belanda yang berbasis di Pulau Buton, Banda, dan Ambon merupakan satu-satunya kompetitor bisnis utama.
Sultan Gowa menunjukkan sikap dan jati dirinya, menolak permintaan Belanda untuk mendapatkan hak monopoli atas jalur pelayaran. Mulanya, Belanda memegang prinsip yang digariskan Paus, tentang pembagian wilayah kekuasaan dunia. Akhirnya, mereka berpedoman kepada pandangan Hugo Grotius (1583-1645) yang menolak keputusan Paus, dan memegang prinsip mare liberium, yang juga dipegang teguh oleh Sultan Gowa.
Sultan berpegang pada prinsip mare liberum. Karena itu, tak boleh ada penguasa manapun yang melarang perahu Mandar, Bugis, dan Makassar berlayar, ke mana saja mereka mau pergi. Tak ada monopoli atas Belanda.
TAMALATE - ISTANA RAJA GOWA (KINI MUSEUM BALLE LOMPOA) DI SUNGGUMINASA |
H.T Colenbrander menulis, sikap Sultan Gowa ketika itu membuat Jan Pieters Zoen Coen (1919), tak berkutik. Penguasa Belanda, itu akhirnya menulis surat kepada Sultan, dan menyatakan: “Tuhan telah menciptakan bumi dan lautan, telah membagi-bagi daratan di antara umat manusia, tapi mengaruniakan laut untuk semuanya. Tak pernah kedengaran larangan buat siapa pun untuk mengarungi lautan.” Isi surat itu diungkapkan Colenbrander, seperti dikutip AB Lapian dari disertasi Stapel “Het Bongaais verdrag: De vestiging der Nederlanders op Makassar, 1922, Universiteit Leiden. Isi surat ini juga diungkap oleh G.J. Resink, “Volkenrecht in vroeger Makassar”, dalam Indonesie (1953).
Sengketa manusia untuk menguasai sumberdaya alam di kepulauan Nusantara dengan kekayaannya yang melimpah, telah berbuah persoalan yang berlangsung turun temurun. Terutama ketika suatu bangsa ini ingin memaksakan kehendaknya, menerapkan pola pengelolaan atas sumberdaya alam secara monopolistik. Hampir seluruh catatan sejarah tentang peperangan di kepulauan Indonesia, bermula dari kehendak melakukan intervensi terhadap masyarakat dan bangsa, untuk menguasai sumberdaya alamnya. Ketika ketamakan manusia merajalela, dan akhirnya menguasai seluruh alam pikiran, sikap, dan tindakan.
Dalam banyak hal, manusia cenderung merusak bagi pemenuhan hasrat dirinya sendiri, lantas abai terhadap tanggungjawab individual dan sosialnya. Situasi dan kondisi demikian, dalam banyak hal, menyebabkan manusia terjebak oleh proses penghancuran yang disadari dan tidak disadari. Padahal, kewajiban manusia untuk melindungi, menjaga, mengelola, dan memelihara sumberdaya alam, itulah yang menyebabkan mereka mempertemukan kecerdasan dan kearifan yang diberikan Tuhan kepadanya. Kemudian membentuk organisasi dan institusi sosial dengan pendekatan fungsional dan profesionalnya masing-masing.
Tak ada monopoli atas manusia untuk menguasai sumberdaya alam, karena Tuhan menyediakannya untuk kepentingan kolektif. Karena itu, manusia harus bekerjasama satu dengan lainnya. Baik melalui proses transformasi sains dan teknologi, maupun transaksi bisnis berorientasi ekonomi.
ADALAH REALITAS PENDJDUK DI SEKITAR PPOTENSI SUMBERDAYA ALAM, KHASNYA PERTAMBANGAN DAN PESISIR, MISKIN SECARA PERSISTEN
Tuhan menghalalkan terjadinya transformasi dan transaksi, itu. Tapi, Tuhan tidak memberikan sedikit ruang bagi siapapun untuk memperoleh keuntungan sepihak dalam proses transformasi dan transaksi itu. Bahkan, Tuhan mengambil garis tegas, menjadi musuh bagi siapa saja, yang secara sengaja memperkaya dirinya sendiri dengan memiskinkan orang lain yang terikat dengan transformasi dan transaksi itu.
Dalam konteks demikian, masyarakat secara aspiratif mengajukan social order. Lalu, negara dan pemerintah memanifestasikannya dalam bentuk regulasi dan hukum, yang harus menjamin tegaknya keadilan bagi seluruh unsur yang terlibat dalam proses transformasi dan transaksi itu.
Regulasi dalam mengelola sumberdaya alam merupakan keniscayaan yang tak boleh diabaikan. Karena naluri manusia, cenderung berpotensi saling menguasai satu dengan lainnya. Kecenderungan yang juga ditandai oleh naluri untuk konflik satu dengan lainnya, berdasarkan kepentingannya masing-masing. Meski dalam keseluruhan konteks kepentingan, itu selalu saja yang diungkapkan, moral obligasi dan sense of responsbility atas sumberdaya alam.
Berbagai protes massa masyarakat sekitar pertambangan, seringkali didorong oleh berbagai kepentingan ekonomis, yang biasanya dimotivasi dan diinisasi oleh aneka kelompok kepentingan yang sesungguhnya tidak memahami betul realitas yang terjadi. Tak terkecuali tujuan-tujuan politis sesaat untuk mencapai bargaining ekonomi. Misalnya terhadap investor yang menanamkan modalnya secara besar-besaran untuk mengelola potensi sumberdaya alam. Termasuk pertambangan di dalamnya.
Bila manusia memahami hakekat peran dan fungsi dirinya sebagai pengelola sumberdaya alam, maka tak ada alasan untuk tercebur ke dalam kondisi yang ironis: kaya sumberdaya alam, namun rakyatnya miskin secara persisten. |